Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — Rencana migrasi kompor gas elpiji menjadi kompor listrik berdaya 1.000 watt yang digaungkan pemerintah Indonesia diperkirakan tidak semulus program serupa di negara lain. Sebab, infrastruktur di Tanah Air belum mendukung.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, mengatakan masyarakat Cina merupakan salah satu pengguna alat listrik untuk rumah tangga yang terbesar di dunia. Kompor induksi sudah sangat lazim dipakai di Negeri Tirai Bambu. “Di sana (Cina) sudah banyak memakai kompor listrik karena infrastrukturnya mendukung,” ucapnya kepada Tempo, kemarin.
Menangani 1,4 miliar penduduk, kata Mamit, pemerintah Cina menyiapkan pasokan listrik dan air yang cukup untuk permukiman. Dengan masifnya sebaran properti berupa apartemen dan rumah susun, peralatan listrik rumah tangga—termasuk kompor—lebih banyak dipakai daripada kompor gas ataupun yang lebih tradisional. “Ada dukungan yang konkret dari pemerintah sana, misalnya berupa penetapan tarif listrik yang terjangkau.”
Kendati memuji program konversi energi di Indonesia, Mamit masih mempertanyakan kesiapan pemerintah menanggung ongkos infrastruktur pendukung. Keunikan regulasi di Tanah Air, salah satunya pembagian golongan daya listrik untuk masyarakat, turut membedakan situasi peralihan energi dengan negara lain. “Myanmar dan India juga di tahap uji coba,” ucapnya.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta PT PLN (Persero) menginisiasi program konversi tersebut lewat uji coba penggunaan kompor induksi 1.000 watt di beberapa kota, seperti Solo dan Bali. Perseroan menyiapkan jaringan khusus agar pelanggan listrik bersubsidi—pengguna daya 450 volt ampere (VA) dan 900 VA—bisa menerapkan konversi tersebut dan mengurangi pemakaian elpiji. Dari program konversi yang menyasar 5 juta keluarga penerima manfaat pada 2023, manajemen PLN pun sempat memproyeksikan penghematan kas negara hingga Rp 5,5 triliun per tahun.
Menurut Mamit, hasil uji coba PLN menentukan kelanjutan program migrasi energi ini. “Tetap tergantung penerimaan masyarakat. Kalau oke, barulah regulasi menyesuaikan,” katanya.
Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memasak menggunakan kompor induksi dari PT PLN. Dok. PLN
Tidak Ada Negara Pembanding
Adapun Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, justru menganggap tidak ada negara pembanding untuk program ini. Menurut dia, sambungan listrik rumah tangga di negara berpenduduk besar, termasuk Cina, bisa menembus 7.000 watt. “Tidak ada pembagian golongan,” ujarnya. “Semua rumah mau (pakai) empat tungku kompor listrik pun biasa saja.”
Menurut dia, eksperimen penggunaan kompor induksi untuk rumah tangga pemakai daya 450 VA dan 900 VA pun belum tentu tepat sasaran. Pasalnya, pendataan konsumsi listrik masih bisa meleset. “Yang terdata sebagai pengguna 450 dan 900 VA itu juga belum tentu miskin,” tuturnya.
Sedangkan Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, menyinggung soal keandalan infrastruktur listrik di negara asing yang memuluskan program kompor setrum. Di Indonesia, pasokan listrik bisa berbeda, tergantung kondisi pulaunya. Masyarakat di kawasan tertinggal dan terluar, termasuk di desa serta di gunung, masih mengalami pemadaman listrik bergilir. “Negara-negara di kontinental atau yang banyak daratan kan relatif lebih mudah dibanding Indonesia yang berbentuk kepulauan,” kata Abra, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ERLITA NOVITANIA (MAGANG) | YOHANES PASKALIS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo