Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Konflik lahan terus meletus di perkebunan sawit.
Aturan baru sertifikasi sawit tak sesuai dengan rencana awal.
Pekebun rakyat pun berteriak.
DUA tubuh tak lagi bernyawa, Selasa sore, 21 April lalu. Suryadi, 40 tahun, dan Putra Bakti, 35 tahun, warga Desa Pagar Batu, Kecamatan Pulau Pinang, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, tewas dengan luka tikam dan bacokan di badan setelah terlibat bentrok dengan petugas keamanan perkebunan sawit PT AR.
Siang itu, Suryadi dan Putra berdiri bersama seratusan orang dari kampungnya ketika berhadapan dengan puluhan petugas keamanan perusahaan yang hendak mengusir warga dari lahan sengketa seluas 180,36 hektare. Bentrokan pecah. Dua warga lain, Sumarlin, 38 tahun, dan Lion Agustin, 35 tahun, juga terluka. “Kami kini bersama tim advokasi sejumlah kelompok masyarakat sipil sedang meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban memberikan akses perlindungan terhadap para korban dan keluarga,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota staf Divisi Advokasi Hukum Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Sabtu, 9 Mei lalu.
Kasus Lahat menambah panjang daftar konflik lahan di konsesi perkebunan sawit. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat perkebunan dengan total luas 2,44 juta hektare menjadi ladang konflik agraria selama 2014-2018. Sebagian besar dari lahan tersebut merupakan konsesi korporasi sawit. Sepanjang tahun lalu, KPA mencatat sedikitnya 69 konflik serupa di kebun sawit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekerja mengangkat kelapa sawit di Desa Pancang, Sebatik, Kalimantan Utara, Rabu (26/8). Pemerintah masih menjadikan industri sawit sebagai lumbung devisa negara./ANTARA FOTO/Rosa Panggabean
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejadian ini makin membuat Sekar dan sejumlah pegiat lingkungan hidup lain kecewa atas penerbitan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Diteken Presiden Joko Widodo pada 13 Maret lalu, sepekan sebelum konflik memuncak di Pagar Batu, payung hukum baru yang digadang-gadang memperkuat sistem Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) itu tak mengatur masalah penghargaan atas hak asasi manusia sebagai salah satu prinsip dan kriteria sertifikasi.
“Tanpa adanya pengakuan terhadap prinsip HAM, aturan baru ini tak akan menjamin adanya kesetaraan hak setiap orang di industri ini,” ucap Sekar. “Padahal ini hal terpenting ketika kita bicara soal banyaknya konflik lahan dan ketidakadilan di rantai pasok sawit.”
•••
PEMERINTAH menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 sebagai upaya memperkuat ISPO, yang lima tahun terakhir hanya diatur lewat Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Pembahasan rancangan regulasi baru ini dimulai pada 2016, dikomandoi Kementerian Koordinator Perekonomian.
Di awal penyusunannya, pemerintah tak hanya melibatkan asosiasi pengusaha perkebunan sawit, tapi juga sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Sipil. Berdasarkan dokumen yang diperoleh Tempo, setidaknya ada 30 pihak yang terlibat dalam tim pengarah dan tim kerja penguatan ISPO ini.
Direktur Eksekutif Kaoem Telapak, Abu Meridian, yang ikut dalam pembahasan awal tersebut, mengingat bagaimana pertemuan digelar setelah tim dibentuk pada akhir 2016. Beberapa kali rapat berlangsung di Hotel Morrissey, Jakarta Pusat. Kaoem Telapak terlibat lantaran juga berpengalaman dalam persiapan dan penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, mekanisme sertifikasi untuk industri produk kehutanan yang dibangun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Menurut Abu, lewat forum tersebut, koalisi masyarakat sipil mengusulkan tujuh prinsip dan kriteria ISPO ditambahi dua poin: penghargaan atas hak asasi manusia dan keterlacakan bahan baku. Sempat mendapat penentangan dari pemerintah dan pengusaha, Abu melanjutkan, dua poin prinsip dan kriteria tersebut diakomodasi Kementerian Koordinator Perekonomian pada pertengahan 2017. “Materi konsultasi publik Pak Wilistra Danny di empat daerah telah menyebutkan ada sembilan prinsip dalam Perpres ISPO,” tutur Abu, Rabu, 6 Mei lalu.
Wilistra Danny yang dimaksud adalah mantan Asisten Deputi Perkebunan Hortikultura Kementerian Koordinator Perekonomian. Sebelum pensiun pada akhir 2019, dia menjadi Ketua Tim Penguatan ISPO.
Namun, makin ke sini, Abu mengatakan, pelibatan kelompok masyarakat sipil dalam pembahasan rancangan peraturan presiden itu makin kendur. Dalam bahasa Sri Palupi, peneliti The Institute for Ecosoc Rights yang juga ikut dalam pembahasan awal, “Makin tak transparan. Yang masuk ke jaringan mengawal ISPO nyaris tak dilibatkan lagi. Tahu-tahu keluar perpres.”
Lebih dari setahun tanpa kabar, penguatan regulasi ISPO yang ditunggu-tunggu akhirnya diundangkan pada 16 Maret lalu. Kaoem Telapak, Elsam, juga beberapa lembaga lain yang terlibat pada awal pembahasan, seperti Ecosoc dan Sawit Watch, dikejutkan oleh isi perpres tersebut, yang mereka anggap tak banyak mengalami perubahan signifikan dari Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 Tahun 2015. Rancangan prinsip penghargaan terhadap HAM dan keterlacakan bahan baku lenyap tak berbekas.
Sekar Banjaran Aji mengakui beberapa pasal berubah ke arah yang lebih baik. Komite ISPO sebagai pengelola sistem ini, misalnya, tak hanya diisi pemerintah dan pelaku usaha, tapi juga akademikus dan pemantau independen. Kelompok terakhir ini akan diisi lembaga masyarakat sipil. Namun peran dan fungsi pemantau independen ini juga tak diatur jelas dalam regulasi tersebut. “Bahkan tidak ada pasal yang mewajibkan adanya aturan pelaksana mengenai fungsi Komite ISPO, termasuk pemantau independen di dalamnya,” kata Abu mengkritik Pasal 19 dan 20 Perpres 44.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah tak diaturnya masalah HAM dan keterlacakan bahan baku. Menurut Sekar, tak diaturnya HAM sebagai prinsip dan kriteria ISPO membuat sistem yang dibangun dalam perpres ini tak akan bisa menaungi mekanisme penyelesaian sengketa. “Padahal penyelesaian sengketa ini yang terpenting jika ada konflik,” ujarnya.
Dimintai konfirmasi Tempo, Wilistra Danny membenarkan info bahwa dua prinsip tambahan tersebut semula akan diatur dalam perpres itu. Dia pun mengkonfirmasi adanya pembahasan yang cukup alot untuk memasukkan prinsip HAM dan ketelusuran bahan baku.
Menurut dia, pemerintah, terutama kementerian teknis dalam isu ini, dan perwakilan asosiasi pengusaha menganggap dua prinsip tambahan tersebut telah termaktub dalam tujuh prinsip terdahulu. “Sehingga tidak perlu dibuat dalam prinsip-prinsip tersendiri,” ucap Wilistra kepada Tempo, Rabu, 6 Mei lalu. Draf perpres, kata dia, akhirnya diputuskan kembali ke tujuh prinsip awal untuk menghindari perdebatan panjang dan mempertimbangkan suara banyak pihak.
Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Koordinasi Pangan Musdhalifah Machmud berpendapat senada. Dia berdalih bahwa esensi menghargai hak asasi manusia telah terakomodasi dalam prinsip keempat tentang tanggung jawab ketenagakerjaan serta prinsip kelima mengenai tanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Selain itu, Musdhalifah melanjutkan, sejumlah regulasi, seperti Undang-Undang Perkebunan, telah mengatur pengakuan dan perlindungan hak asasi para pelaku usaha, masyarakat sekitar perkebunan, dan masyarakat hukum adat. Karena itu, dia menilai HAM dalam konteks kegiatan perkebunan sawit di Indonesia sudah mendapat pengakuan dan perlindungan hukum.
Musdhalifah justru memandang munculnya soal HAM sebagai prinsip tersendiri bisa dimaknai bahwa ada masalah atau pelanggaran hak asasi dalam pengelolaan sawit di Indonesia. Dia khawatir hal itu akan dimanfaatkan sejumlah pihak, terutama yang tidak pro-sawit. Meski begitu, dia memastikan pemerintah tak akan menutup diri terhadap kritik dan saran. “Kami akan selalu terbuka menerima masukan serta usul perbaikan,” katanya.
•••
BAGI Wilistra Danny, semua ketentuan dalam Perpres 44 tak akan bermakna jika pemerintah tak segera menelurkan aturan pelaksana setingkat menteri yang akan diikuti pemerintah daerah. Merujuk pada isi Perpres 44, sejumlah aturan teknis semestinya bergulir paling lama 30 hari sejak peraturan anyar ini diterbitkan pada medio Maret lalu. Aturan terpenting di dalamnya antara lain soal pembentukan Dewan Pengarah yang akan memutuskan berbagai kebijakan umum, mengawasi dan mengevaluasi mekanisme ISPO, serta menetapkan susunan keanggotaan Komite ISPO.
Dewan Pengarah yang akan dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian ini semestinya diatur dalam peraturan Menteri Koordinator Perekonomian. Belum terbentuknya Dewan Pengarah dan Komite ISPO akan berdampak pada penyusunan aturan pelaksana mengenai prinsip dan kriteria sertifikasi.
Kepala Sekretariat Indonesia Sustainable Palm Oil Azis Hidayat mengakui ada keterlambatan dalam proses penyusunan regulasi pelaksana Perpres 44. Dia beralasan, ada arahan presiden tentang pemfokusan ulang program kegiatan dan anggaran untuk pengendalian Covid-19.
Menurut Azis, berbagai kriteria, indikator, dan panduan dalam lampiran Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 Tahun 2015 sudah mengakomodasi berbagai prinsip yang dibutuhkan. “Sekarang sedang dalam proses finalisasi,” tutur Azis.
Masalahnya, pelaksanaan ISPO selama ini bukannya tanpa masalah. Badan Pemeriksa Keuangan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu 2019 mencatat sebanyak 83,66 persen perusahaan perkebunan sawit yang terdaftar di Direktorat Jenderal Perkebunan belum bersertifikat. Padahal sertifikasi ISPO semestinya wajib bagi perusahaan perkebunan.
BPK mencatat pelaksanaan ISPO terhambat lantaran banyak perusahaan yang tak mengantongi hak guna usaha, belum membangun kebun rakyat, hingga lahannya berada di kawasan hutan. Auditor pun mempersoalkan belum dikenakannya sanksi terhadap perusahaan-perusahaan tersebut yang sebenarnya telah diatur hingga berupa pencabutan izin usaha perkebunan.
Yang jadi persoalan kemudian adalah Perpres 44 tak hanya wajib dilaksanakan perusahaan perkebunan, tapi juga pekebun rakyat. Sebelumnya, dalam peraturan Menteri Pertanian, sertifikasi bagi kelompok pekebun swadaya dan plasma ini hanya bersifat sukarela.
Meski diberi waktu hingga lima tahun untuk memenuhinya, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) keberatan terhadap kewajiban tersebut. Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung mengklaim sempat melayangkan surat kepada pemerintah agar penerbitan Perpres 44 ditunda.
Menurut dia, selama ini petani rakyat menghadapi banyak persoalan untuk melaksanakan ISPO. Legalitas lahan menjadi masalah utama yang mereka hadapi. “Jika pekebun diwajibkan, semua pemangku kepentingan harus berkomitmen menyelesaikan masalah ini,” ujar Gulat.
AISHA SHAIDRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo