Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pak Menteri, Jangan Bingungkan Petani |
MENTERI Pertanian M. Prakosa dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla sedang bersitegang soal bea masuk (BM) beras. Prakosa ingin pemerintah kembali menaikkan BM beras dari 30 persen menjadi 45-50 persen. Alasannya, agar Indonesia bisa mengurangi impor beras menjelang panen raya pada bulan depan. Tapi Kalla ingin Indonesia mematuhi Dana Moneter Internasional (IMF). ”Kan, baru Januari lalu impor beras dikenai BM 30 persen (setara dengan Rp 430 per kilogram). Kalau mau dinaikkan, tunggu enam bulan lagi sesuai dengan letter of intent,” kata Kalla.
Menurut Prakosa, para petani belakangan ini menghadapi kesulitan karena melimpahnya pasokan gabah dan beras. Harga gabah di tingkat petani, misalnya, sudah jatuh sampai Rp 800 per kilogram, padahal harga dasar gabah ditentukan pemerintah Rp 2.020. Jika musim panen raya tiba, petani bisa makin terjepit. Karena itu, BM beras harus dinaikkan agar harga gabah tidak jatuh. Selain melalui bea masuk, pemerintah pun sudah menyiapkan dana Rp 3,6 triliun untuk membeli gabah dari petani. Pemerintah juga sudah mengurangi impor beras dalam jumlah yang cukup signifikan, yakni 30 persen, agar pasokan beras di dalam negeri tidak berlebih. Namun, kata Kalla, kalau pajak impor dinaikkan lagi, perbedaan harga antara beras impor dan beras lokal akan menajam.
Dampaknya jelas. Bea masuk harus diturunkan lagi agar BM itu tidak menjadi proteksi berlebihan. Kalau begitu, ini seperti buah simalakama. Tapi, kalau dua menteri ini bisa akur, petani tak akan bingung.
BNI Masih Merepotkan |
KALAU ada bank yang banyak merepotkan Bank Indonesia (BI) dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), itu tak lain adalah Bank BNI. Berkali-kali bank berlambang perahu layar ini mengguncang dua lembaga yang bertanggung jawab atas penyehatan perbankan nasional itu. Terakhir, BNI membuat pernyataan tentang rasio modal minimum (CAR)-nya yang sudah 12,54 persen. Lo? Ini bisa terjadi karena BNI merasa telah direkap melalui penerbitan right issue yang dilakukan tahun lalu, sehingga berdasarkan peraturan standar akuntansi pasal 21, kalaupun uang pemerintah senilai Rp 52 triliun belum dikucurkan, itu sudah bisa dimasukkan dalam neraca keuangan.
Tentu saja alasan ini ditentang habis-habisan oleh BI. Menurut Gubernur BI Syahril Sabirin, CAR BNI masih tetap di bawah 4 persen. Soalnya, secara riil, BNI memang belum direkap. Salah satu alasan yang membuat BNI belum juga direkap adalah kebandelan bank ini yang tak mau juga menyerahkan kredit macet (kategori lima) Grup Texmaco ke BPPN. Padahal, besarnya kredit macet perusahaan Marimutu Sinivasan ini tergolong sangat besar. Kredit prapengapalan saja sudah Rp 9,8 triliun. Seharusnya kredit macet itu sudah ditransfer Kamis pekan lalu. Tanpa adanya pemindahan itu, BNI tetap tidak akan mendapatkan dana rekapitalisasi. Kalau begini, yang rugi nasabah BNI sendiri.
Tutut Masih Ada |
PENGUSAHA jalan tol Siti Hardijanti Rukmana ternyata masih eksis. Pernyataan ini muncul setelah putri tertua bekas presiden Soeharto itu kabarnya mendapatkan mitra yang akan meneruskan proyek jalan tolnya yang terbengkalai. Perusahaan konstruksi dari Malaysia, Roads Builder, berencana menyelesaikan proyek jalan tol lingkar luar Jakarta yang macet gara-gara krisis ekonomi. Jalan tol ini dibangun oleh Citra Margatama, perusahaan patungan Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) dengan PT Jasa Marga.
Berkah ini muncul setelah Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, berkunjung ke Indonesia, Kamis pekan lalu. Dalam kunjungan tersebut, Mahathir disertai sejumlah pengusaha Malaysia. Dalam pertemuan itu, ditandatangani delapan kerja sama bisnis. Salah satunya tertarik untuk berinvestasi ke jalan tol. Tutut sendiri kabarnya sudah melepaskan sahamnya di Citra Margatama. Tapi para analis masih yakin bahwa Tutut masih di sana. Soalnya, sampai sekarang, tak jelas kepada siapa wanita yang selalu berkerudung ini menjual sahamnya. Selain itu, bos CMNP, Teddy Kharsadi, masih menjadi eksekutif di Citra Margatama.
Banjir Rezeki Minyak |
HARGA minyak mentah dunia masih tetap meledak-ledak. Pekan lalu, harga minyak mentah jenis light sweet crude dijual dengan harga US$ 32,18 per barel. Ini harga tertinggi dalam sembilan tahun terakhir. Sedangkan harga minyak Indonesia rata-rata masih US$ 27-28 per barel. Selain disebabkan oleh masih bertahannya Organisasi Negara Produsen Minyak (OPEC) dengan kuotanya, kenaikan ini dipicu oleh badai yang terjadi di Laut Utara yang menghambat pengiriman minyak dari Norwegia. Di luar itu, pemogokan yang melanda Nigeria juga menyebabkan pasokan dari produsen minyak terbesar di Afrika itu masih belum lancar.
Negara-negara maju sendiri juga sudah mulai gerah dengan harga minyak yang terus bergerak di atas US$ 28 per barel. Amerika Serikat, misalnya, sudah minta OPEC menaikkan pagu kuotanya 2-3 juta barel per hari dari posisi sekarang, 22,97 juta barel. Namun, OPEC kemungkinan hanya akan menaikkan 1 juta barel. Bagi Indonesia, kenaikan ini adalah rezeki nomplok seperti yang terjadi pada 1970-an. Soalnya, menurut Menteri Pertambangan dan Energi Susilo B. Yudhoyono, setiap kenaikan harga minyak 1 dolar, penghasilan bersih yang diterima pemerintah bisa bertambah Rp 1,3 triliun. Artinya, dengan patokan harga minyak US$ 20 per barel, Indonesia bisa menangguk rezeki sekitar Rp 10 triliun. Lumayan untuk masa yang seret seperti sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo