Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Di tengah kecenderungan harga komoditas yang turun, kinerja ekspor Indonesia masih moncer. Neraca perdagangan ikut terdongkrak, melanjutkan tren surplus selama 28 bulan terakhir.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor selama Agustus 2022 mencapai US$ 27,91 miliar. Nilainya naik 9,17 persen dibanding pada bulan sebelumnya serta melonjak 30,15 persen dibanding pada periode yang sama tahun lalu.
Deputi Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Setianto, menyatakan kinerja ekspor ditopang terutama oleh penjualan minyak kelapa sawit. Merujuk pada data Bank Dunia, harga komoditas ini menunjukkan tren penurunan, baik secara bulanan maupun tahunan. Per Agustus 2022, harganya turun 2,90 persen dibanding pada Juli 2022. Sementara itu, dibanding pada periode yang sama tahun lalu, harganya turun hingga 10,15 persen.
Namun nilai ekspor komoditas ini tetap tumbuh. "Ini karena volume ekspornya meningkat," kata Setianto, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekerja melakukan pengisian (CPO) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta,4 Agustus 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Ekspor Minyak Kelapa Sawit Melonjak
Volume ekspor minyak kelapa sawit pada Agustus sebesar 3,74 juta ton, naik dari Juli yang hanya 2,24 juta ton. Nilai ekspornya tercatat melonjak dari US$ 2,94 miliar menjadi US$ 3,91 miliar.
Komoditas lain, seperti batu bara, juga punya andil mendorong kinerja ekspor. Meskipun nilainya menurun 6,93 persen secara bulanan dari US$ 5,50 miliar menjadi US$ 5,12 miliar. Pemicunya adalah volume ekspor pada Agustus sebanyak 32,7 juta ton, sedangkan bulan sebelumnya 33,4 juta ton.
Bank Indonesia menyatakan kinerja ekspor minyak kelapa sawit salah satunya didukung oleh kebijakan pemerintah. "Perpanjangan pembebasan pungutan ekspor CPO," kata Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Erwin Haryono. Pemerintah membebaskan pungutan ekspor sejak 15 Juli lalu. Kebijakan itu berlaku sampai 31 Agustus lalu, tapi kemudian diperpanjang sampai 31 Oktober mendatang untuk mempercepat ekspor setelah sempat dilarang.
Kinerja ekspor kemudian mampu mengimbangi pertumbuhan nilai impor pada Agustus yang mencapai 3,77 persen secara bulanan dan 32,81 persen secara tahunan. Nilai impor per Agustus 2022 sebesar US$ 22,15 miliar. Artinya, neraca dagang Indonesia surplus US$ 5,76 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktivitas ekspor-impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Surplus Neraca Perdagangan Diperkirakan Terpangkas
Ekonom dari Bank Mandiri, Faisal Rachman, memperkirakan kinerja ekspor melambat dan tak bisa lagi mengimbangi pertumbuhan impor ke depan. Dia mengestimasi surplus neraca dagang bakal makin terpangkas.
Pasalnya, sejumlah komoditas sudah mulai menunjukkan penurunan harga. "Mulai ada tren penurunan harga sejumlah komoditas karena kekhawatiran atas resesi global di tengah kenaikan inflasi yang berpotensi mengurangi permintaan global," katanya.
Sementara itu, di sisi lain, kebutuhan impor akan melonjak akibat pemulihan ekonomi. Pada semester pertama ini, ekonomi di dalam negeri mampu tumbuh 5,44 persen secara tahunan. Secara kuartalan, angkanya naik dari 3,73 persen. Kondisi tersebut menunjukkan adanya peningkatan aktivitas produksi dan konsumsi. "Pelonggaran PPKM juga telah meningkatkan mobilitas publik yang bisa memicu impor minyak," katanya.
Peneliti di Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, Abdul Manap Pulungan, pun melihat risiko perlambatan permintaan dari negara-negara tujuan ekspor utama Indonesia lantaran pertumbuhan ekonomi yang tak begitu moncer. International Monetary Fund, misalnya, memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk Cina menjadi 3,3 persen tahun ini. Selain itu, pada Agustus lalu, Purchasing Manager's Index negara ini ikut turun dari 50,4 persen pada Juli menjadi 49,5 persen. Sementara itu, di Amerika Serikat, tengah terjadi pengetatan moneter.
Cina dan Amerika Serikat merupakan dua negara tujuan utama ekspor nonmigas Indonesia. Per Agustus ini, ekspor untuk masing-masing negara tersebut sebesar US$ 6,16 miliar dan US$ 2,59 miliar. Kontribusi Cina terhadap total ekspor nonmigas yang mencapai US$ 26,19 miliar adalah 23,53 persen dan Amerika 9,87 persen.
Abdul menilai potensi untuk surplus masih ada meskipun nilainya tidak akan sebesar pada awal tahun. "Negara-negara yang impor ini biasanya mengamankan stok, tidak langsung digunakan," ujarnya. Jika akhir tahun nanti masalah pengetatan moneter rampung, stok tersebut dapat dimanfaatkan untuk ekspansi pada 2023 dan mendorong permintaan lebih besar.
Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, Maxensius Tri Sambodo, menyatakan masih ada peluang tambahan permintaan dari pasar, khususnya non-tradisional. Melihat realisasi neraca dagang per Agustus ini, dia menyoroti kehadiran India dan Filipina.
Neraca perdagangan nonmigas Indonesia ke India mengalami surplus US$ 1,81 miliar, dengan nilai ekspor sebesar US$ 2,47 miliar. Sementara itu, dengan Filipina terdapat surplus US$ 1,09 miliar dengan ekspor mencapai US$ 1,20 miliar. Selain itu, Max menilai harga komoditas masih akan menggeliat seiring dengan tingginya angka permintaan akibat aktivitas produksi yang mulai pulih. Dia tak menampik risiko resesi Amerika Serikat. "Tapi masih ada beberapa negara yang pertumbuhan ekonominya masih cukup kuat," ujarnya.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo