Salim Group akan membangun industri mobil terpadu di Bekasi. Siap-siap menyambut panen pasar mobil di tahun 1995? NAMA Liem Sioe Liong sebagai industriwan mobil di Indonesia sudah lama dikenal orang. Bahkan, banyak kalangan yang tak segan-segan meramalkan bahwa Om Liem -- dengan Suzuki Groupnya -- tak lama lagi akan menggeser posisi William Soeryadjaya sebagai raja mobil di Indonesia. Mungkinkah? Kalau melihat potensi Liem sebagai raja konglomerat Nusantara, proyeksi itu tentu bukan proyeksi sembarangan. Apalagi setelah Suzuki pekan lalu meresmikan industri mobil terpadu yang berlokasi di Kecamatan Tambun, Bekasi, Jawa Barat. Di sana, di atas tanah seluas 35 hektare, Grup Suzuki akan membangun industri mobilnya. Mulai dari pembuatan komponen hingga ke perakitan sepeda motor Suzuki, mobil Suzuki, sedan Mazda, dan truk Hino. Kapasitasnya setahun, 120 ribu sepeda motor dan 100 ribu kendaraan roda empat. "Pokoknya, semua kegiatan yang berkaitan dengan industri mobil kelak akan dikonsentrasikan di sini," kata Soebronto Laras, Dirut Indomobil Group. Memang, cita-cita membangun industri mobil terpadu belum segera bisa terwujud. Dengan investasi 60 juta dolar (49% Suzuki Motor Corporation-Jepang, dan 51% Salim Group), pabrik yang dinamai PT Indomobil Suzuki International (ISI) ini belum bisa menampung seluruh kegiatan produksi. Sementara itu, pembuatan komponen badan mobil, sebagian komponen dari plastik, aluminium, dan pressed body baru akan dipindahkan ke ISI tahun depan. Tapi untuk itu masih diperlukan tambahan investasi 25 juta dolar, di antaranya untuk menambah areal pabrik jadi 50 hektare. Sebuah langkah ke arah full manufacturing? Betul. Tapi, mengapa Indomobil, yang jelas-jelas didukung modal kuat dari Liem Sioe Liong, sangat lambat dalam membangun industri mobilnya. Menurut Soebronto, itu wajar saja karena, di kalangan permobilan di Indonesia, Indomobil adalah yang termuda. "Kami masih hijau," katanya merendah. Ketika Soebronto memegang Indomobil -- sekitar 1976 -- grup ini belum memiliki apa-apa, kecuali sebuah perakitan di Pulogadung yang hanya mampu berproduksi 3.000 unit setahun. Namun, sejak itu, tahun demi tahun, permintaan akan merek Suzuki menanjak pesat. Toh, hingga tahun 1987, Liem belum mau melakukan investasi yang lebih besar. Sekadar memenuhi permintaan pasar -- tahun lalu sekitar 55 ribu unit -- - Suzuki masih mengandalkan perakitan di Pulogadung yang ditambal sulam, plus mensubkontrakkan sebagian pesanan yang diperolehnya kepada Krama Yudha dan National Assembler. Akhirnya, niat membangun industri terpadu terbersit di 1988. Ketika itu, Liem Group membeli perakitan sepeda motor Bajaj dan Binter milik PT Tunas Bekasi Motor -- termasuk mengambil alih 500 karyawannya. "Kami tertarik menyatukan industri mobil di sini karena lokasinya memenuhi syarat," kata Soebronto. Maksudnya, selain areal pabrik lebih mudah diperluas -- tidak sesulit di Cakung dan Pulogadung yang sudah padat -- juga di sekitarnya tersedia fasilitas perumahan. Bahkan, Indomobil kini melatih 300 karyawan di pabrik Suzuki Motor di Jepang. Namun, mengapa Indomobil mengembangkan industri di saat pasar mobil sedang payah? Jawabnya, mungkin, karena ketidaksengajaan. Ketika pabrik ini direncanakan (1988), pasar mobil sedang bagus-bagusnya. Persis saat pabrik diresmikan, ternyata, pasar dilanda lesu berat. Namun, tak ada alasan untuk pesimistis. Soebronto memperkirakan, pada tahun 1995 pasar mobil Indonesia akan mencapai angka 500 ribu unit setahun. Kalau jumlah itu tercapai, Suzuki Group paling tidak akan menguasai pangsa 100 ribu unit. Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini