Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menjajakan atsiri

Ekspor minyak atsiri dari bbrp daerah akan ditingkatkan, terutama dari aceh. ekspor komoditi ini cenderung merosot akibat persaingan & kekurangan bahan baku. sementara produk lokal mutunya masih rendah.(eb)

31 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MINYAK atsiri mulai dijagokan tampil sebagai penghasil devisa. Menurut Menteri Perindustrian Hartarto, program peningkatan itu akan dimulai dari Daerah Istimewa Aceh, kemudian Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan seterusnya ke bagian timur Indonesia. Aceh masuk program pertama karena, selain provinsi itu dicatat sebagai penghasil devisa atsiri terbesar, untuk merangsang petani ganja meninggalkan usaha yang terlarang. Atsiri adalah minyak bahan baku parfum bumbu, atau cita rasa yang dikandung berbagai tanaman yang banyak tumbuh di Indonesia. Antara lain bisa diteteskan dari daun nilam (terutama di Aceh), akar wangi (terutama di Jawa Barat), bunga kenanga (Jawa Tengah), daun cengkih dan buah pala (hampir seluruh Indonesia), dan cendana (NTT). Tanaman itu direbus, uapnya kemudian disuling, akhirnya meneteslah minyak atsiri yang harum atau berkhasiat itu. Dewasa ini ada sekitar 20 perusahaan pengekspor yang setiap tahun mampu mengumpulkan devisa sekitar US$ 30 juta lebih. Namun, perolehan itu, tampaknya, cenderung merosot sejak 1980. Sedangkan saingan terdekat Indonesia, RRC, dalam lima tahun terakhir mampu meningkatkan perolehan devisa atsiri dari US$ 54 juta menjadi US$ 62,5 juta. Brasil pun kini sudah menyamai Indonesia. Padahal, lima tahun silam, negara itu baru mampu meraih sekitar US$ 25 juta per tahun. Tapi eksportir minyak atsiri raksasa masih AS (sekitar US$ 100 juta per tahun) dan Prancis (US$ 75 juta). Sedangkan transaksi perdagangan seluruhnya berkisar US$ 500 juta lebih per tahun. Tampaknya cukup banyak masalah yang harus dibenahi. Sebab, selama ini, petani hanya musim-musiman saja menanam atau mengumpulkan tanaman bagi para penyuling. Di Aceh, misalnya, rakyat sering tergiur bergenlya menanam ganja dari menanam nilam. Pohon kenanga di Jawa Tengah, yang butuh waktu 8 tahun baru mau berbunga, boleh dikata tak diremajakan lagi. Akibatnya, para penyuling sulit mencari tanaman atsiri, dan produksi jadi seret. "Dulu, saya dapat berproduksi lima kali sebulan, dan menghasilkan tiga kuintal minyak kenanga. Sekarang, paling tinggi sebulan sekali, dan hasilnya hanya 60 kg," tutur Sikna, pemilik empat unit penyulingan di Kabupaten Boyolali. Setiap ketel membutuhkan satu ton bunga kenanga seharga Rp 200.000. Hasilnya sekitar 17 kg minyak atsiri. Tiga penyuling di Boyolali mengaku menjual kepada eksportir dengan harga Rp 14.000 per kg, sehingga usaha mereka hanya menghasilkan sekitar 10%. Padahal, para eksportir bisa meraih untung sekitar dua kali lipat karena, menurut Menteri Hartarto, harga minyak kenanga Boyolali di pasar internasional sekitar US$ 30.000 per ton. Menurut Rosita S. Noer, pemilik dua perusahaan terbesar eksportir minyak atsiri di Sumatera Barat, mutu produk lokal yang memakai sistem penyulingan tradisional kalah dibandingkan produksi negara-negara tetangga. Sehingga minyak atsiri Indonesia sering dihargai lebih murah 3%-5% di pasar internasional. Bahkan, katanya, ada perusahaan parfum di luar negeri yang mempunyai perwakilan di Indonesia, seperu parfum Firmenich dan Fontarome, ikut-ikutan menyaingi produsen lokal dengan ikut menyuling sendiri. Program pemerintah tampaknya memang akan menyangkut mulai dari pembinaan petani sampai dengan penyulingan. Untuk tahap I, yang akan dilancarkan di Aceh, PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) ditunjuk sebagai bapak angkat. PIM mendirikan PT Gecis Matra Indonesia yang akan membimbing petam, mulai dari pembibitan sampai pemasaran daun nilam, melalui tiga areal percontohan (demonstration plots). Para petani pun akan diberi bantuan modal kerja untuk enam bulan berupa kredit Bank Indonesia dan BRI Rp 46.000 per bulan. Sedangkan para penyuling pun akan dibantu dengan ketel penyuling berkapasitas 50 kg yang harganya Rp 60.000 (dari drum) sampai yang berharga Rp 2 juta (dari baja tahan karat). Diharapkan Aceh, nantinya, akan bersih ganja, ikut mencari devisa, dan menjadi provinsi terdepan berhadapan dengan RRC di pasar atsiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus