Mengejar 10 Ribu Terbesar Mulai tahun ini, perusahaan penilai ikut menaksir harga obyek Pajak Bumi dan Bangunan. Dimulai di tiga kota. PAJAK Bumi dan Bangunan masih menghantui aparat Direktorat Jenderal Pajak. Mereka kewalahan mencapai target. Dalam tahun buku yang sedang berjalan ini, ditaksir pajak yang populer disebut PBB itu cuma akan menambah Rp 582,1 milyar ke dalam pundi-pundi pemerintah. Cukup jauh dari anggaran yang mematok Rp 638 milyar. Jika melihat RAPBN yang diajukan Presiden Soeharto di DPR Januari kemarin, kesulitan ini tampaknya cukup dimaklumi. Dalam RAPBN itu, PBB dipasang sedikit lebih rendah dibanding anggaran yang sedang berjalan -- "cuma" Rp 620,4 milyar. Kelonggaran itu tampaknya tak akan lama-lama dijadikan beleid. Ladang PBB malah akan digenjot dengan melibatkan perusahaan penilai (appraisal) mulai tahun ini. Dengan bantuan Bank Dunia, yang memberi pinjaman Rp 7 milyar, ada 10 ribu obyek pajak terbesar yang akan dinilai secara khusus oleh perusahaan penilai lokal yang menang tender. Sepuluh ribu obyek yang diincar itu tersebar di tiga kota dan merupakan proyek percontohan. Di Jakarta diincar 7.125, sedangkan Medan dan Bandung masing-masing 1.500 dan 1.375. "Proyek yang meminta idealisme," kata Ketua Gabungan Perusahaan Penilai Indonesia (Gappi) Marwan Muchtar. Jika melihat rata-rata honor yang mereka terima, jatuhnya memang kecil. PT Satyatama Graha Tara, misalnya, yang memenangkan penilaian untuk Kota Bandung, dengan nilai kontrak Rp 900 juta. Dana ini untuk menaksir harga 1.375 obyek. Padahal, tarif appraisal atau penilaian itu biasanya paling tidak di atas Rp 1 juta. "Kalau hotel besar, fee-nya bisa 15 sampai 20 juta," Marwan menambahkan. Itu sebabnya ke-12 perusahaan anggota Gappi yang memenangkan tender kali ini tak akan terlalu besar meraup rezeki. Cuma, buat Ir. Doli Diapari Siregar, Presiden Direktur Satyatama, masa depanlah yang lebih penting. "Berapa juta obyek yang harus dinilai, tak mungkin aparat pajak terus melakukannya sendiri," katanya. Ia berharap, jika proyek ini sukses, bisnis appraisal akan jadi primadona. Maklum, yang dikerjakan sekarang baru 10 ribu obyek besar. Masih banyak obyek yang bisa menjadi ladang rezeki -- terutama jika jasa perusahaan penilai itu dimanfaatkan di seluruh Indonesia. Menilai harga bangunan dan tanah tentu bukan perkara sepele. Apalagi untuk hotel dan gedung perkantoran bertingkat. Selama ini, aparat pajaklah yang melakukannya. Jika proyek percontohan itu berhasil, sebagian pekerjaan aparat pajak akan diambil alih perusahaan penilai. Dengan begitu, tugas Ditjen Pajak terbatas pada bangunan yang tidak besar. Tentu, pekerjaan perusahaan penilai bisa diharapkan lebih akurat. "Kami harus mempertanggungjawabkannya seumur hidup. Tak mungkin main-main," kata Ny. Ami Sartono, Direktur PT Asian Appraisal yang juga memenangkan tender itu. Kalau kata-kata sesuai dengan perbuatan, maka bisa diharapkan PBB akan lebih gemuk. Ini juga diakui oleh beberapa pemilik gedung tinggi dan obyek PBB gajah lainnya. Salah seorang di antaranya adalah Henry Onggo, Presiden PT Ratu Sayang Int., pemilik pertokoan dan perkantoran Ratu Plaza di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Tahun lalu ia membayar PBB Rp 83 juta. Bisa jadi, jika sudah dinilai oleh perusahaan penilai PBB yang harus dibayarnya akan membengkak. "Berat, cost yang dikeluarkan penyewa akan makin besar," katanya. Upaya menggenjot PBB ini tampaknya tepat waktu. Iklim bisnis penyewaan gedung dan pertokoan lagi laris. Henry mengaku, 95% dari 15 ribu meter persegi ruang tokonya sudah tersewa. Bahkan 33 ribu meter persegi ruang kantor yang disediakannya tak tersisa semeter pun, sementara gedung baru terus bermunculan. Semuanya obyek menarik, apalagi kalau tarifnya melonjak setinggi US$ 2.500 per meter. Artinya, target PBB yang dipasang di RAPBN mendatang bisa ikut terbang pula. Yopie Hidayat dan Liston P. Siregar (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini