ROTAN, tampaknya, menjadi komoditi yang mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Anda lihat saja, tata niaganya bisa diubah-ubah dalam waktu yang relatif singkat. Pekan lalu misalnya. Gema larangan ekspor rotan setengah jadi (RSJ) masih belum hilang dari kuping para pengusaha, muncul SK baru yang melarang ekspor webbing, alias rotan anyaman, terhitung per 1 September. Sebagai gantinya, komponen kursi, dan tempat duduk lainnya yang dibuat dari rotan -- asal tidak dalam bentuk completely knocked down (CKD) -- pada saat yang sama diperbolehkan ekspor. Jadi, seperti bertukar tempat dalam permainan catur. Padahal peraturan yang melarang dan membolehkan kedua komoditi itu diekspor baru ditetapkan Menperdag dua bulan lalu. Menurut Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Kumhal Djamil, posisi kedua komoditi itu sengaja dibalik. Ini disebabkan, beberapa bulan terakhir, permintaan webbing meledak-ledak. Sehingga, dikhawatirkan industri rotan jadi kelabakan, karena kekurangan bahan baku. Mirip dengan alasan yang diberikan pemerintah, ketika menurunkan larangan ekspor RSJ. Bedanya, mungkin, dulu yang menjerit industri mebel Taiwan, tapi kini giliran Eropa dan Amerika yang tercekik. Maklum, konon, dari sanalah munculnya permintaan webbing yang menggebu-gebu. Benarkah hangatnya bisnis webbing mengancam industri rotan jadi? Beberapa pengusaha webbing yang dihubungi TEMPO tak lagi mampu berbicara banyak. "Kami pasrah," ujarnya. Lho kenapa? "Habis, kami sama sekali tidak mengerti, apa alasan pemerintah menyetop ekspor webbing," katanya lebih lanjut. Ia tidak yakin sama sekali, permintaan importir begitu keras, sehingga mengancam stok bahan baku di dalam negeri. Soalnya, baik di Surabaya, Padang, Medan, Palembang, Kalimantan, dan di tempat-tempat yang ada industri rotannya, webbing menumpuk cukup banyak. Pengusaha ini menduga, penyetopan ekspor hanya disebabkan oleh ulah beberapa pengusaha lain, yang akrab dengan pemerintah. "Kalau alasannya permintaan webbing naik, coba buktikan, mana datanya," ujarnya kian sengit. Ini pelampiasan rasa usar, yan tidak terlalu mengherankan, memang. Mengingat, selama ini, devisa yang mereka nikmati cukup banyak, rata-rata lebih dari 300 ribu dolar AS per bulan. Sementara itu, mesin yang harus menganggur dengan adanya keputusan ini mencapai 1.000 unit yang tersebar di 35 perusahaan. Tragis. Tapi para pemilik industri anyaman rotan ini bukannya tidak berusaha mencegah D munculnya SK larangan ekspor. Pada awal tahun, ketika rencana penyetopan ekspor RSJ diisyaratkan pemerintah, banyak pengusaha yang mengusulkan agar mempertahankan industri webbing, yang memang dianggap layak. Misalnya Himpunan Pengusaha Rotan Indonesia Cabang Sumatera Barat, yang melayangkan suratnya pada Dirjen Kumhal Djamil. Mereka menganggap komoditi webbing sangat layak dilanjutkan. Sebab, bahan baku yang digunakan berupa rotan-rotan yang tak bisa digunakan untuk memproduksi lampit. Apalagi, untuk melakukan ekspornya, tidak harus menggunakan kontainer. Begitu juga dalam soal nilai tambah. Webbing, dengan harga jual FOB, bisa menghasilkan 7-10 dolar AS per kilo. Sedangkan keranjang dan mebel rotan hanya memiliki nilai tambah 2-5 dolar. Padahal, ratusan petani rotan di Kalimantan Tengah kini terancam bangkrut. Bagaimana tidak pailit, kalau harga rotan mentah yang mereka usahakan anjlok dari Rp 55 ribu ke Rp 35 ribu per kuintal. Dan jawaban yang tepat serta benar tentulah ada pada Departemen Perdagangan. Ya, kan?Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini