Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menggusur Dominasi Cina

Perbankan dalam dan luar negeri berebut membiayai megaproyek listrik 10 ribu megawatt. Tawaran Cina terlalu mahal.

3 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DERU buldoser dan traktor terasa menggetarkan areal sawah dan tambak di tepi pantai Desa Lontar, kawasan Teluk Naga, Banten, pekan lalu. Alat-alat berat itu hilir-mudik mengeruk dan meratakan tanah. Di sekelilingnya, ratusan pekerja sibuk memasang patok bambu di pinggir jalan sebagai tanggul penahan tanah.

Di areal seluas 111 hektare inilah rencananya akan dibangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkapasitas 3x315 megawatt. Setelah infrastruktur siap, konsorsium kontraktor Dongfang Electric Corp. dari Cina harus menun-taskan pembangunan konstruksi tiga unit pembangkit dalam tempo tiga tahun.

Proyek pembangkit senilai Rp 7,5 triliun ini hanyalah satu dari 35 megaproyek pembangkit listrik tenaga uap dengan total kapasitas 10 ribu megawatt. Pemerintah bersama PLN sedang ngebut mengerjakan proyek itu guna mempercepat diversifikasi bahan bakar pembangkit dari minyak (BBM) menjadi uap atau gas.

Tujuan proyek ini tak lain untuk menekan subsidi BBM yang melonjak akibat kenaikan harga minyak. Tahun ini, gara-gara harga minyak mendekati US$ 100 per barel, subsidi untuk listrik membengkak menjadi Rp 43,5 triliun dari anggaran semula yang hanya Rp 32,4 triliun. Sebagian besar kenaikan subsidi tersebut akibat kenaikan harga BBM.

Saat ini, dari kapasitas terpasang PLN sebesar 25 ribu megawatt (netnya 20.305 megawatt), 30 persen di antaranya masih memakai BBM. Dengan harga sekarang, biaya pengadaan listrik untuk pembangkit yang menggunakan BBM bisa sampai Rp 1.900 per kWh. Padahal, kalau diganti batu bara, ongkos produksi listrik hanya Rp 350 per kWh.

Selain itu, proyek tersebut juga untuk menambah pasokan listrik yang terancam krisis pada 2009. Saat ini cadangan listrik Indonesia hanya 25 persen. Angka itu persis di batas minimal. Dalam dua tahun ke depan, besaran cadangan itu akan tergerus hingga tinggal 13 persen akibat permintaan terus naik lebih tinggi dari pertambahan pasokannya.

Rencananya, untuk mengatasi hal itu, PLN akan membangun 10 unit pembangkit skala besar dengan kapasitas 300-600 megawatt di Jawa dan 25 unit skala lebih kecil lainnya di luar Jawa. Investasi crash program listrik itu membutuhkan duit US$ 8 miliar atau Rp 74 triliun. Seperti halnya PLTU Teluk Naga, beberapa pembangkit lainnya juga sudah memasuki tahap prakonstruksi.

Semula, proyek-proyek besar ini akan didominasi unsur Cina, baik dari sisi kontraktor maupun sumber dananya. Itu tak lepas dari hasil kunjungan Wakil Presiden Jusuf Kalla ke Beijing, pertengahan April 2006. Saat itu PLN meneken nota kesepahaman (MOU) dengan raksasa listrik dari sana.

Salah satu daya tarik dalam nota tersebut adalah pihak Cina bersedia membangun pembangkit dengan kisaran harga US$ 700 ribu per megawatt (lebih murah dari biasanya US$ 1 juta per megawatt). Mereka juga sanggup membangun dalam tempo 30-36 bulan, mau bekerja sama dengan kontraktor lokal, serta didanai dengan kredit ekspor dari Cina yang murah.

Sejauh ini, hampir semua kontraktor pembangkit besar telah dikuasai oleh perusahaan dari Negeri Panda itu. Namun, untuk pembiayaannya, dominasi Cina tampaknya bakal tergeser. Niat para bankir Negeri Tirai Bambu membiayai proyek-proyek prestisius ini bakal tersendat.

Lebih dari 18 bulan negosiasi berlangsung antara PLN dan bank-bank Cina, tetapi hasilnya nol besar. Mereka itu mencakup Bank of China, China Development Bank, dan Exim Bank of China. Bank-bank itu, kata Dirjen Listrik Departemen Energi, J. Purwono, mengajukan berbagai-bagai permintaan, sehingga perundingan berlarut-larut dan pengerjaan proyek sedikit molor. ”Bank BUMN Cina itu terlalu kaku,” katanya pekan lalu.

Skema kredit yang mereka ajukan juga kelewat mahal. Menurut Komisaris Utama PLN Alhilal Hamdi, tawarannya 120 basis poin di atas suku bunga pasar uang London (LIBOR), yang kini berkisar 5 persen. Sudah mahal, mereka masih pula meminta jaminan pemerintah atas kredit yang disalurkan ke PLN. Pemerintah sesungguhnya sudah berkali-kali meyakinkan bahwa PLN tak bakal bangkrut. ”Tetapi mereka tak mau menerima juga,” kata Hilal.

Bahkan respons yang datang lebih dari itu. Lembaga penjamin kredit Cina, Sinosure, juga meminta jaminan penuh. Selain jaminan kredit dan kesehatan keuangan PLN, mereka juga minta kepastian pasokan batu bara hingga 30 tahun. Meski Indonesia produsen terbesar batu bara dunia, mereka tetap mengkhawatirkan keajekan pasokan. Sebab, jika harga batu bara terus melonjak, pasokan bagi puluhan PLTU itu bisa terancam.

Pemerintah akhirnya memang mengeluarkan penjaminan penuh pada Oktober lalu. Toh, hasilnya tetap nihil. Seorang pejabat pemerintah yang terlibat dalam negosiasi itu mengibaratkan, Indonesia sudah melepaskan baju dan celana, namun tetap tak cukup memikat bankir Cina. Mereka tak kunjung mengubah skema kredit yang terlalu mahal itu.

Untung saja, PLN tak kehilangan akal. Perusahaan pelat merah ini belum lama ini menerbitkan obligasi senilai US$ 2 miliar atau Rp 18,6 triliun. Duit inilah, kata ketua tim percepatan pembangunan pembangkit batu bara, Yogo Pratomo, yang akan dipakai PLN membiayai kegiatan prakonstruksi. Persoalannya, duit dari obligasi ini cuma cukup untuk membiayai 15-20 persen dari total investasi PLTU.

Gara-gara duit Cina tak jelas itulah, pemerintah kemudian banting setir. Semula, pemerintah mengandalkan para kontraktor akan menggandeng bank Cina, tapi kini PLN berupaya mencari pembiayaan sendiri. Negeri itu tak lagi mendapat hak eksklusif, meski pada dua proyek lainnya—PLTU Suralaya dan Paiton—pemerintah masih memberi mereka kesempatan memangkas bunga kreditnya.

Pemerintah tak salah langkah. Setelah tender dibuka, lebih dari 20 institusi keuangan berebut membiayai proyek tersebut. Menurut Purwono, dari luar negeri ada Citigroup, HSBC, Barclays Capital, dan lainnya. Sedangkan bank domestik juga tak mau ketinggalan, antara lain Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, Bank Niaga, dan bank papan atas lainnya.

Pekan lalu, Direktur Keuangan PLN Parno Isworo mengumumkan lima bank pemenang tender pembiayaan untuk tiga PLTU, yakni di Rembang, Indramayu, dan Labuan. Lima bank yang dimaksud adalah tiga bank lokal—Bank Mandiri, BCA, dan BNI—yang akan mendanai anggaran pekerjaan sipil Rp 4,4 triliun. Sedangkan dua bank asing, Bank of China dan Barclays Capital, kebagian porsi dolar AS untuk membiayai impor peralatan senilai US$ 1,1 miliar.

Pinjaman rupiah berjangka waktu 10 tahun dan dolar AS selama 12 tahun. Sedangkan suku bunganya jauh lebih murah ketimbang tawaran bank Cina sebelumnya, juga obligasi valas PLN sebesar 7,25 persen. Berapa bunga persisnya, mereka merahasiakan, karena akan mengadakan tender untuk proyek pembangkit lainnya. ”Biar bank-bank lain mengajukan tawaran lebih murah lagi,” kata Komisaris PLN, Rahmat Waluyanto.

Pemerintah dan PLN memang tak bisa berleha-leha. Paling tidak, mereka berharap bisa memasok 2.100 megawatt pada 2009. Taruhannya bukan hanya penghematan dan ancaman krisis listrik, tapi pada tahun itu akan ada pemilu legislatif dan presiden. ”Masak, ketika pemilihan berlangsung, listrik mendadak mati,” kata Kalla beberapa waktu lalu.

Heri Susanto, Joniansyah (Banten)


10 Proyek PLTU di Jawa

PLTU 1 Banten (Suralaya)

  • Kapasitas: 1 x 625

    PLTU 2 Banten (Labuan)

  • Kapasitas: 2 x 300

    PLTU 3 Banten (Lontar)

  • Kapasitas: 3 x 315

    PLTU 1 Jawa Barat (Indramayu)

  • Kapasitas: 3 x 330

    PLTU 2 Jawa Barat (Pelabuhanratu)

  • Kapasitas: 3 x 350

    PLTU 1 Jawa Tengah (Rembang)

  • Kapasitas: 2 x 315

    PLTU 2 Jawa Tengah (Cilacap)

  • Kapasitas: 1 x 600

    PLTU 1 Jawa Timur (Pacitan)

  • Kapasitas: 2 x 315

    PLTU 3 Jawa Timur (Tanjung Awar-Awar)

  • Kapasitas: 2 x 300

    PLTU 2 Jawa Timur (Paiton)

  • Kapasitas: 1 x 660

    (megawatt)

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus