DUA tahun belakangan ini, aksi ganti nama dan logo, tampaknya, sudah jadi gaya baru dalam manajemen perusahaan. Dalam gaya ini identitas perusahaan bukan saja penting, tapi perlu dijunjung tinggi. Lihatlah Garuda, perusahaan yang menghabiskan bermilyar rupiah untuk sebuah logo dan nama baru. Tidak cuma itu. "Baju" Garuda, yang semula merah jingga itu, ikut berubah warna menjadi biru putih, hingga sepintas mirip Lufthansa. Tahun Naga ini, jejak Garuda diikuti oleh Bank BNI, Bank Bali, dan terakhir United City Bank (UCB). Sejak akhir Agustus '88, UCB berganti nama menjadi Unibank, di samping logo baru yang berupa garis-garis lengkung membentuk bola dunia. "Kami berharap masyarakat akan lebih mudah mengingat nama kami," kata Hikmat Kartadjoemena, salah seorang direkturnya. Hal lain yang juga cukup penting adalah perubahan pada pucuk pimpinan. Direktur utama, yang semula dijabat eks gubernur DKI Tjokropranolo, kini diganti oleh eks gubernur Sulawesi Utara G.H. Mantik. Ini tentu bukan pergantian basa-basi. Sejak pemilikannya diambil alih tahun 1986 -- oleh Sukanto Tanoto pemilik perusahaan kayu Raja Garuda Mas -- konsolidasi terus dilakukan agar Unibank sehat. Pernah dilanda krisis berat, bank ini bahkan sampai begitu kedodoran hingga memerlukan suntikan likuiditas dari Bank Indonesia. Waktu itu reputasinya jatuh di mata nasabah, sementara kewajiban-kewajibannya yang sudah jatuh tempo tak bisa terbayar. Menurut Hikmat, itu terjadi karena manajemen lama -- ketika itu masih dipegang oleh pemilik James Semaun -- banyak melakukan transaksi di luar kebijaksanaan yang biasa dipakai oleh para bankir. Misalnya saja, Semaun, yang juga memiliki saham di dua bank lain, bisa dengan seenaknya mentransfer dana dari UCB. Selain itu, ia juga banyak memberikan kredit -- yang terbukti menjadi kredit macet -- kepada anak-anak perusahaannya sendiri. Akibatnya, modal UCB tersisa cuma Rp 5 milyar, hanya 18,7% dari modal yang seharusnya dimiliki -- untuk menutup segala risiko. Penelitian yang dilakukan oleh orang-orang Hong Kong menunjukkan bahwa banyak kredit yang diberikan tanpa studi kelayakan. "Manajemen lama ketika itu memberikan kredit, tak ubahnya seperti salam tempel saja," ujar Hikmat. Akibatnya, piutang macet membengkak hingga Rp 37 milyar -- 49% dari total piutang yang Rp 75 milyar. Tak heran bila untuk pertama kalinya -- setelah beberapa tahun untung -- UCB merugi Rp 195 milyar pada tutup buku Juni 1986. Lalu Bank Indonesia mencarikan investor sebagai juru selamat. Mula-mula Grup Astra tertarik. Tapi setelah beberapa stafnya melakukan studi kelayakan, mereka mundur teratur. Konon kabarnya, luka UCB sudah terlampau parah. Akhirnya muncul Sukanto Tanoto yang bersedia langsung memompakan dana tambahan Rp 14 milyar. Kini, dana yang ditambahkan Raja Garuda Mas Group sudah Rp 23 milyar, ini pun masih kurang Rp 3 milyar dari jumlah yang dijanjikan: Rp 26 milyar. Hikmahnya, menurut Hikmat, "Kami sekarang sudah bisa untung, walau sedikit." Benarkah ? Sayang, Hikmat belum berani mengumumkan angka keuntungan itu, karena BI belum menyorotkan lampu hijau. Sikap ini membuat banyak orang meragukan kredibilitas UCB. Maklum, sejak terjadinya krisis, UCB belum pernah mengumumkan neracanya. Wajarlah bila ada bankir yang bersuara, "Kalau tak diumumkan, mana bisa kami percaya UCB itu untung." Hikmat hanya memberikan indikasi, beberapa perusahaan besar, seperti Sampoerna Matahari Department Store, dan perusahaan minuman Fanta, kini telah menjadi nasabahnya. Maka, ia benar-benar yakin, dalam waktu lima tahun lagi, Unibank akan naik dari peringkat ke-22 menjadi ke-5. Lantas apa kata Mantik? Letjen purnawirawan yang juga anggota DPA ini hanya berkomentar, "Saya ini prajurit pejuang yang terjun dalam pembangunan. Nah, di dalamnya termasuk pembangunan dunia usaha nasional yang melibatkan kalangan bank." Ia juga berjanji, hal-hal teknis dalam rangka memajukan Unibank akan diserahkan pada tenaga-tenaga profesional yang mengerti "how to manage". Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini