KEMALANGAN rupanya sedang hinggap di perusahaan patungan PT Pembangunan Perumahan-Taisei Indonesia Construction (PPTIC), karena tidak semua proyek besar yang ditanganinya menguntungkan. Usahanya mengerjakan proyek hanggar II Garuda di Cengkareng bernilai Rp 15 milyar, misalnya, malah membuatnya buntung Rp 1,4 milyar. Tapi kerugian sebesar itu tak membuatnya Jera. "Tahun ini kami akan menggarap hanggar III, mudah-mudahan tidak rugi," ujar Ir. F. Gozali, Presiden Direktur PPTIC. Bukan dari proyek itu saja, perusahaan patungan ini tertohok. Pukulan yang harus ditanggungnya, yang menyebabkan hasil bersih usahanya turun tajam, konon sampai menyebabkan kerugian hingga Rp 4 milyar tahun lalu, naik dari sebelumnya yang Rp 2 milyar. Sulitnya perusahaan ini menagih klaim ke pemilik juga mengakibatkan likuiditasnya terganggu Tapi, Gozali membantah kabar burung itu. Kata dia, ketekoran di hanggar II masih bisa ditutup proyek lain, hingga perusahaan masih bisa untung Rp 50 juta tahun lalu "Tapi perhitungan itu belum final," tambahnya. Sebagai perusahaan patungan cukup besar, PPTIC memang dikenal punya proyek besar-besar d sini, seperti gedung Indocement, Central Plaza, Wisma Nusantara, dan President Hotel di Jakarta. Bersama Mitsubishi, perusahaan patungan ini tengah mengerjakan proyek PLTA Cirata bernilai Rp 200 milyar. Menurut kantor pusat Taisei di Tokyo, sejak dimulai pada 1983, proyek pembangkit listrik tenaga air di Jawa Barat itu sudah banyak menghadapi kesulitan. "Memang di hampir semua proyek konstruksi, risiko rugi selalu ada, akibat kenaikan biaya maupun perubahan kurs," katanya. Tapi kantor pusat Taisei enggan memberikan konfirmasi betul tidaknya usaha patungannya di Indonesia, dua tahun buku terakhir, rugi milyaran. Suradi Wongsohartono, Direktur Utama PT Pembangunan Perumahan dan Komisaris di PPTIC, malah menyebut sebaliknya: situasi perusahaan tiga tahun belakangan justru baik. Karena itu, agaknya, sebuah sumber menyatakan, keuntungan yang ada dalam pembukuan itu sesungguhnya masih berupa piutang yang tertahan. Tak jelas benar berapa usia piutang wajar, yang masih dianggap bukan merupakan piutang macet yang harus dihapuskan itu. Hanya yang pasti, menurut Gozali, laba di tahun 1984 hanya tercatat Rp 28 juta, turun jauh dibandingkan laba sebelumnya yang Rp 285 juta. Taisei, yang mulai menancapkan kaki di sini sejak 1959 dengan mengerjakan pembangunan Hotel Indonesia, tentu, sudah cukup kenyang meraih petro dolar dari dua kali boom minyak. Hingga kini sudah 43 proyek di Indonesia dari 136 proyeknya di luar negeri yang digarapnya. Usaha patungannya dengan PP dimantapkan pada 1974, sesudah keduanya mulus bekerja sama melaksanakan sejumlah proyek. Modal disetor di perusahaan patungan ini Rp 207,5 juta, dengan pegawai 230 termasuk 12 Jepang. Memang sesudah masa emas minyak lewat, kantor pusat Taisei kini menganggap pasar Indonesia tak lagi menarik, apalagi sekarang leblh dari delapan perusahaan konstruksi Jepang beroperasi di sini. Pasar di Asia Tenggara kini dianggap terlalu ramai, mirip dengan pasar lokal Jepang. "Sekarang para raksasa Jepang (Kajima, Shimizu, Obayashi, Kumagai Gumi, dan Takenaka Komuten) mencari pasar baru di Amerika dan Australia," kata pihak kantor pusat Taisei. Tak jelas benar apakah itu juga merupakan isyarat bahwa sebentar lagi Taisei juga akan cabut dan sini sesudah menyelesaikan komitmen proyeknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini