BNI '46 bak dewa penyelamat: Ribuan buruh pabrik kayu lapis Harapan Kita Utama selamat dari pemecatan. Komitmen BNI 1946 untuk mencegah perusahaan ini dari ancaman kebangkrutan -- dengan menyetujui penundaan pembayaran utang juga akan mengundang pemodal baru, yang sanggup memberikan suntikan dana segar ke situ. "Calonnya sudah ada, tiga perusahaan kayu lapis yang kuat," ujar Direktur Utama BNI 1946 Somala Wiria. Paket penyelamatan yang mengakhiri kemelut di HKU itu, pekan lalu, secara resmi dikemukakan Menaker Sudomo setelah bertemu dengan Dirut Somala Wiria. Andai kata pihak bank tidak mengambil risiko, yang akan mengurangi pendapatannya itu, maka HKU niscaya akan bangkrut, dan ribuan buruhnya akan kelayapan di jalanan Pontianak. Krisis mungkin tak akan terjadi di HKU jika saja manajemen di perusahaan milik A Kong itu tidak berantakan. Tak jelas dengan pertimbangan apa, pada 1982-1983 itu, HKU menambah kapasitas pabrik hingga yang terpasang menjadi 40 ribu meter kubik sebulan. Agregat juga diganti dengan yang berkekuatan 8 megawatt, dan di luar perkiraan, realisasi investasinya menggelembung dari rencana Rp 2,5 milyar jadi Rp 8 milyar. Harapan memang terlalu besar, karena harga kayu lapis membaik ke angka US$ 300 per'meter kubik, dan diduga akan naik lagi. Tapi, "Ternyata malah anjlok," ujar Jusuf Hamka, Presiden Direktur HKU, kepada wartawan TEMPO Suhardjo Hs. Harganya sekarang tinggal US$ 200, padahal biaya produksinya US$ 210. Jatuhnya harga yang di luar perkiraan itu, tentu saja, menyebabkan perputaran dana HKU jadi macet. Hanya pihak bank yang bisa menolong. Tapi kalau BNI 1946 menambah dengan kredit baru, seperti dilakukannya di 1983 itu, dianggap hanya akan membebani perusahaan. Pilihan terbaik tinggal menunda utang dan BNI 1946 masuk ke situ sebagai pemegang saham, sambil -- tentu -- mengundang pemodal baru. "Pemasaran dan produksi nanti kami yang akan memegangnya," ujar Dirut Somala Wiria. Tanpa mau menyebut angka pasti, Somala memberi ancer-ancer, utang berjalan HKU masih berada di atas angka Rp 50 milyar. Ketika perusahaan ini didirikan, modal sendiri yang dimilikinya ditaksir Rp 20 milyar. Tapi kekayaannya, di saat diancam kebangkrutan, konon bernilai lebih dari Rp 120 milyar. Jika hal itu benar, masa dibilang bangkrut? Sebab, kewajiban jangka pendek yang harus dipenuhinya tidak lebih tinggi dari angka itu. Tapi Somala Wiria menyatakan tidak punya cara lain untuk menangani HKU itu. "Dari empat nasabah kami di industri kayu lapis, yang sakit betul memang hanya ini," katanya. Ia berharap, sesudah disuntik HKU akan bisa berjalan normal. Asal tak hanya menunda kebangkrutan saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini