Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Merger, agar Tak 'Kelenger'

Telkom dan Indosat berniat merger, tapi pemerintah tidak setuju. Pilihan mana yang lebih baik?

19 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HOBI baru Direktur Utama Telkom Asman A. Nasution dan Direktur Utama Indosat Indra Setiawan: tutup mulut rapat-rapat. Tentu saja ini tidak untuk semua hal, tapi jelas untuk urusan merger dua perusahaan telekomunikasi milik negara itu. Mengapa begitu? Sikap pemerintah adalah kuncinya. Paling tidak, saat ini ada dua kubu pendapat soal merger. Suara menolak datang dari Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Postel) Departemen Perhubungan, sementara Kantor Menteri Negara Investasi dan Pembinaan BUMN cenderung setuju merger. Nah, Asman dan Indra jelas tak mau menjadi pelanduk yang terinjak kaki dua gajah yang tengah bertarung.

Merger ini sesungguhnya ide lama, sudah dipikirkan sejak 1996. Namun, ketika itu, Indosat masih ogah-ogahan. Menurut Asman, Selasa pekan lalu di DPR, merger itu akan menghasilkan sinergi dan volume usaha yang jauh lebih besar. Dia menghitung, merger ini akan menghasilkan perusahaan dengan nilai US$ 10,5 miliar. Indra malah menghitung lebih besar. Saat ini, total aktiva Telkom baru sekitar US$ 3,7 miliar, sedangkan Indosat US$ 803 juta.

Jika dua raksasa bergabung, daya saingnya juga akan lebih besar, terutama ketika ekspansi dilakukan. Apalagi keduanya punya kelebihan masing-masing. Telkom punya infrastruktur yang mapan di seluruh Indonesia, sedangkan Indosat punya neraca keuangan yang sangat bagus dengan utang yang kecil dan tingkat efisiensi usaha yang tinggi. Keduanya juga termasuk sedikit perusahaan yang tidak pernah rugi, apalagi kelenger, dihantam krisis.

Namun, Direktur Jenderal Postel, Sasmito Dirdjo, jauh-jauh hari sudah menolaknya. Sasmito menegaskan bahwa pemerintah tidak punya niat menggabungkan Telkom dengan Indosat. "Selama ini, tidak ada reaksi negatif dari pasar terhadap sikap pemerintah itu," katanya pekan lalu. Menurut dia, yang dibutuhkan kedua BUMN itu adalah reposisi menjadi penyelenggara jasa telekomunikasi seutuhnya. Keduanya harus efisien agar mampu berkompetisi. Analis dari ING Baring, Laksono Widodo, sepakat dengan hal itu. "Reposisi lebih menguntungkan konsumen karena kompetisi yang terjadi pasti menyebabkan efisiensi yang bisa menghasilkan harga jual lebih murah dan perusahaan juga lebih kuat," katanya.

Tapi merger juga bukan pilihan yang buruk. Sebab, peleburan usaha itu bisa menghasilkan sinergi yang bagus bagi keduanya. Lebih dari itu, era perdagangan bebas yang tinggal dua tahun lagi akan membuat raksasa-raksasa telekomunikasi dunia berebut kue yang besar, termasuk Indonesia. Karena itulah, menurut Laksono, merger menjadi salah satu pilihan yang menarik.

Kantor Menteri Negara BUMN setuju dengan pendapat Laksono. Sinergi itu bisa muncul baik dari bisnis yang berbeda seperti jasa telepon internasional, sambungan jarak jauh, dan lokal, maupun dari bisnis-bisnis yang selama ini sama-sama digeluti keduanya, misalnya jasa telepon seluler ataupun multimedia. "Selama merger itu bisa menciptakan nilai tambah bagi keduanya, kenapa tidak dilakukan?" kata Riza Primadhi, juru bicara Kantor Menteri Negara BUMN.

Kedua BUMN ini memang secara eksklusif menggarap tiga bisnis utama: sambungan langsung internasional (SLI), sambungan langsung jarak jauh (SLJJ), dan jasa telepon lokal. Tapi ketiga hak eksklusif ini akan dicabut secara bertahap. Kendati demikian, cengkeraman selama puluhan tahun membuat Telkom akan sulit disaingi siapa saja yang mau masuk ke bisnis telepon lokal, SLJJ, dan SLI.

Sementara itu, untuk jangka panjang, merger ini jelas akan sangat menguntungkan kedua belah pihak, terutama di bisnis non-core yang belakangan ini mulai mereka bidik, yakni multimedia. Sementara semula mereka bersaing satu sama lain, merger akan membuat kompetisi dihentikan dan banyak biaya dihemat. Maklum, Telkom dan Indosat masih merugi di sana. Merger akan menguatkan posisi keduanya di bisnis masa depan itu.

Hanya, Laksono masih melihat hambatan yang mungkin muncul dalam perusahaan pascamerger nantinya. "Yang agak susah kalau keduanya mau dimerger adalah soal kultur yang jauh berbeda. Indosat benar-benar dioperasikan dengan naluri bisnis swasta, sementara Telkom masih berbau-bau birokrat," katanya. Siapa tahu itu kekuatan yang tak terlihat: naluri bisnis hebat digabungkan dengan birokrasi yang rapi.

M. Taufiqurohman, Ardi Bramantyo, Lea Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus