Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengelola Ekspektasi dan Jenderal Ekonomi

1 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yopie Hidayat*
*) Kontributor Tempo

BIASANYA pengumuman seperti ini akan membuat nilai rupiah runtuh lintang pukang. Rabu pekan lalu, The Federal Reserve menyampaikan arah kebijakan suku bunganya. Makin besar kemungkinan bunga rujukan The Fed akan naik. Pasar bahkan mengantisipasi bunga The Fed naik pada September mendatang. Ternyata kali ini kurs rupiah anteng saja, di angka 13.100 per dolar Amerika Serikat. Harga saham malah masih menanjak. Indeks harga saham gabungan naik menjadi 5.299,2 pada Kamis pekan lalu, kian dekat ke puncak tertingginya, 5.523,29 (April 2015).

Cukup beralasan mengapa investor di pasar keuangan Indonesia seolah-olah mengabaikan bunga The Fed. Ada ekspektasi besar pada efek kebijakan amnesti pajak yang semestinya akan mendorong banjir dana repatriasi. Kalau toh tidak masuk skala ribuan triliun rupiah sebagaimana harapan pemerintah, pasar keuangan Indonesia yang ukurannya relatif liliput terhadap ekonomi sudah akan melonjak girang jika melihat aliran dana masuk dalam skala puluhan triliun rupiah saja.

Dalam enam bulan terakhir, misalnya, sudah ada aliran dana yang masuk melalui pasar saham Rp 25,56 triliun hingga Kamis pekan lalu. Tapi, jika kita melihatnya dalam setahun terakhir, secara neto aliran dana masih minus Rp 2,51 triliun. Artinya riuh-rendah amnesti pajak masih belum mengembalikan dana asing yang sebelumnya ramai-ramai keluar lewat pasar saham sejak Agustus tahun lalu. Yang sudah pulang barulah uang lama, dana repatriasi belum masuk.

Ada lagi hawa optimisme yang berembus di pasar: kembalinya Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan Republik Indonesia sejak Rabu pekan lalu. Harapan sungguh besar bahwa Sri dapat mengatasi krisis anggaran karena menggelembungnya defisit yang mengancam keuangan negara.

Hawa sejuk optimisme memang menyenangkan. Namun pelaku pasar rupanya sudah mulai mengelola ekspektasi ini sehingga belum ada lonjakan luar biasa, baik dalam kurs rupiah maupun harga saham. Mengenai aliran dana masuk, sebagaimana ulasan kolom ini dua pekan lalu, agaknya tak akan membanjir dalam skala tsunami. Sedangkan efek perombakan kabinet situasinya justru lebih runyam jika kita periksa secara saksama.

Mantan Menteri Perdagangan Mari Pangestu dalam seminar memperingati sewindu wafatnya Dr Sjahrir pekan lalu menyampaikan observasi menarik. Perubahan kebijakan dan penyesuaian struktural di Indonesia saat ini jauh lebih sulit ketimbang awal-awal masa deregulasi pada 1980-an.

Banyak sebabnya. Lingkungan eksternal sudah berubah. Tak ada pasar di luar sana yang dengan mudah menyerap barang-barang Indonesia. Harga komoditas juga masih anjlok. Agar berdampak pada pertumbuhan ekonomi, deregulasi di era Joko Widodo juga harus menyentuh kepentingan yang berbungkus tarik-menarik ideologi, dari soal perburuhan hingga cita-cita mulia kemandirian pangan yang mengorbankan masyarakat, karena harga jadi melambung tinggi. Walhasil, menjual kebijakan kepada Presiden sendiri pun tak akan mudah. Belum lagi potensi pergulatan di antara para menteri karena perbedaan orientasi.

Dan pertanyaan terbesarnya adalah siapakah sebenarnya jenderal pengendali kebijakan ekonomi Indonesia? Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, atau Sri Mulyani? Semuanya adalah tokoh mumpuni yang punya pendirian keras. Sepertinya koordinasi yang mulus di dalam kabinet masih akan menjadi barang langka di republik ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus