Pekerja PT Tambang Timah mulai dirumahkan, tapi beban-beban yang tak perlu belum dilepaskan. Mengapa tidak mawas diri? DI satu unit penambangan timah di Pulau Bangka, teronggok mesin pengeruk di bawah terik matahari. "Awal tahun ini masih bekerja 42 orang, kini hanya tinggal 20 orang," kata seorang karyawan PT Tambang Timah. Dikatakannya, banyak pekerja tambang yang -- sesuai dengan anjuran -- meminta pensiun dini. Sampai April silam, sudah 1.000 orang pensiun -- barangkali gelombang pertama dari 12.000 karyawan yang mesti dirumahkan. Agaknya, inilah risiko pahit dari bencana yang menimpa PT Tambang Timah, sejak harga timah jatuh dua tahun berselang. Risiko lain, masih harus membiayai stasiun relay TV di Bangka, sementara anggaran listrik di kawasan itu, yang nyalanya semakin redup, terpaksa dikurangi. Selama sepuluh tahun, PT Tambang Timah menghabiskan Rp 1,9 milyar untuk stasiun relay itu. Belum lagi anggaran listrik. Namun, karena BUMN ini merugi terus, dana TV dan listrik terasa sangat membebani. Belum lagi ongkos pemeliharaan sekolah, rumah sakit, dan gedung-gedung lain yang selama ini ditanggung PT Tambang Timah untuk kepentingan karyawan dan masyarakat sekitarnya. Lebih menyedihkan lagi, belum ada pihak swasta yang mau mengambil alih sarana kepentingan umum itu. Beban PT Tambang Timah sudah tak tertanggungkan. Dalam pertemuan antara Direksi PT Timah dan para pejabat Departemen Keuangan (Menteri Muda Keuangan Nasrudin Sumintapura dan Dirjen Anggaran Oskar Suryaatmadja) pekan ini, agaknya soal kerugian akan dibahas. Selama 1990, kerugian tersebut berjumlah Rp 25,88 milyar. Jumlah pendapatan dari hasil penjualan timah (Rp 303,98 milyar) dan sumber lain (Rp 15,36 milyar) ternyata tidak bisa menutupi biaya produksi, overhead, dan lain-lain, yang jumlahnya Rp 345,22 milyar. Dalam laporan direksi, cashflow PT Tambang Timah 1991 mengalami defisit Rp 3,13 milyar. Posisi utang per 1 Januari 1991 total Rp 122,36 milyar. Antara lain utang kepada BDN (Rp 41,87 milyar) dan BBD (Rp 15 milyar), serta utang royalti kepada Departemen Keuangan Rp 30,2 milyar. Sejak Februari silam, Menko Ekuin sudah membentuk tim antar-departemen untuk memperlancar reorganisasi di BUMN ini. Tim tersebut menginventarisasi kembali unit-unit PT Tambang Timah yang selama ini merugikan. Menteri Ginandjar Kartasasmita juga sudah melancarkan restrukturisasi dalam manajemen BUMN itu. Salah satu jalan keluar adalah pensiun dini, yang mulai dilaksanakan Senin pekan silam. Penyaluran pensiun dilaksanakan oleh BRI, melalui nota kerja sama yang ditandatangani oleh Direktur Utama PT Tambang Timah Kuntoro Mangkusubroto dan Direktur Utama BRI Kamardy Arief. "Pensiun dini ini diberikan kepada karyawan yang telah berusia sekitar 50 tahun dan sudah bekerja selama 20 tahun." Seiring dengan restrukturisasi, dari 24 ribu karyawan PT Tambang Timah, yang sudah mendaftarkan diri untuk memperoleh fasilitas tersebut ada 2.800 orang. Untuk tahun anggaran 1991/1992, dana untuk pesangon sudah tersedia Rp 14 milyar. Selama lima tahun mendatang, Pemerintah sepakat menyiapkan dana Rp 113 milyar, untuk biaya pesangon karyawan lainnya yang akan pensiun, yang jumlahnya diperkirakan 12.000 -- kira-kira setengah dari seluruh pekerja PT Tambang Timah (24.000 orang). Penciutan tersebut cukup drastis, tapi Bank Dunia menilai sebaiknya yang dipertahankan hanya 9.600 orang. Harga timah dunia yang terus melorot memang telah merugikan PT Tambang Timah. Kegiatan produksi menjadi sangat tidak efisien. Apalagi harga jual sudah turun sampai US$ 5.500 per ton, sedangkan biaya produksi tak kurang dari US$ 5.600 per ton. Kuntoro pernah mengakui, dengan kondisi harga seperti itu, PT Tambang Timah sungguh sangat terpukul. Barangkali kejatuhan harga timah tidak akan sampai mengguncangkan bila saja PT Tambang Timah cukup tangkas menangkis bencana itu. Paling tidak setangkas Malaysia, negara tetangga yang selama ini sangat mengandalkan ekspor timahnya. Bagaimana tangkisan Malaysia? Jauh sebelum harga jatuh, Kementerian Perusahaan Utama Malaysia (yang membawahkan Perusahaan Tambang Malaysia) sudah melakukan antisipasi. Sejak lima tahun silam mereka telah membenahi manajemen agar bisa menekan biaya produksi. Sektor-sektor yang selama ini menambah beban disunat. Terutama upah buruh, yang memang menyedot dana paling besar. Caranya: karyawan diikat berdasarkan sistem kontrak. Dengan status kepegawaian seperti itu, jumlah karyawan tiap tahunnya tidak sama. "Tergantung kebutuhan saat itu," kata seorang pejabat di Kementerian Perusahaan Utama Malaysia. Pada 1988, misalnya, ketika harga timah stabil, karyawannya berjumlah 11.400 orang, disebar di 219 unit penambangan. Jumlah itu bertambah pada 1989 -- - karena harga timah naik -- menjadi 12.700 orang dan tambang diperbanyak jadi 255 unit. Sedangkan pada 1990, saat harga anjlok, tambang yang dioperasikan tinggal 145 unit, dan jumlah karyawan pun diciutkan jadi 8.500 orang. Jurus Malaysia itu ternyata ampuh. Sebaliknya, PT Tambang Timah di Indonesia tidak mengandalkan jurus apa pun. Tak heran bila karyawan setingkat manajer menengah di BUMN itu menilai, persero tersebut tidak pernah mawas diri. Kata mereka, perusahaan terlalu banyak menggarap bidang di luar urusan timah. "Coba, kalau semua itu sejak dulu dilepaskan, lalu perusahaan berkonsentrasi di penambangan timah saja, tentu keadaannya tidak separah sekarang," kata seorang karyawan yang segera akan pensiun. Pelbagai komentar itu sepenuhnya benar, hanya terlambat menyuarakannya. Mengapa tidak sejak tahun 1973, ketika stasiun relay TV itu baru dipasang. Mengapa tidak dari awal, ketika kondisi "besar pasak daripada tiang" mulai dirasakan sebagai beban. Mengapa ...? Mohamad Cholid, Hasan Syukur, dan Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini