Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Widjojo Masih Di Atas

Widjojo Nitisastro menyampaikan pidato pada perayaan ulang tahun ke-40 Universitas Indonesia.Negara-negara di Asia Timur & tenggara lebih maju dibanding negara-negara berkembang lainnya.Beberapa dilema.

10 Februari 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Widjojo Masih di Atas Mengapa Asia Timur dan Tenggara bisa berlari lebih cepat meninggalkan rekan-rekannya. Perlukah peran pemerintah disingkirkan? DI Kampus UI, Depok, Prof. Dr. Widjojo Nitisastro tampil Sabtu lalu. Mengenakan toga hitam, guru besar yang dikenal sebagai arsitek ekonomi Orde Baru ini tidak berpretensi untuk menyampaikan suatu pidato ilmiah pada upacara perayaan ulang tahun ke-40 Universitas Indonesia. "Apa yang ingin saya sampaikan pagi ini lebih tepat disebut uraian," katanya. Banyak hal dikemukakan oleh Widjojo dalam pidatonya berjudul "Dilema Negara Berkembang". Beberapa petikan: Negara berkembang dapat dibagi dalam lima kelompok geografis, yang masing-masing amat berbeda keadaannya: * Benua Afrika sebelah Selatan Gurun Sahara menderita tragedi kemanusiaan amat pedih: tingkat hidup makin merosot, kemiskinan kian meluas, kelaparan serta kematian merajalela. * Amerika Latin yang dilanda kemerosotan ekonomi sejak awal 1980-an. Banyak usaha telah ditempuh untuk mengatasi krisis utang luar negeri mereka, namun belum juga nampak jalan keluarnya. * Asia Barat (Timur Tengah) belum berhasil keluar dari akibat pukulan kemerosotan tajam harga minyak pada pertengahan 1980-an. * Di Asia Selatan (Pakistan, Sri Lanka, India, Bangladesh, Nepal) belum tampak gerak maju ekonomi yang berarti, meski mereka tak semundur Amerika Latin atau Afrika. * Asia Timur dan Asia Tenggara adalah pengecualian amat menonjol di antara negara berkembang. Kecuali Filipina, Myanmar, dan kawasan Indocina, negara berkembang di wilayah Asia Timur dan Tenggara secara gemilang berhasil mengatasi tantangan ekonomi dunia yang ganas selama 1980-an, bahkan berkembang lebih pesat. Demikian besar beda di antara kelompok negara berkembang, hingga ada yang menamsilkan seolah-olah ada dua macam "jalur": "jalur cepat" -- di sini dikenal sebagai jalan tol -- dilalui negara Asia Timur dan Asia Tenggara, dan "jalur lambat" untuk kebanyakan negara Afrika sebelah Selatan Gurun Sahara. Bagi negara berkembang lain, mereka akan tergantung kemampuannya di masa depan. Faktor apa saja yang mengakibatkan perbedaan mencolok itu? Selama 1980-an perkembangan ekonomi dunia memang amat tak menguntungkan negeri berkembang. Tapi bukankah semua negara berkembang menghadapi gejolak ekonomi dunia, yang pada dasarnya sama? Selain resesi amat tajam selama awal 1980-an, dalam dasawarsa itu arus modal dari negara industri ke negara berkembang amat merosot. Arus modal swasta tak tertarik untuk bergerak ke negara berkembang, kecuali ke Asia Timur dan Tenggara. Arus modal resmi berbentuk bantuan antarnegara tak bertambah, kecuali dari Jepang. Demikian pula perdagangan dunia tak tumbuh secepat tahun-tahun sebelumnya. Belum lagi berkembangnya proteksionisme di negara industri. Negara industri mengubah perbandingan nilai tukar (atau kurs) atas mata uang mereka, yang berakibat parah bagi ekonomi sementara negara berkembang. Mereka juga tak mampu mencegah crash di pasar modal, suatu peristiwa paling serius sejak 1929. Lalu timbul surplus yang luar biasa besarnya di neraca pembayaran Jepang. Semua ini berakibat amat negatif bagi semua negara berkembang. Karena semua negara berkembang menghadapi gejolak ekonomi dunia yang sama, sekali lagi timbul pertanyaan, mengapa negara berkembang di Asia Timur dan Asia Tenggara bisa berkembang pesat, sedang yang lain tak mampu mengatasinya. Beda yang amat mendasar adalah: Asia Timur dan Tenggara memusatkan sepenuhnya pada peningkatan ekspor, terutama ekspor hasil industri. Beda lain ialah langkah mantap yang konsekuen dilaksanakan oleh negara-negara tersebut untuk mengadakan restrukturisasi dan reformasi ekonomi. Dua langkah inilah yang tak dilakukan oleh negara berkembang lain. Ada yang ragu-ragu untuk sepenuhnya memusatkan usaha pada ekspor ke pasaran negara industri. Kekhawatiran mereka antara lain: adakah langkah itu tak menyebabkan amat tergantungnya negara berkembang pada pasaran negara industri? Selama ekonomi negara industri membaik, tak ada kekhawatiran tapi apa jadinya bila negara industri dilanda resesi. Bukankah impor dari negara berkembang akan merosot tajam? Ini memang suatu dilema, tapi sesungguhnya akan banyak tergantung macam ekspor negara berkembang bersangkutan. Bila ekspornya komoditi atau bahan mineral, maka menurunnya kegiatan di negara industri akan mengakibatkan pengurangan besar ekspor bahan mentah. Tapi bila ekspornya hasil industri, akan bergantung pada daya saing negara berkembang bersangkutan. Jika daya saingnya cukup besar, maka ekspornya akan dapat mempertahankan bagiannya di negara industri. Pengalaman negara Asia Timur selama resesi tajam 1980-82 menunjukkan keberhasilan mereka mengatasi masalah itu. Maka, adalah amat menentukan bahwa industri ekspor tak dibebani unsur-unsur biaya tinggi, apa pun bentuknya. Dilema lain ialah apa yang terjadi bila banyak negara berkembang menghasilkan barang industri untuk ekspor, bukankah itu makin mendorong negara industri untuk mengambil langkah proteksi. Ini bisa terjadi, namun sesungguhnya dorongan untuk proteksi terutama terjadi bila ada defisit besar pada neraca perdagangan negara tertentu. Kalau negara bersangkutan juga meningkatkan impornya, tak akan terjadi kenaikan defisit di negara industri, hingga mereka juga tak perlu meningkatkan proteksinya. Langkah penyesuaian struktural antara lain berbentuk deregulasi. Tujuannya memberikan ruang gerak lebih besar bagi dunia usaha. Ada negara berkembang yang masih ragu melaksanakan langkah itu. Mereka lihat masalahnya sebagai langkah mengurangi peran pemerintah. Dan menyerahkan pembentukan harga pada mekanisme pasar, yang punya banyak kelemahan, di antaranya tidak ada pasar yang sempurna yang ada cuma pasar yang tak sempurna. Karena itu, pemerintah perlu mengambil oper apa yang dilakukan melalui mekanisme pasar. Dalam kenyataan, masalahnya bukan pilihan antara peranan pemerintah dan mekanisme pasar, melainkan sering pilihan antara kegiatan aparatur pemerintah atau birokrasi dan mekanisme pasar. Keduanya tak ada yang sempurna. Masalahnya bukan menyingkirkan peranan pemerintah atau peranan aparatur pemerintah (birokrasi). Yang amat penting bagi negara berkembang adalah perbaikan atau modernisasi birokrasi. Selanjutnya menugaskan birokrasi terdiri dari tenaga yang benar-benar mampu melaksanakan kegiatan yang tak bisa atau tak pada tempatnya dilakukan oleh mekanisme pasar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus