Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pertumbuhan ekonomi pada 2022 diproyeksikan bisa mencapai level 5,46 persen.
Untuk mencapai target itu, pemerintah harus mampu mengelola aneka faktor gejolak yang mempengaruhi PDB.
Pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan sampai ke level 3,8 persen.
JAKARTA — Sejumlah ekonom memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 bisa mencapai level di atas 5 persen. Skenario optimistis ini, menurut ekonom Universitas Indonesia (UI) sekaligus Direktur Eksekutif Next Policy, Fithra Faisal Hastiadi, akan tercapai apabila pemerintah mampu mengelola sejumlah faktor kejutan yang mempengaruhi besaran produk domestik bruto (PDB).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tidak menutup kemungkinan pertumbuhan ekonomi bisa di kisaran 5,46 persen,” kata Fithra kepada Tempo, kemarin. Aneka faktor kejutan yang dimaksud Fithra, antara lain, adalah angka penularan Covid-19 yang pengaruhnya cukup besar terhadap PDB, yakni hingga 17-18 persen. Lalu faktor indeks harga konsumen, yang besaran pengaruhnya terhadap PDB juga di angka 17-18 persen. Disusul faktor inflasi yang menyumbang gejolak sebesar 15-16 persen terhadap PDB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Faktor lain yang harus dikelola karena bakal mempengaruhi PDB ialah ekspor, indeks komoditas, dan harga batu bara global,” Fithra menambahkan. Skenario pertumbuhan ekonomi pada 2022, kata dia, sangat bergantung pada faktor-faktor kejutan yang dominan. Jika dilihat secara moderat, ia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi akan berada di level 4,54 persen.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2022 yang disepakati pemerintah, bank sentral, bersama DPR pada Agustus lalu, disebutkan bahwa asumsi pertumbuhan ekonomi tahun depan berada di kisaran 5,2-5,5 persen. Angka ini lebih besar dari target yang dibacakan Presiden Joko Widodo dalam nota keuangan beberapa pekan sebelumnya, yang menargetkan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5-5,5 persen.
Adapun tingkat inflasi dalam APBN 2022 disepakati di kisaran 3 persen year-on-year (YOY). Nilai tukar rupiah masih diasumsikan Rp 14.350 per dolar AS. Sedangkan tingkat suku bunga SUN 10 tahun diturunkan menjadi 6,8 persen dari sebelumnya 6,82 persen.
Senada dengan Fithra, ekonom makroekonomi dan pasar keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (LPEM UI), Teuku Riefky, mengatakan Indonesia berpotensi mencatat pertumbuhan ekonomi seperti pada masa pra-pandemi tahun lalu, yakni pada kisaran 5,1-5,4 persen. Hal ini, kata dia, terlihat dari mulai pulihnya kondisi perekonomian pada kuartal III 2021.
Namun, kata Riefky, untuk mencapai hal itu, pemerintah harus mengatasi sejumlah tantangan, yakni bagaimana menyelesaikan persoalan kesehatan pada masa pandemi. “Pemerintah seharusnya sudah bisa belajar dari kasus varian Delta, sehingga kasus ini tidak terulang pada 2022.”
Aktivitas bongkar-muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, 20 Oktober 2017. TEMPO/Tony Hartawan
Wakil Kepala Bidang Penelitian LPEM UI, Kiki Verico, mengatakan pertumbuhan ekonomi pada 2022 akan sangat dipengaruhi kemampuan negara menjaga angka penularan Covid-19. “Hal ini menjadi syarat utama pemulihan dan percepatan pertumbuhan ekonomi, dan ini berlaku di seluruh negara yang menghadapi pandemi,” ujar Kiki, kemarin.
Menurut Kiki, bila angka penularan Covid-19 rendah, sektor transportasi, perdagangan, akomodasi, restoran (makan dan minum), jasa konstruksi, serta jasa keuangan akan naik. Sektor manufaktur yang ditunjukkan oleh Purchasing Manager’s Index (PMI) juga akan mengikuti. “Artinya, ekonomi semakin optimistis dan tumbuh lebih cepat.”
Kiki memprediksi, dalam postur makro pertumbuhan ekonomi, laju pertumbuhan ekonomi akan lebih cepat daripada laju inflasi. Postur seperti ini, menurut dia, sudah terlihat sejak kuartal II 2021. “Pola ini akan berlanjut pada 2022 sepanjang kita mampu menjaga angka penularan Covid-19 tetap rendah.”
Sedangkan jika angka penularan Covid-19 kembali naik, perekonomian akan lebih bergantung pada sektor informasi dan komunikasi teknologi (ICT), utilitas (air, listrik, dan Internet), serta jasa kesehatan dan jasa sosial akibat terbatasnya mobilitas masyarakat. Namun, karena proporsi pengaruh sektor-sektor ini terhadap PDB relatif rendah, pertumbuhan ekonomi melambat.
Kiki mengimbuhkan, selain faktor pengendalian pandemi, pendorong pertumbuhan bergantung pada konsumsi, daya saing perdagangan internasional, dan investasi asing jangka pajang. Adapun faktor eksternal yang bisa mempengaruhi pertumbuhan, antara lain, adalah kenaikan harga energi global dan kelangkaan komponen integrated circuit alias cip yang dapat mengganggu performa ekspor manufaktur serta bahan baku penolongnya. “Hal ini juga perlu diperhatikan.”
Sementara itu, peneliti lain di LPEM UI, Jahen F. Rezki, menilai pertumbuhan ekonomi pada 2021 ini akan sulit untuk kembali ke level pra-pandemi yang sebesar 5 persen. “Karena ada kemungkinan kemunculan kembali varian Covid-19 pada kuartal IV nanti,” kata Jahen dalam acara Indonesia Economic Outlook LPEM FEB UI, Selasa lalu. LPEM memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya akan sampai pada kisaran 3,8 persen (YOY).
Pada kuartal III tahun ini, pertumbuhan ekonomi menghadapi tantangan yang berasal dari dampak eskalasi kasus Covid-19 akibat varian Delta pada pertengahan 2021. LPEM UI memperkirakan ekonomi pada periode tersebut tumbuh sebesar 3,9-4,3 persen (YOY). "Saya pikir ada kaitan erat dari dampak kenaikan jumlah kasus Covid-19 pada Juli-Agustus lalu. Semua orang kesulitan mendapatkan rumah sakit atau kehilangan teman dan keluarga. Itu juga berimplikasi pada perekonomian kita," ujar Jahen.
EVI ALVIYANI (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo