Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mudah ditebak, lembaga ini dibentuk karena beban utang sudah mencekik leher. Sampai hari ini, utang pemerintah kepada kreditur luar negeri tercatat US$ 65 miliar. Selain itu, ada pula beban utang dalam negeri (obligasi pemerintah untuk membiayai rekapitalisasi perbankan) sebesar Rp 300 triliun lebih. Akhir tahun nanti, ketika seluruh injeksi modal kepada bank selesai digelar, nilai obligasi itu akan membengkak menjadi Rp 650 triliun.
Jika dihitung dalam dolar, total utang pemerintah akan meledak mencapai US$ 160 miliar lebih. Ini hampir setara dengan angka produk domestik bruto (PDB), yang diperkirakan mencapai Rp 1.200 triliun. Padahal, sebelum krisis, rasio antara utang pemerintah dan PDB tidak lebih dari 25 persen.
Dengan beban sebesar itu, bisa dibayangkan beban cicilan utang akan mengancam keuangan negara dari pelbagai penjuru. Neraca pembayaran (balance of payment) akan sempoyongan karena deraan cicilan utang dolar, sedangkan anggaran pendapatan dan belanja negara pun akan "termehek-mehek" menanggung beban bunga obligasi. Untuk tahun ini saja (sembilan bulan, dari April sampai Desember), biaya bunga obligasi akan mencapai Rp 42 triliun.
Banyak yang khawatir, diam-diam Indonesia sudah terpelanting ke dalam perangkap utang (debt trap). Penjadwalan kembali cicilan utang luar negeri tak banyak menolong karena hanya mengakumulasi beban utang di kemudian hari alias menendang beban ke anak-cucu. Untuk mengatasi beratnya beban cicilan dolar ini, Menteri Bambang Sudibyo memang sudah merencanakan untuk mulai mengubah orientasi utang kepada kreditur luar negeri menjadi utang ke dalam negeri.
Dari satu sisi, pengubahan kiblat utang ini memang bolehlah diacungi jempol. Dengan menarik utang dalam mata uang rupiah, keuangan negara tidak terancam oleh fluktuasi nilai tukar. Jika harga dolar kembali bergejolak, misalnya, jumlah utang kita tidak serta-merta ikut membengkak. Tapi, berutang ke dalam negeri, sekalipun kepada rakyat sendiri, namanya tetap saja utang yang harus dibayar. Jika jumlahnya berlebihan (sehingga porsinya dibandingkan dengan total pengeluaran dalam APBN melonjak terlalu tinggi), posisi keuangan negara juga akan terjepit. Di sinilah DMO akan mengatur dan memutuskan: porsi mana yang mesti ditambah, utang ke luar negeri atau ke dalam negeri, atau tak perlu lagi mengutang.
Anehnya, proyek halal yang mestinya didukung rakyat ini digelar diam-diam, seolah-olah sebuah proyek rahasia. Kendati selentingan tentang DMO sudah mulai terdengar sejak pertengahan Februari lalu, Menteri Keuangan Bambang Sudibyo belum mau membuka mulut soal badan baru ini. "Nanti bisa panjang ceritanya," katanya kepada TEMPO sambil mewanti-wanti bahwa cerita DMO ini bisa nyerempet ke mana-mana. Seorang pejabat tinggi di Departemen Keuangan bahkan mengingatkan agar DMO tak usah diberitakan.
Ada apa? Barangkali, soalnya akan berpusar soal rebutan rezeki dan wewenang. DMO, yang merupakan lembaga eselon I (sekelas direktorat jenderal atau badan), akan menyerobot pekerjaan banyak instansi. Selama ini, urusan utang luar negeri ditangani banyak lembaga. Berperan sebagai penyeleksi dan penyalur dana proyek sekaligus komandan adalah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Sementara itu, kontrol berada di tangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan pembayaran menjadi urusan Ditjen Anggaran. Dengan adanya DMO, fungsi dan kewenangan badan-badan ini akan tereduksi.
Tapi, sebaliknya, dengan kewenangan yang begitu besar, DMO juga akan bergerak ke persimpangan dengan dua pilihan jalan: menjadi efektif dan bersih atau justru sebaliknya, jadi sarang korupsi baru yang sulit dikontrol.
Candra Negara dan Agus Slamet Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo