Menjelang 1 Maret Sogo semakin sengit diperdebatkan. Begitu pula bantuan teknik atau barang dagangannya yang 50% impor. Juga fasilitas lainnya? HANYA dalam empat minggu, penanggalan pada kalender akan beralih dari Februari ke Maret. Berarti, tak lama lagi bendera Sogo -- raksasa eceran dari Jepang -- akan berkibar di empat lantai Plaza Indonesia, Jakarta. Itu kalau tidak ada aral melintang. Soalnya, hingga awal pekan ini, keberadaan Sogo Lestari Indonesia (SLI) masih dipertanyakan oleh anggota DPR, Asosiasi Pusat Pertokoan dan Perbelanjaan Indonesia (AP3I), hingga pengurus Kadin. Malah, pekan ini, AP3I mengadakan pertemuan dengan Kadin Jaya, khusus untuk membahas SLI. Silang selisih yang berkepanjangan ini masih berputar sekitar asing dan bukan asing. SLI, yang akan mengoperasikan Sogo Department Store (SDS) di Plaza Indonesia itu, memang sudah menegaskan bahwa usahanya murni menggunakan modal dari dalam negeri. Tepatnya, SLI dimodali penuh oleh perusahaan ban Gajah Tunggal. Mempertimbangkan ini, barangkali, baik BKPM maupun Pemda DKI tidak keberatan akan hadirnya nama Sogo di belantara eceran Jakarta. Lagi pula Sogo Department Store Jepang, si pemilik merk, hanya bertindak sebagai pembantu teknik, dan untuk itu memperoleh fee 0,4-0,5% dari total keuntungan. "Semua persyaratan sudah terpenuhi," kata Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto. Lain pemerintah, lain pula pandangan para pengusaha eceran lokal. Bagi Hidayat, juru bicara AP3I, SLI tetap berbahaya selagi masih memakai nama Sogo. "Kalau satu sudah masuk, maka raksasa-raksasa eceran Jepang lainnya akan mengikuti," ujarnya. Singapura bisa dijadikan contoh. Sebelum modal Jepang masuk, dunia eceran Singapura dikuasai oleh pengusaha-pengusaha lokal. Tapi, setelah Sogo, Isetan, Daimaru, dan Yaohan masuk, pengusaha setempat, seperti Emporium dan Fitzpatrik, ambruk. Mereka tinggal nama. Hal seperti itu, kata Hidayat, bukan mustahil akan terjadi pula di Indonesia. Apalagi SLI tampaknya melanggar etika bisnis eceran yang berlaku di Indonesia. Misalnya, dengan menjajakan 50% produk impor, ini jelas bertentangan dengan upaya menggalakkan pemakaian produksi dalam negeri, seperti yang gencar dikampanyekan pemerintah. Ditambah lagi, "Saya dengar mereka meminta fasilitas fiskal -- semacam bebas bea masuk -- untuk barang-barang yang mereka impor. Ini kan bahaya," ujar Hidayat dalam suara meninggi. Dia juga mencurigai, modal yang digunakan SLI tidak murni datang dari dalam negeri. Entah dari mana. Yang pasti, AP3I memandang tak ada alasan bagi SLI untuk memakai nama Sogo. Termasuk 10 tenaga asing yang akan didatangkan dari Jepang sebagai pembantu teknik. "Untuk belajar menjual BH, tidak perlu orang sebanyak itu," kata Hidayat lagi. Suara senada datang dari Dirut Pasaraya, Abdul Latief. "Mereka melakukan unfair competition," ujarnya. Dalam soal izin, SLI menggunakan izin pariwisata. Tapi pada kenyataannya, 15 ribu dari lahan seluas 18.000 meter persegi, yang disewanya dari Plaza Indonesia, digunakan untuk bisnis eceran. "Kenapa jadi melenceng begitu?" ujarnya. Latief lalu mengingatkan, peraturan pemerintah yang melarang masuknya asing (modal maupun tenaga kerja) ke sektor eceran sudah jelas sejak dulu. Lantas apa kata Sogo? "Mana, sih, yang lebih menentukan, Sogo yang hanya satu atau department store yang punya puluhan cabang," kata T.W. Sendra, Direktur SLI. Dia tidak mengelak soal barang dagangan yang 50% impor itu. Alasannya: sasaran Sogo bukan hanya konsumen Indonesia. "Kalau cuma berharap kepada konsumen lokal, masa, kami berani investasi sampai Rp 40 milyar," tuturnya menangkis. Begitupun dalam hal technical assistance dari Sogo Jepang. SLI cuma berniat menimba ilmu. Baru kelak, SLI bisa menciptakan sarana yang lengkap. Buat AP3I, alasan ini pun agaknya masih bisa diperdebatkan. Bukankah ilmu itu juga bisa ditimba, dengan mengirimkan orang Indonesia ke Jepang sana? BK, Bambang Aji, dan Sidartha P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini