BENIH itu sudah waktunya dipanen sekarang. Tujuh bank papan tengah yang diambil alih pemerintah setahun lalu, kini, tiba saatnya untuk disapih, dibiarkan hidup mandiri. Tapi, celakanya, setelah setahun dipelihara pemerintah, kondisi kesehatan bank-bank itu tidak membaik, malah beberapa makin buruk.
Ini tak memungkinkan mereka hidup sendiri. Kalaupun diinjeksi dengan modal besar-besaran, belum tentu mereka akan terus survive dalam jangka panjang. Menghadapi persaingan yang begitu ketat, boleh jadi mereka akan terus membutuhkan injeksi berkali-kali untuk sekadar bertahan hidup.
Maka, harus dicari jalan lain. Yang sudah ketahuan sekarang, daripada membebani keuangan pemerintah, bank-bank itu harus dicarikan pasangan, dikawinkan. Tapi harus dicari pasangan yang lebih besar dan lebih sehat agar cukup kuat untuk menelan bisul yang mau meledak itu.
Tampaknya, begitulah kira-kira ringkasan riwayat tujuh bank yang dipungut pemerintah setahun lalu. Bank-bank itu adalah Bank Nusa Nasional (tadinya milik keluarga Nirwan Bakrie), Bank Duta (milik yayasan-yayasan yang didirikan Pak Harto), Bank Rama (keluarga Gondobintoro), Bank Tamara (Atang Latief), Bank Pos (Peter Sondakh dan PT Pos), Bank Jaya (Pemerintah Daerah DKI dan Ciputra), dan Bank Risjad Salim Internasional (Grup Salim).
Bersama Bank Tiara (yang juga sudah dipungut pemerintah), ketujuh bank ini akan dikawinkan dengan Bank Danamon. Melalui perkawinan itu, kedelapan bank ini akan meleburkan jati dirinya ke dalam raga Danamon. Diharapkan, akhir Mei nanti perkawinan itu sudah bisa digelar. Saat ini, delapan bank itu sedang diuji tuntas untuk menentukan berapa besar nilai mereka. September mendatang, menurut jadwal, bank hasil perkawinan yang namanya Danamon itu sudah siap beroperasi.
Dengan cara peleburan seperti ini, bank-bank yang digolongkan sebagai bank "bobrok" oleh Wakil Direktur Bank Danamon Arman Bachtiar Arief itu tidak harus ditutup, sehingga tidak membebani keuangan pemerintah lebih banyak lagi. Dengan cara peleburan ini, kebobrokan bank-bank itu untuk sementara bisa disembunyikan.
Tapi jalan pintas itu bukan tanpa masalah. Pertama, Danamon, sebagai bank yang lebih sehat dan lebih besar, tak ingin ketularan penyakit bawaan dari bank-bank ini. Agar tak kena infeksi, tak ada cara lain, delapan bank penyakitan itu harus dicuci bersih-bersih. Caranya, mereka harus disuntik disinfektan (modal) lebih dulu. Arman memperkirakan, suntikan modal yang diperlukan delapan bank itu agar bisa memasuki pelaminan adalah antara Rp 25 triliun dan Rp 30 triliun. Luar biasa.
Kedua, merger adalah salah satu jalan untuk menggelar efisiensi. Cabang-cabang yang bertumpuk akan dilebur. Begitu juga pegawainya, yang tentu saja kebanyakan, harus dikurangi. Dengan perkawinan ini, diperkirakan, lebih dari 10 ribu orang pegawai bank akan menjadi penganggur seketika. Biaya untuk pemutusan hubungan kerja mereka ini diperkirakan menghabiskan Rp 700 miliar lebih.
Lalu, apa mau dikata? Serentetan risiko ini agaknya tak perlu disesali. Sejak setahun lalu, ketika pemerintah berniat memungut bank-bank ini, risiko finansial sebesar itu sebenarnya sudah tampak jelas. Dari awal, ketujuh bank pungut ini tidak lolos saringan rekapitalisasi. Kualitas kreditnya begitu parah, sehingga permodalannya minus berat. Untuk membuatnya bertahan hidup, mereka perlu suntikan modal yang sangat besar.
BNN bisa dijadikan contoh. Ketika pertama kali diaudit, akhir 1998, bank yang kena "muntaber" gara-gara menelan Bank Perniagaan yang penyakitan itu punya kredit macet yang sudah hampir mencapai Rp 4 triliun. Agar bisa tetap bertahan hidup, kala itu BNN perlu suntikan modal sekitar Rp 5 triliun, yang sebagian besar harus disediakan dalam bentuk tunai, untuk menolong likuiditas bank yang kepayahan.
Nah, menghadapi kewajiban yang begini besar, pemilik Bank BNN, yaitu keluarga Nirwan Bakrie, rupanya tak sanggup. Ia tak mau menyetorkan tambahan modal minimal 20 persen dari kebutuhan, sebagai syarat minimal mengikuti program rekapitalisasi. Artinya, Nirwan sendiri sebenarnya sudah siap "membuang" BNN—ketimbang harus menyetor duit sebegitu banyak, mendingan diamputasi saja.
Tapi mengapa lalu pemerintah memungutnya? Ketika itu, tak ada alasan yang jelas. Secara resmi, Menteri Keuangan (kala itu) Bambang Subianto mengatakan bahwa bank-bank ini harus diselamatkan karena nasabahnya lebih dari 80 ribu rekening. Kenapa mesti 80 ribu? Juga tak jelas. Sebelumnya, bank raksasa seperti BDNI, yang nasabahnya lebih dari setengah juta rekening, toh ditutup juga. Tapi, kata Menteri Bambang, dengan jumlah rekening sebesar itu, penutupan bank-bank ini "akan mengganggu transaksi masyarakat dan sistem pembayaran."
Okelah, terima saja. Tapi, celakanya, ketika bank-bank itu dirawat pemerintah, kondisinya tak juga membaik. Selain Bank Tiara, seluruh permodalan ketujuh bank itu masih minus berat. Berdasarkan laporan keuangan akhir September 1999, misalnya, kondisi Bank Duta bahkan terus memburuk. Modal bank yang dimiliki oleh yayasan-yayasan Soeharto ini makin merosot, dari minus Rp 2,8 triliun (Juni 1999) menjadi minus Rp 3,2 triliun (September 1999). Asetnya juga makin habis, dari Rp 3,6 triliun (Juni 1999) menjadi cuma Rp 2,8 triliun (September 1999). Bank Tamara sama saja. Pada akhir September, modalnya minus Rp 3,4 triliun, sementara asetnya terus melorot menjadi Rp 1,6 triliun.
Artinya, kesehatan bank-bank pungut itu terus memburuk. Ini karena kualitas aset mereka makin merosot (makin banyak kredit yang menjadi macet). Bank Duta, misalnya, dalam setahun terakhir, kredit macetnya membengkak dua kali lipat dari Rp 1,8 triliun menjadi Rp 3,6 triliun.
Selain itu, pendarahan modal bank akibat penyakit pendapatan bunga negatif juga belum sembuh benar. Pada Bank Duta, misalnya, penyakit ini masih terasa benar. Selama sembilan bulan pertama 1999, pendapatan bunga Bank Duta cuma Rp 350 miliar, padahal biaya bunga yang harus dibayarkan mencapai Rp 1 triliun.
Lalu, dengan kondisi sepayah itu, mengapa merger harus dipaksakan? Bukankah penyakit bank-bank bobrok ini akan menjadi virus yang mencemari bank hasil perkawinan kelak?
Analis saham perbankan, Mirza Adityaswara, membantah pendapat bahwa kinerja Danamon pascamerger akan terpengaruh oleh kesehatan bank-bank ini. Menurut Mirza, Danamon tak akan ketularan sepanjang pemerintah tetap pada komitmennya: menyuntik modal bank-bank bobrok ini lebih dulu sehingga modalnya cukup. Setelah disuntik, bank-bank ini akan menjadi bank yang bersih tanpa kredit macet.
Menurtut Mirza, peleburan kedelapan bank ke dalam Bank Danamon sebenarnya merupakan bentuk kebingungan pemerintah mengenai masa depan delapan bank bermasalah itu. "Mau diapakan?" katanya, "Dijual tidak laku, ditutup pun mesti keluar banyak duit untuk membiayai penjaminan deposito." Memang betul, untuk merger pun, pemerintah harus mengeluarkan uang yang jumlahnya mungkin sama besar dengan ongkos penutupan bank. Tapi merger, menurut Mirza, lebih elegan dan tidak menimbulkan kepanikan. Dengan kata lain, kata analis ini, "Merger ini merupakan cara halus pemerintah untuk menutup bank-bank bermasalah itu."
Sulit dibantah, semua keruwetan ini bersumber pada keputusan pemerintah yang ngotot menyelamatkan bank-bank yang mestinya tak perlu diselamatkan, setahun lalu. Sudah tahu bank-bank itu penuh bisul dan dibuang-buang oleh pemiliknya, eh, dipelihara juga.
Dwi Setyo, Lea Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini