Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menumpuk Stok Tak Terbeli

Kebijakan perdagangan perak tak konsisten. Pasar gelap menggeliat.

1 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM soal perak, pemerintah tak ubahnya profesor linglung. Serentetan kebijakan bukannya membuat industri perak dan konsumennya makin baik, tapi malah kian bengong. Simak pengalaman I Nyoman Rupadana, perajin perak di Gianyar, Bali.

Belakangan ini Nyoman mahal se-nyum. Bisnis kerajinan peraknya, yang mulai menggeliat setelah amblas dihantam bom Bali dua tahun silam, tiba-tiba harus menghadapi pukulan lain: sejak Mei lalu harga bahan baku naik lebih dari setengahnya.

Harga perak yang masih Rp 1.500 per gram sebelum Mei, kini jadi Rp 2.325. Sebabnya, kata Nyoman, pemerintah menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen. Tadinya mereka tak terlalu terpengaruh oleh kebijakan itu. Order masih kecil, sehingga kebutuhan bahan baku pun tak seberapa.

Ketika ekonomi mulai pulih dan wisatawan kembali ramai, pesanan meningkat. Kebutuhan bahan baku perak ikut naik. "Kini kami tak mampu lagi membeli bahan baku meskipun pesanan membludak," kata Ketua Asosiasi Perajin Perak Gianyar ini.

Bukannya menurunkan pajak, Agustus lalu pemerintah malah melarang ekspor perak. Alasannya, perajin kekurangan bahan baku dan harga mulai merangkak naik karena pasokan terbatas. Selain itu, ekspor perak harusnya dalam bentuk jadi, agar bisa menambah devisa.

Dalam kenyataannya, harga tak turun-turun meskipun stok bahan baku perak berton-ton menumpuk di gudang produsen perak seperti Aneka Tambang dan Kelian Equatorial Mining. Devisa negara pun tak naik-naik karena produksi para perajin perak malah menurun. Sepanjang Januari-Agustus 2004, ekspor kerajinan perak dari Bali turun tipis dari US$ 15,8 juta menjadi US$ 15 juta.

Omzet Rupadana, misalnya. Sebelumnya bisa mencapai Rp 50 juta per bulan, kini paling banter Rp 20 juta. Bukan karena tak ada pesanan, melainkan karena perusahaannya tak mampu membeli bahan baku. Setiap bulan Rupadana Silver mengekspor 70 persen produknya ke Amerika Serikat, Jepang, dan Italia.

Akibat turutannya bisa diduga: jumlah pekerjanya pun kian menciut. Pasar yang ditinggalkan akhirnya bakal dilalap perajin negara lain seperti Thailand, Vietnam, dan Cina. Merebut kembali pasar yang sudah dimasuki negeri lain itu bukan perkara gampang.

Daerah sentra produksi kerajinan perak yang sudah ratusan tahun seperti Kotagede, Yogyakarta, pun tak luput dari sembelit ini. Koperasi Produksi Pengusaha Perak Yogyakarta mengungkapkan, hanya 20 persen dari 115 anggotanya yang bertahan. "Saya kira karena harga bahan baku," kata Manajer Pemasaran Narti's Silver, Kurdi Dwinarto, kepada L.N. Idayanie dari Tempo.

Kebanyakan mereka tak mungkin bertahan karena kenaikan harga bahan baku memang menggerus modal dan keuntungan. Selain itu, kata Kurdi, para pengusaha tetap harus menaikkan gaji perajinnya. Tak cuma perajin, para produsen perak pun ikut-ikutan pening karena stoknya menumpuk.

Anang Rizkani Noor, Wakil Direktur Bidang Hubungan Luar Rio Tinto, mengatakan bahwa larangan itu membuat stok perak mereka menggunung di gudang. Mereka pernah menawarkan kepada Aneka Tambang, tapi perusahaan yang melayani pasar lokal itu juga kelebihan produksi. "Ada sekitar 6 ton produksi Kelian Equatorial Mining, anak perusahaan Rio Tinto, yang tak tahu harus dipasarkan ke mana," katanya. Tiap minggunya Kelian memproduksi sekitar 150 kilogram perak.

Direktur Utama Aneka Tambang, Dedi Aditya, mengatakan produksi perusahaan negara ini meningkat jadi sekitar 26 ton per tahun. Tapi daya serap pasar lokal turun karena harga tak kompetitif. Apalagi di pasar gelap banyak ditemukan perak dari Thailand dan India, yang harganya lebih encer.

Kenaikan harga itu, katanya, memang karena penerapan pajak. Harga perak dari Aneka Tambang US$ 7 per troy ounce (sekitar 31,1 gram). Dengan pajak 10 persen, harganya menjadi US$ 7,8 per troy ounce. Di pasar gelap, perak asal Thailand dan India bisa dibeli sekitar US$ 7,5, karena hanya kena bea masuk lima persen. "Jadi kita lebih mahal," katanya.

Kebijakan itu membuat mereka menjadi serba salah. Di dalam negeri harganya tak bersaing. Tapi tak boleh menjual ke pasar internasional, padahal hasilnya menjanjikan karena tak dibebani pajak. "Aneka Tambang benar-benar dirugikan," kata Dedi. Dia tak tahu bagaimana perak dari Thailand dan India bisa membanjiri pasar Indonesia.

Dedi hanya minta PPN dihapus. Kalaupun tetap diberlakukan, pemerintah harus bisa membasmi pasar gelap. Kalau tidak, perak Indonesia yang kualitasnya jauh lebih bagus tidak akan bisa ber-saing.

Larangan ekspor itu memang menimbulkan pertanyaan. Rupadana mengatakan tak pernah kesulitan mendapatkan bahan baku perak. Kebutuhan bahan baku peraknya, yang mencapai 500 kilogram per bulan, bisa dipenuhi pasar lokal. Perak keluaran Aneka Tambang gampang didapat melalui koperasi perajin.

"Tahu-tahu ada larangan ekspor karena ada kesulitan bahan baku," katanya. "Dari mana pemerintah memperoleh informasi itu?" kata seorang perajin. Tak mengagetkan jika kini para perajin lebih senang membeli dari pedagang yang datang langsung menawarkan, meski kualitasnya jauh di bawah produk Aneka Tambang.

Perak itu, kata para pedagang, didapat dari tambang di Kalimantan dan daerah lainnya. "Semacam black market," katanya. Ada juga perak dari luar negeri yang harganya juga miring. Kalau keluaran Aneka Tambang Rp 2.325 per gram, perak dari pasar gelap itu, kata Rupadana, cuma Rp 2.280 tiap gramnya.

Pedagang lain, I Kadek Mustika, juga tak pernah kesulitan mendapatkan bahan baku perak. Selain produksi dalam negeri, sekitar 150 kilogram kebutuhannya tiap bulan bisa ditutupi perak luar negeri dengan kualitas dan harga bersaing.

Kurdi Dwinarto juga mengatakan perusahaannya tak repot-repot amat mendapatkan produk ikutan emas itu. Persoalannya adalah harga yang naik, yang membuat banyak konsumen lari. Dia meminta agar pajak itu diturunkan atau dihapuskan saja. "Daripada subsidi BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia), mbok kami yang diberi," kata Kurdi, yang usaha kerajinan peraknya bisa mencapai omzet Rp 300 juta per bulan.

Anang melihat adanya kebijakan yang tak sinkron. Dia berharap Departemen Perdagangan segera mengkaji ulang kebijakan itu, karena berdampak negatif pada industri perak. Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Pertambangan Departemen Perdagangan, Muhammad Najib, mengatakan akan mengkaji lagi larangan ekspor itu.

Najib sudah mendengar keluhan dari Newmont, Aneka Tambang, dan Rio Tinto, tentang menumpuknya stok perak mereka yang tak bisa dijual ke mana-mana karena peraturan itu. "Sudah dibahas dengan menteri sebelumnya. Ada rencana mengkaji ulang secara keseluruhan," kata Najib.

Leanika Tanjung, Muhamad Nafi, Indra Darmawan, Rofiki Hasan (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus