Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Meninjau Ulang Bea Masuk Impor Poliester

Komite Anti-Dumping Indonesia mulai melakukan penyelidikan tindak lanjut antidumping terhadap impor polyester staple fiber asal India, Cina, dan Taiwan. Penyelidikan tersebut dilakukan berdasarkan beberapa bukti awal, seperti masih berlanjutnya praktik dumping yang merugikan industri dalam negeri.

13 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktifitas kapal ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 15 Maret 2021. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ada indikasi tiga negara masih melakukan dumping produk serat poliester.

  • Pasar poliester di Cina mengalami kelebihan pasokan.

  • Dumping biasanya dilakukan untuk menekan industri sejenis di dalam negeri.

JAKARTA – Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI) mulai melakukan penyelidikan tindak lanjut atau sunset review antidumping terhadap barang impor polyester staple fiber (PSF) dengan nomor pos tarif 5503.20.00 asal India, Cina, dan Taiwan. Ketua KADI, Donna Gultom, mengatakan penyelidikan tersebut dilakukan berdasarkan beberapa bukti awal, seperti masih adanya dumping atau perbedaan harga barang yang merugikan industri dalam negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain itu, Donna menambahkan, berdasarkan analisis kemungkinan kelanjutan atau pengulangan (likelihood of a continuation or recurrence of dumping), terdapat kelebihan kapasitas di negara yang dikenai bea masuk antidumping (BMAD). Bukti awal lainnya ialah ditemukan adanya hambatan perdagangan di negara tersebut. "Apabila pengenaan BMAD tidak dilanjutkan, kerugian yang masih dialami oleh industri dalam negeri akan semakin parah," tutur Donna kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penyelidikan ini merupakan tindak lanjut dari permohonan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) untuk melakukan sunset review. Sebagai tahap awal, Donna berujar, KADI telah mengirimkan kuesioner kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk memperoleh bukti mengenai dumping. "Beberapa bukti yang diperlukan adalah kerugian, hubungan kausal, serta likelihood of a continuation or recurrence of dumping," tutur Donna.

Ketua Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI), Donna Gultom. Kadi.kemendag.go.id

Selain kepada industri dalam negeri, informasi dimulainya penyelidikan disampaikan kepada importir; eksportir atau produsen; Kedutaan Besar Republik Indonesia; Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di negara tersebut; serta perwakilan pemerintah India, Cina, dan Taiwan di Indonesia. KADI memberikan kesempatan bagi pihak yang berkepentingan lain untuk menyampaikan pemberitahuan ikut berpartisipasi dalam penyelidikan selambat-lambatnya 14 hari sejak tanggal pengumuman.

Sekretaris Jenderal APSyFI, Redma Gita Wirawasta, menilai masih ada indikasi dumping terhadap produk PSF dari India, Cina, dan Taiwan, meski sudah dikenai bea masuk pada beberapa tahun terakhir. Hal ini, kata dia, salah satunya disebabkan oleh kapasitas poliester Cina yang sangat besar, yaitu lebih dari 30 juta ton per tahun. "Sementara itu, penyerapan pasar domestik Cina masih di bawah pasokan. Artinya, ada kelebihan pasokan di sana," kata Redma.

Selain itu, pasar PSF di dalam negeri sebenarnya masih kelebihan pasokan. Sebab, dengan kapasitas 800 ribu ton per tahun, tingkat konsumsi hanya 550 ribu ton. Redma menuturkan jumlah kelebihan produk Cina yang mencapai jutaan ton harus dilepas. Agar pasokan cepat habis, ia menduga praktik dumping dilakukan dengan harapan industri serupa di Indonesia bisa babak belur dan pasarnya dikuasai. 

"Hal ini berlaku juga dengan India yang memiliki kapasitas PSF sangat besar. Tren impornya masih stabil sekitar 120 ribu ton, meskipun ada pandemi Covid-19," tutur Redma.

Penerapan tarif bea masuk antidumping untuk PSF ini dikenakan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 114 Tahun 2019 terhadap PSF dari Cina, India, dan Taiwan. Bea masuk antidumping berlaku sejak 19 Agustus 2019 hingga tiga tahun ke depan. Kebijakan tersebut merupakan perpanjangan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73 Tahun 2016 yang telah habis masa berlakunya. Dalam temuan ketika itu, pemerintah melihat ada kelebihan kapasitas produksi PSF dari Cina.

Pemerintah waktu itu juga melihat harga jual ekspor produk PSF asal Cina, India, dan Taiwan lebih murah daripada rata-rata harga yang dijual kepada negara lain. Indikasi berikutnya ialah adanya pengenaan bea masuk terhadap produk PSF asal Cina, India, dan Taiwan oleh Amerika Serikat serta Pakistan. Diduga, penjualan produk asal Cina, India, dan Taiwan yang tidak bisa masuk ke pasar Amerika atau Pakistan dialihkan ke Indonesia.

LARISSA HUDA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus