Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi berpotensi mengerek laju inflasi Indonesia hingga dua kali lipat dari target awal 3 persen pada tahun ini. Dengan memakai asumsi harga Pertalite naik menjadi Rp 10 ribu per liter dan solar dibanderol Rp 8.500 per liter, pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, memperkirakan laju inflasi Indonesia untuk keseluruhan periode 2022 bisa mencapai 7,17 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan hitung-hitungan Fahmy, kontribusi inflasi kenaikan harga Pertalite diperkirakan sebesar 0,93 persen, sedangkan kenaikan harga solar diperkirakan sebesar 1,04 persen. Sehingga sumbangan inflasi kenaikan harga Pertalite dan solar diperkirakan bisa mencapai 1,97 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ini akan memperpuruk daya beli dan konsumsi masyarakat, sehingga akan menurunkan pertumbuhan ekonomi yang sudah dicapai susah payah sebesar 5,4 persen (kuartal II 2022)," ujar dia dalam catatannya yang dikirim ke Tempo, Selasa, 23 Agustus 2022.
Dengan laju inflasi sebesar 7,17 persen, Fahmy mengatakan, harga berbagai bahan kebutuhan pokok juga bakal melambung dan memperberat beban masyarakat. Bahkan, kata dia, beban itu akan ditanggung masyarakat miskin yang tidak pernah menikmati subsidi BBM karena tidak memiliki kendaraan bermotor. "Mereka juga harus berkorban kalau harga BBM bersubsidi dinaikkan," ujar dia.
Padahal, dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa opsi kebijakan yang akan dipilih terkait dengan subsidi BBM adalah tidak memberatkan beban rakyat miskin. Karena itu, Fahmy menyarankan pemerintah berfokus pada pembatasan BBM bersubsidi yang sekitar 60 persen tidak tepat sasaran ketimbang berancang-ancang menaikkan harga BBM bersubsidi.
Wacana kenaikan harga BBM bersubsidi berembus kencang setelah beberapa menteri menyinggung rencana itu dalam berbagai kesempatan. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bahkan sempat mengatakan pemerintah bakal mengumumkan kenaikan harga bahan bakar pada pekan ini.
Namun, hingga kemarin, Presiden Joko Widodo masih menyatakan pemerintah akan menghitung dan memutuskan dampak kebijakan BBM bersubsidi itu secara hati-hati. Pemerintah, tutur Jokowi, juga bakal memitigasi dampak dari perubahan harga BBM bersubsidi terhadap laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Pengisian bahan bakar di SPBU Kuningan, Jakarta, 1 April 2022. Tempo/Tony Hartawan
Pertalite Diusulkan Rp 10 Ribu per Liter
Kendati asumsi harga baru Pertalite dan solar sudah berseliweran di masyarakat, hingga kemarin malam pemerintah masih belum mengumumkan kebijakan BBM bersubsidi tersebut. Usul harga Pertalite Rp 10 ribu per liter salah satunya keluar dari Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Sugeng Suparwoto.
Ia menyatakan setuju atas rencana pemerintah mengerek harga BBM bersubsidi, dengan besaran maksimum 30 persen. "Kenaikan harga BBM tak akan menghapus kebijakan subsidi karena kenaikan harga Pertalite menjadi Rp 10 ribu per liter saja masih jauh dari harga keekonomian yang sebesar Rp 17 ribu per liter," ujarnya dalam rapat bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, kemarin.
Selain pernyataan para petinggi negara, berbagai ekonom memperkirakan kenaikan harga BBM bersubsidi akan direalisasi setelah Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi 3,75 persen pada pekan ini. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan bahwa keputusan kenaikan suku bunga kebijakan tersebut merupakan langkah preventif untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, melihat langkah Bank Indonesia tersebut sebagai jangkar ekspektasi inflasi yang diperkirakan meningkat pada akhir tahun. Ekspektasi inflasi yang meningkat tersebut didorong oleh peningkatan harga barang yang bergejolak dan barang yang diatur pemerintah dalam 2-3 bulan terakhir.
Belum lagi dengan adanya potensi pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM dalam waktu dekat. "Peningkatan kedua komponen inflasi tersebut berpotensi meningkatkan inflasi inti pada akhir tahun sebagai efek dari second round," ujar Josua. Belum lagi dengan mulai adanya peningkatan sisi permintaan setelah pulihnya perekonomian Tanah Air pasca-pandemi.
Masalahnya, Josua melihat instrumen suku bunga pada dasarnya hanya mampu menahan laju inflasi inti, bukan dari sisi inflasi barang bergejolak atau barang yang diatur pemerintah. Kenaikan suku bunga diperkirakan berdampak untuk menahan permintaan untuk barang dan jasa dalam derajat tertentu, sehingga inflasi inti dapat dikendalikan.
Adapun untuk barang bergejolak, menurut dia, diperkirakan laju inflasinya akan mulai melambat seiring dengan musim panen pada Agustus-September. Inflasi barang bergejolak berpeluang meningkat kembali pada akhir tahun. Sementara itu, inflasi barang yang diatur pemerintah erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah.
"Terutama terkait dengan subsidi energi. Dengan demikian, inflasi pada akhir tahun diperkirakan mampu mencapai 5,0-5,5 persen," ujar Josua. Ia memperkirakan BI berpotensi melanjutkan kenaikan suku bunga acuannya hingga awal tahun depan sekitar 50 basis poin.
Peneliti ekonomi makro dari Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Askar Muhammad, melihat kenaikan suku bunga acuan merupakan respons BI terhadap ekspektasi inflasi dibanding pemulihan sisi permintaan. Inflasi dari sisi harga produsen telah mencapai 11,77 persen dan inflasi dari sisi konsumen mencapai 4,94 persen.
Deviasi ini diyakini akan semakin tipis pada kuartal III 2022 dan sebagian besar masyarakat sudah memiliki ekspektasi inflasi yang semakin tinggi. "Ekspektasi ini semakin nyata seiring diikutinya kemungkinan kenaikan harga BBM bersubsidi," ujar Askar. Karena itu, dampak kenaikan suku bunga acuan diprediksi sangat minim untuk mengerem laju inflasi. "Kenaikan inflasi ke depan akan masih lebih banyak disebabkan oleh kenaikan ongkos produksi."
CAESAR AKBAR | RIANI SANUSI | HENDARTYO HANGGI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo