SUDAH sejak beberapa bulan berselang, baik kalangan pengusaha maupun perbankan mengharapkan munculnya kebijaksanaan baru di bidang perbankan. Ketika Presiden mencanangkan tiga langkah yang perlu diambil guna merangsang bangkitnya kreativitas dan kekuatan ekonomi masyarakat, dengan efisiensi, debirokratisasi, dan deregulasi, harapan itu semakin menggelembung. Tapi harapan itu, pekan lalu, kembali kempis setelah dalam acara jamuan makan malam dengan para bankir, Gubernur Bank Sentral Arifin Siregar tidak menyebut soal beleid baru. Pidatonya juga tidak menyinggung masalah deregulasi dan debirokratisasi yang dicanangkan Presiden. Satu-satunya jalan yang harus ditempuh dalam sektor perbankan sekarang ini, menurut Arifin, hanyalah efisiensi. Bicara soal deregulasi, sektor perbankan memang sudah lebih dulu jalan sejak Juni 1983, dengan membebaskan bank-bank pemerintah berlomba-lomba mencari dana lewat tawaran deposito berbunga tinggi. Tapi akibatnya harga uang jadi makin mahal, gara-gara harga dananya juga sudah naik. Sekarang demam itu sudah menyusut memang tetapi sialnya suku bunga pinjaman belum kembali seperti dulu. Menurut Gubernur Arifin, dampak negatif itu sesungguhnya bersifat sementara. "Deregulasi itu merupakan perubahan struktur, dampak positifnya baru akan terasa dalam jangka panjang," katanya. Gubernur Arifin sadar bahwa suku bunga yang tinggi itu sulit diturunkan, selama Bank Sentral tak mengubah kebijaksanaan uang ketatnya. Tapi untuk membuka keran ekspansi moneter dianggap belum tepat. "Yang kita hadapi dewasa ini adalah masalah bersisi dua, yaitu ekstern dan intern," katanya. Di sisi intern, ada kelesuan ekonomi dalam negeri, yang menuntut agar BI menjalankan kebijaksanaan ekspansif. Tapi di sisi ekstern turunnya penerimaan devisa mengharuskan BI melakukan pengetatan uang beredar. Dalam situasi seperti itu bank diminta makin hati-hati dalam memberikan pinjaman. "Pemberian kelonggaran bagi usaha yang tidak mempunyai harapan hanya akan mengakibatkan berkurangnya dana bagi para nasabah yang berhasil," kata Arifin. Karena itu, bank perlu makin efisien. Orang lalu berusaha menghubungkan anjuran itu dengan peristiwa perpanjangan masa jabatan direktur utama dua bank pemerintah: Omar Abdalla dan Widarsapradja, masing-masing, tetap memimpin Bank Bumi Daya dan Bank Dagang Negara. Beberapa jam setelah pelantikan itu, pekan lalu, Menteri Keuangan Radius Prawiro meresmikan pula Menara BDN berlantai 26 di sisi kantor lama BDN di Jalan Thamrin, Jakarta. Tentang efisiensi? "Orang yang hanya tahu dari luar, dan tak menguasai persoalan, biasanya cenderung menghantam bank pemerintah," ujar Widarsadipradja, 57. Mereka tidak tahu, bank pemerintah di samping mencari untung juga punya tugas sosial memeratakan hasil pembangunan. Fungsi itu tercermin, antara lain, dalam penyaluran kredit KIK/KMKP. Nilainya kecil-kecil, tetapi jumlah nasabahnya banyak, sehingga menuntut banyak jam kerja. Padahal, penanganan satu paket kredit Rp 50 milyar, menurut Dirut BDN Widarsapradja itu, tak berbeda jauh dengan penanganan untuk paket kredit Rp 500.000-an untuk peserta KIK/KMKP. Di Pasar Tanah Abang (Jakarta), misalnya, peserta program itu berjumlah sekitar 2.500 orang. Jelas, hal itu membutuhkan armada pegawai dan pelayanan administrasi cukup besar untuk menangani permohonan sampai mengusut kredit macet. "Nah, yang seperti itu mau disebut tidak efisien? Oke kalau itu masalahnya. Tapi, ingat, setidaknya kami ikut mengupayakan kesempatan kerja bagi mereka," tutur Widarsa. Dia membantah kalau gaji dianggap sebagai faktor pemborosan. "Biaya gaji masih dalam batas normal. Hanya 35% dari biaya total, sedangkan gaji pegawai bank di luar negeri masih dianggap normal bila menyedot 45% dari total biaya," katanya. Dirut BBD Omar Abdalla, sementara itu menyanggah kalau banknya dibilang kurang efisien. Di bank pemerintah, menurut Omar lebih dari 60% dana diperoleh dengan biaya mahal (deposito berbunga rata-rata 12%-12,5%). Kesulitan yang menimpa industri kayu dan tekstil, dua-tiga tahun lalu, kini juga menjadi beban BBD. Pertumbuhan ekonomi dewasa ini juga sulit diikuti. Semua itu menyebabkan biaya bank tambah tinggi. Kredit biasanya dijual dengan bunga 18%. Maka, marjin keuntungan hanya 1%-1,5%. "Maunya, sih, mencari marjin laba 2%, tapi tidak bisa," ujarnya. Salah satu hambatan yang dirasakan BBD, seperti diungkapkan dirutnya, adalah modal dan cadangan yang kecil. "Akibatnya, ruang gerak kami terbatas," katanya. Kalau bank pemerintah hanya bisa memperoleh marjin sekitar 1%, mengapa bank-bank swasta bisa meraih lebih? Rahasianya, rupanya, terletak pada keberanian menjual kredit dengan harga mahal. Wibowo Ngaserin, Presdir PT Bank Tani Nasional, misalnya, membenarkan strategi semacam itu memang banyak ditempuh kalangan bank swasta nasional. Karena dananya terbatas katanya, Bank Tani hanya bisa memberikan kredit modal kerja maksimum Rp 1 milyar. Tapi jangan kaget, bank ini ternyata bisa menjual uang itu dengan harga 25%. Jika dana yang diambil dari masyarakat pukul rata harganya 16,5%, maka bank itu berarti memperoleh marjin sampai 8,5%. Besar betul? "Tunggu dulu ! Dana masyarakat itu 15% harus disimpan di BI (tanpa bunga), sehingga bank masih harus menambah biaya 1,5% untuk itu," tutur Wibowo. Berarti marjin tinggal 7%. Ternyata, biaya tetap di Bank Tani ini hanya 4%. "Dengan demikian, masih ada marjin 3%," kata sarjana lulusan Universitas Toronto (Kanada) ini. Toh orang tetap beranggapan lembaga Keuangan di Indonesia, pada umumnya, masih dikelola secara tidak efisien. Lihat saja bank di Singapura, yang masih bisa meraih laba besar, kendati marjin yang mereka ambil paling banter hanya 0,5%. Uang tampaknya memang masih sulit dikelola secara baik dan efisien di sini. M.W. Laporan biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini