Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH hampir satu bulan para pelaku industri operator seluler menunggu kabar dari Darmin Nasution. Tapi, sejak Presiden Joko Widodo meminta Menteri Koordinator Perekonomian itu mengawal pembahasan ulang revisi rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi serta Peraturan Pemerintah tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, aturan main mengenai peluang berbagi jaringan antaroperator belum ada kepastian.
"Kami masih mencoba review dulu sudah sejauh mana revisi sebelumnya," kata Darmin di kompleks Istana Kepresidenan, Kamis pekan lalu. Ia mengatakan kementeriannya masih memilah-milah draf revisi yang digarap Kementerian Komunikasi dan Informatika. Itu sebabnya ia belum menggelar rapat koordinasi dengan kementerian lain.
Darmin semestinya tak perlu ketiban tugas tambahan jika revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi serta PP Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit bisa beres sebelum Lebaran. Jokowi sebenarnya tinggal menandatangani revisi dua peraturan pemerintah itu karena proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sudah dilalui.
Persoalannya, revisi dua PP telekomunikasi ini batal diteken Jokowi. Gara-garanya, menurut sejumlah pelaku industri telekomunikasi yang mengikuti proses ini, Sekretariat Negara menerima surat dari Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno tertanggal 15 Juni 2016. Isinya: meminta agar pembahasan revisi kedua aturan ini melibatkan Kementerian BUMN dan PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk sebelum diajukan ke Presiden.
Surat Rini bernomor S-354/MBU/06/2016 itu tak panjang-lebar. Berisi empat poin, ia menegaskan kontribusi besar PT Telkom sebagai BUMN dan anak usahanya, PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), di sektor telekomunikasi. Menurut dia, kedua perusahaan ini sudah melayani jaringan telekomunikasi di hampir semua daerah dan desa di Indonesia.
Karena itu, menurut Rini, rencana pemerintah membuka peluang menyewakan jaringan dan spektrum frekuensi radio bisa berdampak negatif. Rini juga menulis kebijakan baru ini berpeluang memunculkan praktek jual-beli spektrum yang merupakan sumber daya alam sangat terbatas.
Surat Rini ke Istana serta batalnya pengesahan naskah revisi PP 52 dan 53 memantik kecurigaan pelaku industri telekomunikasi. Apalagi PT Telkom sejak awal keberatan jika kebijakan berbagi jaringan terealisasi. "Soalnya ada operator yang mau sewa jaringan backbone milik Telkom di Maluku, tapi tidak diberikan dengan alasan kabel optik belum siap," ujar seorang petinggi perusahaan telekomunikasi. Sementara itu, Telkomsel bisa menggunakan jaringan yang sama untuk layanan akses 4G di lokasi tersebut.
Telkom membantah berniat menjegal revisi peraturan pemerintah tersebut. Menurut VP Corporate Communication Telkom Arif Prabowo, sebagai perusahaan jaringan, Telkom tak berusaha mempersulit operator lain. "Kerja sama dengan operator lain itu merupakan business to business," kata Arif, Kamis pekan lalu.
Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah tak tahu ada surat dari Kementerian BUMN ke Istana. "Soal surat itu, konfirmasi saja ke pihak Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika)," ujar Ririek saat ditemui di Bandung, Kamis pekan lalu.
Ditanya mengenai surat yang ia kirim, Rini Soemarno hanya tersenyum. Kebijakan berbagi jaringan telekomunikasi seluler, kata dia, bukan kewenangannya. "Tanyakan ke Kominfo," ujarnya saat ditemui seusai konferensi pers di kantornya, Senin pekan lalu.
Pembahasan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 dan PP Nomor 53 Tahun 2000 sebenarnya berlangsung sejak awal 2015. Usul datang dari Kementerian Komunikasi dan Informatika karena melihat industri telekomunikasi kesulitan pendanaan, sementara ada tuntutan untuk memperluas jaringan.
Itu sebabnya pemerintah, misalnya, merevisi salah satu pasal PP 52 yang bakal mengubah kebijakan lisensi pengadaan stasiun pemancar (BTS) bagi penyelenggara telekomunikasi. Lisensi pengadaan stasiun pemancar semula didasarkan pada kuantitas. Aturan itu kelak didasarkan pada kualitas layanan dan jangkauan. Adapun dalam revisi PP 53, pemerintah berencana memberikan peluang bagi sejumlah operator untuk menggunakan frekuensi bersama-sama.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan revisi ditujukan untuk menciptakan efisiensi bagi industri telekomunikasi. Kementerian juga ingin mempercepat investasi pembangunan jaringan, terutama pita lebar (broadband). "Program saya sampai 2019 itu cuma dua: membangun broadband secepat-cepat dan seluas-luasnya, juga membuat industri efisien dari waktu ke waktu," kata Rudiantara, Kamis dua pekan lalu.
Salah satu cara efisiensi industri, menurut Rudiantara, adalah memaksimalkan penggunaan infrastruktur jaringan bersama-sama. Dari semula berbagi jaringan secara pasif, seperti penggunaan tower bersama, sewa jaringan backbone, dan berbagi ongkos pembangunan BTS, Kementerian mengharapkan network sharing terjadi secara aktif. "Active network sharing untuk berbagi akses," ujarnya.
Berbagi jaringan sebenarnya bukan praktek baru di industri telekomunikasi Tanah Air. Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia Merza Fachys mengatakan selama ini hampir semua jaringan transmisi fiber optik dan microwave di dalam negeri sudah saling berbagi. "Yang baru dirancang oleh pemerintah sekarang ini adalah sisi akses, yang menyangkut masalah wireless atau radio yang ada frekuensinya," kata Merza saat dihubungi pada Kamis pekan lalu.
Model active network sharing pun sebenarnya beragam, di antaranya multi-operator radio access network (MORAN) dan multi-operator core network (MOCN). Dari dua model itu, MORAN sudah dimanfaatkan di Indonesia, yakni kerja sama penggunaan BTS dengan tetap menggunakan spektrum tiap operator. Persoalannya, silang pendapat belakangan terjadi. Sejumlah operator terbelah pro dan kontra soal konsep berbagi jaringan ini.
Indosat Ooredoo dan PT XL Axiata Tbk, misalnya, malah lebih dulu menggunakan jaringan 4G-LTE bersama melalui MORAN di Banyumas, Surakarta, Batam, dan Banjarmasin. Dalam siaran pers tertulis pada 19 Januari lalu, Presiden Direktur dan CEO Indosat Ooredoo Alexander Rusli mengatakan kerja sama ini mendukung program pemerintah untuk menghemat mata uang asing dan meningkatkan efisiensi bagi perusahaan.
Telkomsel keberatan terhadap rencana pemerintah mengubah kebijakan berbagi jaringan dalam PP 52 dan PP 53. Perusahaan yang 65 persen sahamnya dikuasai Telkom ini menyebutkan proses penggodokan revisi peraturan pemerintah tidak transparan. Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah mengatakan pelaku usaha tidak tahu persis apa saja perubahan dalam peraturan pemerintah nantinya. "Seharusnya dipublikasikan isi revisi peraturan pemerintah sehingga ada kesempatan memberi masukan," ucap Ririek, Kamis pekan lalu.
Dibanding operator seluler lain, Telkomsel memiliki jaringan yang paling luas. Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, penguasaan pasar Telkomsel di luar Jawa mencapai 86 persen.
Ririek pada dasarnya tak menolak konsep network sharing yang digadang pemerintah. Tapi ia meminta pemerintah memberi kepastian soal wajib-tidaknya operator berbagi jaringan. "Yang saya dengar, jiwa peraturan pemerintah ini business to business, tapi ada klausul tambahan yang bisa menjadi wajib," ujarnya.
Soal wajib-tidaknya network sharing dilakukan oleh operator juga menjadi perhatian Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia I Ketut Prihadi. Menurut dia, pemerintah bisa merealisasi konsep berbagi jaringan dengan sukses tanpa harus mewajibkan. Sebab, untuk mewujudkan efisiensi industri, pemerintah juga harus mengapresiasi operator yang sudah membangun infrastruktur sampai ke pelosok. "Jadi harus fair. Kalau operator merasa kerja sama jaringan menguntungkan, ya, silakan berbisnis," kata Prihadi.
XL Axiata sudah memperkirakan konsep ini bakal menguntungkan. General Manager Corporate Communication PT XL Axiata Tri Wahyuningsih mengatakan kerja sama berbagi jaringan berpeluang membuat ongkos investasi lebih ekonomis sampai 50 persen. "Sederhananya biaya investasi yang biasanya ditanggung sendiri, kalau ditanggung berdua dengan operator lain akan menghemat separuh," ucap perempuan yang biasa disapa Ayu ini, Rabu pekan lalu.
Sebagai ilustrasi, untuk investasi layanan akses di sebuah kecamatan, dibutuhkan minimal 5 BTS. Dengan investasi Rp 1 miliar per BTS, satu operator harus merogoh kocek minimal Rp 5 miliar. Maka, dengan adanya network sharing, belanja modal yang dibutuhkan untuk membangun stasiun pemancar di satu kecamatan hanya Rp 2,5 miliar. "Uang sisanya bisa digunakan untuk membangun di wilayah lain dengan lebih cepat," ujar Ayu.
Bukan cuma industri, pemerintah juga mendapat manfaat dari network sharing. Chairman Masyarakat Telekomunikasi Indonesia Institute Nonot Harsono mengatakan, selain berpotensi menekan impor, kebijakan ini bisa mempercepat pembangunan pita lebar sehingga bisa menyediakan akses Internet di seluruh wilayah Indonesia, menghemat devisa, dan mengurangi defisit neraca perdagangan.
Ayu Prima Sandi, Agus Supriyanto, Istman Musaharun, Destrianita (Jakarta), Iqbal Lazuardi (Bandung)
Berebut Pasar Luar Jawa
HINGGA akhir tahun lalu, Telkomsel masih merajai pangsa operator nasional. Total pelanggan anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia Tbk ini mencapai 152,6 juta atau 47 persen pasar operator nasional. Dominasi Telkomsel makin kuat di luar Jawa. Ikhtiar pemerintah merevisi dua peraturan pemerintah mengenai telekomunikasi bertujuan agar terbangun kompetisi dan efisiensi investasi di luar Jawa. Skema berbagi jaringan yang diusulkan pemerintah diharapkan agar konsumen-terutama di luar Jawa-memperoleh lebih banyak pilihan dengan harga lebih murah.
Statistik Seluler Indonesia 2015 | |
Populasi | 255,4 juta |
Penetrasi Kartu Seluler | 131% |
Pengguna Kartu "Prabayar" | 98% |
Pelanggan Operator Seluler | 340 juta |
Penetrasi Mobile Broadband | 37% |
Sistem Berbagi Jaringan 10 Negara Pelanggan Operator Terbesar
- Cina: 1,2 miliar pelanggan (passive sharing)
- India: 977 juta (roaming)
- Indonesia: 340 juta (passive sharing)
- Amerika Serikat: 334 juta (passive sharing)
- Brasil: 273 juta (active sharing)*
- Rusia: 239 juta (active sharing)*
- Jepang: 166 juta (passive sharing)
- Nigeria: 148 juta (passive sharing)
- Vietnam: 139 juta (passive sharing)
- Bangladesh: 127 juta (passive sharing)
*) Tidak ada operator dominan di Brasil dan Rusia. Active sharing dilakukan antaroperator dengan pangsa pasar setara.
Pelanggan Internet Mobile Asia-Pasifik (2015) | |
Cina: | 1,08 miliar |
India: | 615,2 juta |
Indonesia: | 171 juta |
Jepang: | 113,9 juta |
Vietnam: | 73,6 juta |
Filipina: | 72,8 juta |
Thailand: | 50,4 juta |
Korea Selatan: | 46,4 juta |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo