Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SYARKAWI Rauf geleng-geleng melihat betapa brutalnya persaingan industri telekomunikasi di Indonesia. Menurut Ketua Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) itu, pelaku usaha telekomunikasi benar-benar saling sikut dan jegal dalam arti sebenarnya. "SIM card kompetitor diborong, saling banting harga, dan melancarkan iklan negatif untuk menjatuhkan lawan," ujarnya Selasa pekan lalu. Persaingan tak sehat itu, kata Syarkawi, akibat struktur industri yang tak seimbang.
Berbekal kliping berita media massa, Syarkawi memerintahkan anak buahnya segera menelisik para operator telekomunikasi. Kasus yang dimaksud adalah dugaan persaingan usaha tidak sehat antara operator telekomunikasi PT Indosat Tbk (ISAT) dan PT Telkomsel. Indosat Ooredoo dituding menyebarkan iklan negatif dan menjual rugi produknya. Sedangkan Telkomsel jorjoran membeli SIM card kompetitornya.
Ditemui di ruang kerjanya, Syarkawi memastikan penanganan kasus tersebut tidak mandek. Menurut dia, klarifikasi yang disampaikan manajemen Telkomsel dan Indosat menguatkan indikasi pelanggaran. "Teman-teman penyidik KPPU akan melanjutkan ke proses investigasi," ujar Syarkawi.
Di mata Syarkawi, memborong SIM card sudah masuk kategori praktek monopoli karena menghambat konsumen mendapat pelayanan yang sama dari operator lain. Indosat juga terancam sanksi karena menjual rugi. Syarkawi menyebutkan Indosat menggunakan promosi jaringan interkoneksi Rp 1 per detik-jauh di bawah harga produksi.
Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) juga menyoroti kasus yang sama. Komisioner BRTI I Ketut Prihadi menilai tarif Rp 1 per detik dianggap tak wajar. "Indosat mengaku kadung kesel sama Telkomsel," kata Prihadi, Kamis pekan lalu.
Dari semua operator, Telkomsel masih mendominasi pangsa pasar di luar Jawa, mencapai 86 persen. Sisanya dibagi operator lain, yakni Indosat Ooredoo, Hutchison 3 Indonesia, XL Axiata, Smartfren, Smartel, dan dua operator kecil lain. Berbeda dengan di luar Jawa, persaingan di Jawa-Bali lebih berimbang.
Dominasi Telkomsel terusik terutama setelah Indosat mengusung brand baru di bawah bendera Indosat Ooredoo. Apalagi sejak Indosat Ooredoo gencar melakukan ekspansi ke luar Jawa-Bali. Di bawah komando Direktur Utama Alexander Rusli, Indosat melancarkan penetrasi dengan tarif telepon Rp 1 per detik. Ooredoo berani sesumbar tarif itu sama besarnya untuk tarif menelepon ke semua operator. "Dari sudut pandang kami, di luar Jawa akan lebih agresif penetrasinya," ujar Alexander kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Program ini bergulir di beberapa tempat sejak Desember 2015-meski secara resmi baru dijalankan per 10 Juni 2016-dengan tagline #buktikanRp1. Targetnya: bisa mengakuisisi 1 juta pelanggan. Deva Rachman, Group Head Corporate Communications Indosat Ooredoo, mengklaim respons publik sangat baik.
Menurut catatan yang diperoleh Tempo, kinerja Indosat pada kuartal pertama tahun ini tumbuh 15,8 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Angka ini masih di bawah Telkomsel, yang tumbuh 17,8 persen. Meski begitu, dibanding kuartal sebelumnya, kinerja Telkomsel merosot atau minus 1,1 persen. Ini lampu kuning buat Telkomsel karena pada saat bersamaan kinerja Indosat justru naik 3,9 persen. Jumlah pelanggan Indosat naik menjadi 69,8 juta atau tumbuh 5 persen dibanding tahun lalu.
Indosat blakblakan. Bagi mereka, jual rugi adalah jurus operator bertahan hidup di luar Jawa. Menurut Alexander, hanya Telkomsel yang bisa meraup untung di wilayah itu. Jurus banting harga disertai kampanye masif itu dibalas dengan aksi borong SIM card, yang menurut Syarkawi dituduhkan ke Telkomsel. Posisi Telkomsel memang dominan di luar Jawa. Apalagi 65 persen pendapatannya dari sana.
General Manager XL Axiata Tri Wahyuningsih membenarkan perusahaannya juga kesulitan melakukan ekspansi ke luar Jawa. XL bahkan terpaksa menutup cabangnya di Maluku karena berdarah terus-menerus selama sembilan tahun masuk ke sana. Menurut perempuan yang biasa disapa Ayu ini, Telkomsel tak mau diganggu sama sekali. "Namanya pasar, kalau sudah ada yang mimpin, pasti berusaha dipertahankan," ucapnya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Meski begitu, XL mengaku masih bisa untung di beberapa titik di luar Jawa. Misalnya di Lombok, yang sejak awal digarap serius. Meski populasi pelanggan tak sebesar di Jawa, XL berani mengguyur dana cukup besar untuk infrastruktur sampai Aceh, Lombok, dan Bali. Belanja modal perusahaan tahun ini mencapai Rp 7 triliun. Sebanyak 60 persennya untuk membangun platform LTE 4G, termasuk di kota-kota itu.
Direktur Utama Telkomsel Ririek Ardiansyah mengakui Indosat sebagai kompetitor utamanya. Pelanggan Telkomsel mencapai 153 juta atau 58 persen pangsa pasar nasional. "Pelanggan terbanyak masih dari Pulau Jawa," kata Ririek di Bandung, Rabu pekan lalu. Indosat berada di posisi kedua dengan market share 26 persen atau 69,8 juta pelanggan, disusul XL Axiata 16 persen (42,5 juta pelanggan).
Telkomsel membenarkan menjadi penguasa pasar luar Jawa. Namun Ririek membantah bersaing tidak sehat. "Kami berbisnis sesuai dengan aturan," ujarnya. Menurut dia, monopoli yang dijalankan masih natural. "Kalau monopoli yang bersekongkol itu yang tidak wajar."
Ririek menuturkan, kesalahan operator lain adalah tak mau masuk membangun infrastruktur jaringan. Padahal semua pemegang lisensi frekuensi juga punya kewajiban membangun. Antara lain, target membangun base transceiver station (BTS). Operator lain hanya membangun di daerah yang menguntungkan. Telkomsel mengambil risiko berdarah-darah di awal dengan memperkuat jaringan di luar Jawa sejak awal 1996. Ia mengibaratkan "dulu menanam sekarang menuai".
BRTI menilai terjadi anomali dari sisi tarif pungut antaroperator di luar Jawa. Menurut Ketut Prihadi, hanya Telkomsel yang sehat kinerjanya. "Sisanya jeblok," katanya. Jumlah pelanggan Telkomsel tentu lebih besar, "Tapi kalau Telkomsel bisa untung, kenapa yang lain tidak?" BRTI menilai network sharing menjadi solusi agar biaya interkoneksi bisa turun.
Struktur pasar yang tak imbang itu menjadi perhatian serius pemerintah. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menilai industri telekomunikasi telanjur oligopolistik. Artinya pasar dikuasai segelintir pemain. Kondisi ini mesti dicairkan karena, menurut dia, pasar menjadi tidak efisien.
Contoh sederhananya: orang banyak yang punya lebih dari satu SIM card. "Mau telepon nomor XL pakai XL, telepon nomor Simpati pakai Telkomsel, dan lainnya," ujar Rudiantara. Itu terjadi, kata dia, karena konsumen berlomba-lomba mengejar tarif on net (komunikasi sesama operator) karena tarif off net (beda operator) lebih mahal. Tarif nomor telepon berbeda jaringan enam-delapan kali lipat lebih mahal dibanding sesama jaringan. "Ini yang hendak saya tekan, maksimum dua-tiga kali saja," ucap Rudiantara. Ia ingin mengurangi jumlah SIM card yang beredar.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mengatakan tarif Telkomsel mahal karena merasa paling besar. Ia berharap operator lain bisa berbagi dengan Telkomsel. "Kompensasinya harus wajar sesuai dengan keekonomian agar tidak membuat operator lain malas membangun di luar Jawa," kata Tulus, Jumat pekan lalu.
Agus Supriyanto, Ayu Prima Sandi (Jakarta), Iqbal Lazuardi (Bandung)
Penetrasi Internet Mobile Asia-Pasifik (%)
  | 2015 | Potensi 2020 | |||||||||||||||||||||
Korea Selatan | 92 | 95 Jepang | 90 | 96 | Thailand | 74 | 92 | Cina | 73 | 86 | Vietnam | 72 | 83 | Filipina | 72 | 75 | Indonesia | 66 | 81 | India | 47 | 62 | |
Sambungan 4G Asia-Pasifik (%)
  | 2015 | Portensi 2020Korea Selatan | 73 | 93 | Jepang | 60 | 92 | Hong Kong | 40 | 71 | Selandia Baru | 39 | 63 | Cina | 32 | 73 | Malaysia | 19 | 42 | Thailand | 6 | 43 | Filipina | 4 | 26 | Indonesia | 3 | 31 | |
Rata-rata Biaya Internet
Bulanan dari Pendapatan* (%)
Cina | 0,7 Vietnam | 3 | Indonesia | 4 | Thailand | 5 | India | 6 | Filipina | 8 | |
*) Pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita Indonesia pada 2015 Rp 45,18 juta per tahun. Perhitungan mengacu pada langganan paket data 500 megabita dengan smartphone entry-level.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo