TATA NIAGA produk besi dan baja impor kini sedikit berubah. Swasta sudah dibolehkan mengimpor langsung sejumlah bahan baku besi baja dan logam bukan baja. Beleid baru ini merupakan rangkaian kebijaksanaan deregulasi di bidang tata niaga yang pekan lalu, diumumkan Menko Ekuin Ali Wardhana. Agak mengagetkan, memang. Sebab, paling tidak, tiga tahun terakhir ini tata niaga semua jenis produk baja impor dipegang bersama oleh PT Krakatau Steel, Dharma Niaga, Kerta Niaga, Pantja Niaga, dan PT Tambang Timah. Terakhir, pada 1985, jumlah pelaksana impor itu diperkuat dengan masuknya PT Giwang Selogam, perusahaan patungan antara Krakatau Steel dan sekelompok pengusaha swasta nasional terkenal. Giwang Selogam ini mengatur impor pelbagai bahan baku besi dan baja buat sekitar 26 perusahaan di seluruh Indonesia. Tak hanya kepercayaan yang diberikan pemerintah. Lewat SK Menteri Perdagangan Rachmat Saleh, Krakatau Steel kemudian juga menetapkan harga patokan bahan baku besi dan baja impor itu. Malah mereka, belakangan, juga diberi hak membeli kapal-kapal tua yang mau di-scrap untuk bahan baku perusahaan itu, dengan harga yang ditetapkan pemerintah. Kini, meski tak drastis, pelan-pelan pemerintah mulai melonggarkan genggaman beberapa persero atas pengimporan sekltar 90 jenis bahan baku besi baja dan logam bukan baja. Sejak 15 Januari pengimporannya dibagi menjadi: 75 jenis ditangani Krakatau Steel, 8 jenis dipegang PT Tambang Timah, dan 7 emas diberikan kepada importir terdaftar atau importir produsen. Dengan demikian, terbuka kesempatan bagi swasta untuk memanfaatkan peluang itu. Di antara tujuh jenis barang yang dibolehkan diimpor swasta itu adalah baja paduan dan baja berkarbon tinggi, lembaran untuk inti transformator, dan kawat untuk pembuatan ban luar. Belum jelas bagaimana pelaksanaan impor bisa dilakukan swasta nantinya. Mungkin kesempatan mendaftar hanya akan dibuka pada perusahaan yang sudah membuktikan bisa mengekspor sebagian produksinya. Pelbagai perubahan di sektor industri baja ini, di luar dugaan, disambut dingin oleh sejumlah pengusaha baja swasta. "Selama semua pengimporan besi baja dikontrol Krakatau Steel, saya kira, tak ada yang berubah," kata Suhendro Notowidjojo, Direktur Utama PT Budidharma Steel, yang banyak menggunakan billet impor. Suhendro, yang juga Ketua Asosiasi Pabrik Besi Beton Seluruh Indonesia (Aspibi), terus terang menyatakan iri pada kebijaksanaan yang dikeluarkan pemerintah di sektor industri tekstil. "Banyak perubahannya, dan jelas kondisi apa yang berubah," kata pengusaha itu. Sebaliknya di sektor industri baja, kata Suhendro. Ia agak bingung dengan kebijaksanaan baru itu, terutama menyangkut dua hal. Pertama, dalam mengimpor billet. "Saya jadi ragu apa bisa mengimpor. Sebab, menurut Departemen Perindustrian, sebagai lanjutan dari Paket Kebijaksanaan 6 Mei (Pakem), saya dibolehkan mengimpor billet karena kami bisa mengekspor besi beton. Tapi, di paket baru, impor billet sepenuhnya diatur Krakatau Steel," ujar Suhendro. Kedua, dalam mengimpor Cold Roll Sheet (CRS), bahan baku untuk membuat baja lapis seng. "Menurut Pakem, saya, sebagai pengekspor seng, bisa mengimpor langsung CRS. Tapi kenyataannya masih harus lewat Giwang Selogam," kata Suhendro. Bagaimana dengan peluang ekspor? "Kondisi pasar di dalam negeri sekarang ini sangat lemah. Maka, tak ada jalan lain, kalau mau hidup, harus berjuang keras untuk ekspor," jawab Suhendro. Pengusaha ini baru akhir tahun lalu mencoba ekspor 600 ton besi beton ulir untuk bangunan tinggi lesunya pasar dalam negeri juga dirasakan seorang pengusaha dari Surabaya. "Jumlah permintaan di dalam negeri cuma 60 persen dari kapasitas semua pabrik di Indonesia," kata L.N. Mettal, Direktur Pelaksana PT Ispat Indo, perusahaan baja yang bermarkas di Surabaya, kepada Masduki Baidlawi dari TEMPO. Berdiri sejak 1979, Ispat sebenarnya merupakan hasil kerja sama beberapa pengusaha nasional dengan pengusaha India. Tahun 1986, mereka sudah mengekspor 25.000 ton kawat baja gulungan ke Amerika dan RRC "Untuk tahun 1987, kami merencanakan mengekspor kawat baja dua kali lebih banyak, sekitar 50.000 ton," ujar Mettal. Semua itu sudah direncanakan Ispat jauh sebelum kebijaksanaan Paket 15 Januari keluar. "Kebijaksanaan baru itu, rasanya, tak banyak pengaruhnya pada kami. Sebab, barang yang kami produksi tak ada hubungannya dengan pelbagai bahan baku yang sudah bisa diimpor langsung oleh swasta," kata Mettal lagi. Marah Sakti, Laporan Biro Jakarta & Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini