Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengharap Pembebasan Kakao

Tiga tahun asosiasi komoditas primer meminta PPN dihapus. Departemen Keuangan keberatan.

1 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI tikus mati di lumbung, itulah yang terjadi pada perusahaan pengolahan kakao. Empat dari 15 perusahaan pengolah kakao ini harus menutup pabriknya karena bahan baku tak tersedia di pasar. Kalaupun ada, harganya lebih tinggi daripada harga di pasar internasional.

Aneh memang, karena Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia. Dari 11 perusahaan yang masih beroperasi pun, kapasitas terpakainya cuma sepertiganya. Mereka semua sepakat menunjuk pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas kakao sebagai biang keladi hancurnya industri pengolahan kakao.

Ketua Asosiasi Kakao Indonesia, Zulhefi Sikumbang, mengungkapkan para pedagang kakao lebih suka mengekspor biji kakao ketimbang menjualnya ke industri pengolahan di dalam negeri. Selain tidak dikenai pajak ekspor, pasar internasional lebih sigap membeli biji kakao Indonesia. Di pasar internasional harga kakao Rp 1.410-1.420 per kilogram, sementara di dalam negeri bisa di atas Rp 15 ribu.

Tingginya harga kakao di pasar lokal tak lain karena produk primer ini dikenai PPN 10 persen. Pengenaan pajak ini didasarkan pada Undang-Udang No. 18/2000 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPN Barang Mewah. Selain kakao, produk primer lain yang dikenai pajak pertambahan nilai adalah cokelat, teh, kopi, lada, kayu, gula, dan karet.

Akibatnya, perusahaan pengolahan kakao yang rata-rata bermodal cekak kelabakan. Sebagian mengurangi produksi, sebagian lagi memilih menutup pabrik. "Situasi ini menyakitkan, karena kita produsen terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana," kata Zulhelfi. Tahun ini produksi biji kakao Indonesia diperkirakan mencapai 450 ribu ton, naik dari 380 ribu ton pada tahun lalu. Pantai Gading memproduksi 1,5 juta ton setiap tahun, dan Ghana sedikit di atas Indonesia.

Dari 450 ribu ton itu, paling banter hanya 90 ribu ton yang masuk ke penggilingan kakao di dalam negeri. Sebagian besar diekspor ke Amerika Serikat, Malaysia, dan Singapura. Ironisnya, kakao hasil olahan negara ini, di antaranya dalam bentuk bubuk cokelat, masuk kembali ke Indonesia untuk industri makanan. "Itu artinya nilai tambah biji kakao lebih banyak jatuh ke industri asing, tapi yang kena pajak kita yang di sini," kata Zulhefi.

Saat ini kapasitas terpasang industri pengolahan kakao dalam negeri mencapai 263 ribu ton per tahun, tapi yang terpakai hanya sekitar 90 ribu ton. Angka ini pun tidak termasuk empat perusahaan pengolahan kakao yang istirahat sementara, seperti PT Inti Cocoa Abadi Industries, Cikarang, yang memiliki kapasitas 25 ribu ton, dan PT Maju Bersama, Makassar, dengan kapasitas 20 ribu ton.

Persoalan di industri kakao ini rupanya tak jauh berbeda dengan masalah yang dihadapi industri bahan baku lain. Pokok soalnya adalah PPN. Karena itulah, 10 asosiasi industri primer, yaitu kakao, cokelat, teh, kopi, lada, kayu, gula, karet, minyak sawit, dan sepatu, membentuk Forum Komunikasi Asosiasi Komoditas Primer (FKAKP).

Hassan Widjaja, Ketua FKAKP, mengatakan tuntutan forum ini hanya satu, mendesak pemerintah menghapus PPN tidak hanya untuk kakao, tapi juga semua bahan baku primer. "PPN harusnya dikenakan hanya pada komoditas yang sudah diolah," kata Hassan. Lebih dari itu, menurut Hassan, saat ini banyak industri primer kesulitan likuiditas, sehingga mereka mesti banyak berhemat.

Penghapusan PPN akan mendorong pedagang menjual bahan baku ke industri pengolahan, sehingga nilai tambahnya lebih banyak dinikmati di dalam negeri. Dengan begitu, terjadi penyerapan tenaga kerja dan penambahan investasi. "Sebenarnya pedagang tidak ingin mengutamakan pasar ekspor, mengingat industri pengolahan kesulitan mendapat bahan baku," ujar Hassan, yang juga Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia.

Pengamat ekonomi pertanian Indef, Bustanul Arifin, juga mengatakan di negara-negara lain tidak ada bahan baku dikenai PPN. Pengenaan pajak seperti itu juga memicu ekonomi biaya tinggi. Apalagi ketika komoditas pertanian itu dibawa dari desa ke kota, atau lintas provinsi, masih terkena retribusi daerah. "Terlalu banyak pungutan menyebabkan daya saing industri kita semakin lemah," katanya.

Direktur Jenderal Pemasaran dan Pengolahan Hasil Pertanian, Delima H. Azahari, sudah mengagendakan persoalan PPN ini dalam program 100 hari pemerintahan baru. Sebelumnya, Departemen Pertanian dan Departemen Perindustrian juga sudah mengusulkan penghapusan PPN kepada Presiden Megawati. "Tapi sayangnya, Departemen Keuangan masih keberatan," kata Delima.

Menurut tenaga pengkaji bidang ekstensifikasi dan intensifikasi pajak Direktorat Jenderal Pajak, Robert Pakpahan, industri pengolahan sebenarnya tidak perlu merasa dibebani PPN, karena pajak ini bisa diminta kembali bila komoditas hasil olahannya diekspor. "Memang bisa memakan waktu lama, bisa satu tahun," katanya. Tapi itu biasanya terjadi bila ada masalah dengan si wajib pajak. Bila tak ada masalah, restitusi itu bisa dicairkan hanya dalam waktu dua pekan.

Adapun pengenaan PPN terhadap bahan baku primer yang belum diolah, Robert merujuk Undang-Undang PPN, yang memang mengharuskan demikian. "Undang-undang ini kan juga disetujui DPR," katanya. Sungguhpun demikian, katanya, Direktorat Jenderal Pajak akan mendengarkan keberatan yang diajukan sejumlah asosiasi industri primer.

Karena itulah, Departemen Keuangan bersama Departemen Perindustrian dan Departemen Pertanian tengah mengkaji kebijakan ini. "Tiga departemen ini sudah beberapa kali rapat. Kita tunggu saja hasilnya," kata Robert. Zulhefi Sikumbang mengakui, kajian pemerintah itu memang sudah lama dilakukan, tapi hingga kini tak kelihatan konkretnya. "Sudah tiga tahun kami minta penghapusan PPN, sampai akhirnya kami putus asa," katanya.

Bila kini tak direspons juga, FKAKP akan mengajukan uji material terhadap Undang-Udang No. 18/2000. "Jangan pernah mimpi industri agro kita akan bangkit kalau kebijakan PPN ini tidak direvisi," ujarnya. Penerapan PPN ini, kata Zul, memang tidak dikenakan terhadap transaksi jual beli bahan baku di tingkat petani, termasuk komoditas biji kakao.

Pemerintah baru menarik PPN ketika pedagang menjualnya ke pedagang lain atau ke industri pengolahan. Tapi lambat-laun kebijakan ini diyakini akan menghantam petani, seiring dengan makin banyaknya industri pengolahan kakao yang mengistirahatkan pabriknya. "Bila itu benar terjadi, pada saat itu petani lebih banyak bergantung pada pedagang yang mengekspor hasil bumi mereka," kata Zul.

Apalagi, menurut dia, pada saat ini sudah ada 13 pedagang yang dimodali investor asing, yang langsung membeli kakao ke sentra produksi petani di Makassar dan Palu. Bahkan para pedagang ini telah membentuk kartel di bawah payung Cocoa Association of Asia, untuk memasok biji kakao ke industri pengolahan kakao di Malaysia dan Singapura. "Bila nanti semua petani kita tergantung para pedagang ini, harga jual kakao mereka akan ditekan," katanya.

Tekanan harga itu, menurut Zulhefi, sebenarnya saat ini sudah tampak. Buktinya, para pedagang sudah meminta diskon harga jual biji kakao petani. Pada Juni lalu, diskon itu baru US$ 90 per ton, tapi kini sudah mencapai sekitar US$ 160 per ton. "Tahun depan tekanan diskon harga jual biji kakao petani bisa mencapai US$ 200 per ton," ujarnya.

Taufik Kamil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus