Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ombudsman menilai stok beras nasional masih relatif aman.
Lembaga ini juga mengendus potensi maladministrasi dalam rencana impor beras.
Kementerian Pertanian menetapkan bahwa impor tidak akan dilakukan selama pasokan beras dalam negeri tersedia.
JAKARTA - Ombudsman RI mendesak pemerintah menunda keputusan impor beras, setidaknya hingga Mei 2021. Pernyataan itu disampaikan lembaga yang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik ini setelah pemerintah hanya menunda pelaksanaan impor hingga di luar masa panen raya. Artinya, pelaksanaan impor masih tetap dilakukan oleh pemerintah tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ombudsman meminta Kementerian Koordinator Perekonomian untuk melaksanakan rapat koordinasi terbatas menunda keputusan impor hingga menunggu perkembangan panen dan pengadaan oleh Perum Bulog pada awal Mei,” kata anggota Ombudsman, Yeka Hendri Fatika, secara virtual, kemarin.
Merujuk ke angka sementara BPS pada tahun lalu, luas panen padi dari Januari hingga April 2021 mencapai 4,86 juta hektare dengan total potensi produktivitas padi pada subround Januari-April 2021 sebesar 25,37 juta ton gabah kering giling (GKG). Dengan begitu, potensi produksi beras pada Januari-April 2021 diperkirakan sebesar 14,54 juta ton beras atau mengalami kenaikan sebesar 26,84 persen dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 11,46 juta ton.
“Merujuk ke data stok pangan dan potensi produksi beras nasional di 2021, Ombudsman menilai bahwa stok beras nasional masih relatif aman dan tidak memerlukan impor dalam waktu dekat ini,” kata Yeka.
Ombudsman juga menemukan adanya potensi maladministrasi dalam rencana pemerintah mengimpor beras tersebut. Yeka berujar potensi itu terlihat dari mekanisme keputusan impor dalam rakortas yang dilakukan Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Pertanian beberapa waktu lalu. Ia menilai keputusan tersebut tidak didasari data saintifik.
“Kami melihat jangan-jangan ada masalah. Keputusan impor beras harus berbasis data yang valid, karena beras bukan sekadar komoditas, tapi juga ada dampaknya ke sosial-politik yang cukup luas,” ujar Yeka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petani mempersiapkan penanaman bibit padi di lahan pertanian Desa Nglaban, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, 22 Maret 2021. TEMPO/Imam Sukamto
Selain maladministrasi mekanisme keputusan impor, Ombudsman mencium adanya masalah dalam manajemen stok beras akibat kebijakan yang tidak terintegrasi di hulu dan hilir. Indikatornya terlihat dari adanya penurunan mutu beras sampai sekitar 400 ribu ton di gudang Bulog.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat melakukan pengkajian kebijakan impor komoditas utama, salah satunya beras, pada tiga tahun lalu. Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan berujar pengkajian tersebut tidak selesai karena terindikasi masalah yang krusial dalam kebijakan impor itu, yaitu persoalan data.
Menurut Pahala, sampai saat ini belum ada data secara komprehensif soal data tanam, produktivitas, konversi gabah menjadi beras hingga menjadi nasi, sampai data distribusi. "Jadi, kebutuhan impor atau tidak itu tergantung itu data semua," ujar Pahala.
Pahala menilai polemik kebijakan impor ini juga terjadi karena ketidakselarasan sejumlah pemangku kepentingan. Ia menilai, misalnya, selama ini Kementerian Perdagangan hanya berfokus pada harga komoditas. Sedangkan Kementerian Pertanian bertanggung jawab perihal produksi. Kemudian, data penyerapan yang dilakukan Bulog ataupun perusahaan tidak memadai.
"Intinya, data setiap lini ini belum bisa diyakini karena banyak tangan yang pegang. Tergantung data dan kualitas datanya, karena yang komprehensif belum ada," ujar Pahala.
Guru Besar Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, berujar pemerintah perlu berhati-hati dalam memutuskan kebijakan strategis. Pasalnya, hanya dengan pernyataan rencana impor saja, harga gabah di tingkat petani langsung terpengaruh. Menurut dia, pernyataan pejabat akan sangat mempengaruhi psikologi pasar. "Hal ini pernah terjadi pada 2015 saat harga naik dan turun secara drastis dalam waktu singkat," kata Dwi.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Syailendra, berujar Kementerian telah menetapkan bahwa impor tidak akan dilakukan selama pasokan beras dalam negeri tersedia. Sebaliknya, apabila pasokan dalam negeri tidak memadai, impor beras akan dilakukan. "Kami dalam memutuskan juga harus melalui rakortas. Eksekusinya dilakukan tetap sama, melihat pasokan dalam negeri," kata dia.
LARISSA HUDA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo