PENGELOLA dana pensiun biasanya bersikap konservatif dalam mengamankan uang mereka. Bila tidak ditanam dalam deposito bank pemerintah, uang itu mereka tanam dalam bentuk gedung perkantoran. Tapi sejak pasar modal dibuka persero Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen) sudah berani pula menginvestasikan dananya ke obligasi Jasa Marga dan Bank Pembangunan Indonesia. Terakhir, persero itu diberitakan akan menanamkan uangnya dalam sebuah proyek jalan tol ratusan milyar, yang diusahakan seorang pengusaha swasta. Yang terjadi ternyata berita mengagetkan: semua direksi Taspen, pekan lalu, diganti. Direktur Utama R.S. Rahardjo, misalnya, digantikan oleh Ida Bagus Putu Sarga, yang sebelumnya memegang jabatan direktur di persero itu. Banyak yang menduga penggantian itu merupakan buntut kegagalan Taspen ikut proyek jalan tol. Benarkah? "Rahardjo itu sudah berumur 59 tahun, masa jabatannya 'kan sudah habis," kata Menteri Keuangan Radius Prawiro. "Pokoknya nggak ada apa-apa, normal-normal saja penggantian itu." Rahardjo, yang disebut itu, memang sudah tujuh tahun memimpin Taspen. Dia masuk ke sana pada awal 1980 ketika jumlah peserta asuransi hari tua baru 1,9 juta orang, dengan kekayaan Rp 100-an milyar. Tujuh tahun kemudian pesertanya sudah 3,2 juta orang, dan kekayaannya sudah menggelembung jadi sekitar Rp 600 milyar. Bagi kalangan perbankan dan pengusaha pencari dana murah, yang menarik dari Taspen jelas bukan besarnya peserta, melainkan jumlah dananya yang melimpah. Sebagai pimpinan, Dirut Rahardjo tampaknya mengelola uang Taspen itu dengan cara cukup konservatif: menanamkan sebagian besar kekayaannya ke dalam deposito sejumlah bank pemerintah. Tapi pada periode 1982-1984 kelihatan terjadi perubahan dalam beleid penanaman uang perseroan. Persentase uang yang ditanam pada deposito turun dari 87% jadi 78%, meskipun dalam rupiah sebenarnya naik, dari Rp 243 milyar ke Rp 244 milyar. Pada 1983 Taspen mulai berani menanamkan uangnya ke obligasi dengan membeli obligasi Jasa Marga, Bank Pembangunan Indonesia, dan Papan Sejahtera, hingga setahun kemudian mencapai Rp 59 milyar lebih. Investasi ini tentu dipandang cukup aman dibandingkan dengan, misalnya, saham pelbagai perusahaan swasta yang nilainya cenderung makin jeblok. Sebab bunga obligasi diberikan dalam persentase yang tetap, yang tak akan turun sekalipun perusahaannya remuk. Nilai kopurnya juga hampir tetap. Beda dengan saham perusahaan yang naik turun harga dan dividennya ditentukan oleh penampilan perusahaan bersangkutan. Karena itu, agaknya, hasil investasi Taspen di sini kelihatan kurang begitu cerah. Di tahun 1983 memang bisa menghasilkan Rp 4,2 milyar, tapi setahun kemudian hasilnya hanya Rp 2,9 milyar. Lesunya kegiatan pelbagai usaha memang berpengaruh besar dalam menurunkan pendapatan dividen itu. Kalau saham tadi tetap dikantunginya, bisa dibayangkan berapa persero itu akan rugi. Tapi investasi Taspen di Gedung Arthaloka, yang perkaranya kini tengah disidangkan, hampir membuatnya babak belur kendati keikutsertaannya di situ hanya sekitar Rp 5 milyar. "Investasi di Arthaloka itu tidak gagal, tapi kami masih menghadapi masalah," kata Ida Bagus Putu Sarga, Dirut Taspen yang baru. Taspen tampaknya perlu bersikap ekstrahati-hati dalam mencari rekan usaha kelak. Salah sedikit, bukan mustahil uang yang disisihkan dari gaji pegawai negeri 3,25% untuk asuransi hari tua, dan 4,75% untuk iuran dana pensiun - bakal habis tak keruan. Dan itu menyangkut nasib jutaan orang. Apakah masih tertarik masuk ke jalan tol? "Tidak," sahut Dirut Sarga. "Itu 'kan tugas negara. Kalau undang-undang dana pensiun sudah keluar, soal pengaturan investasinya akan jelas." Di zaman sulit dan penuh ketidakpastian, bersikap konservatif memang perlu, asal tidak keterusan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini