NAH, sekarang baru terasa: BNI 1946 lembaga keuangan terbesar milik pe merintah yang gemuk dengan kekayaan Rp 8,5 trilyun, kelihatan merasa kurang lincah bergerak dengan hampir 12.900 karyawan Soal yang dihadapinya memang cukup serius: kenaikan biaya sesudah deregulasi Juni 1983, ternyata, banyak memakan pendapatan, hingga menciutkan laba. Usaha restrukturisasi organisasi, yang dimulai sejak dua tahun lalu, akhirnya sampai pada kesimpulan: kelebihan karyawan. Karena itu, kata Direktur Utama BNI 1946 Somala Wiria, "Kami tidak menutup kemungkinan adanya pemutusan hubungan kerja." Kepada TEMPO, pekan lalu, bankir kawakan itu menguraikan beberapa tindakan yang sudah dan akan diambil oleh manajemen. Pertama, 470 trainee, yang setelah menjalani magang setahun biasanya diangkat, tidak diterima jadi pegawai. Dan kedua, mulai Maret, jumlah pegawai di kantor pusat akan dikurangi secara bertahap. Pegawai di kantor pusat yang akan terkena kebijaksanaan efisiensi itu kira-kira berjumlah seperempat dari 2.350, atau hampir 600 orang. Mereka, secara berangsur-angsur, akan ditempatkan di pusat-pusat pelayanan pembayaran rekening listrlk, perusahaan penyedia pembiayaan barang konsumen secara kredit, dan cabang-cabang pasar uang -- sesudah terlebih dulu menerima pendidikan. "Memang pada mulanya, usaha mendidik mereka akan menambah biaya, tapi untuk kepentingan jangka panjang akan baik bagi perusahaan, dan juga pegawai bersangkutan," ujar Dirut Somala. Belum jelas berapa BNI 1946 bisa menghemat biaya dengan, misalnya, tidak menerima 470 trainee, yang selama magang mendapat 75% gaji. Hanya yang pasti, tahun ini, gaji pegawai bank itu tidak akan dinaikkan setelah tahun lalu naik dengan rata-rata 7%. Usaha menghemat biaya, dan menaikkan kualitas pelayanan terhadap nasabah dan pemilik uang, tetap akan diteruskan dengan program komputerisasi. Banyak nasabah kini senang. Laporan bulanan, yang biasanya dikerjakan 10 orang dan makan waktu sebulan, dengan dua komputer bisa diolah sekitar dua minggu. Tapi masuknya komputer ke BNI 1946, dalam rencana delapan tahun, akan menyebabkan tersisihnya 1.500 karyawan. Dengan serangkaian tindakan itu, manajemen berharap bisa menekan biaya intermediasi -- ongkos yang dikeluarkan untuk memperoleh dana setiap rupiah, termasuk di dalamnya gaji pegawai. Bank Duma, dalam laporan April 1985, pernah mengecam tingginya biaya intermediasi bank-bank pemerintah (7%-8% dari suku bunga kredit), yang dianggap menyebabkan mahalnya harga dana yang diperoleh. "Pengurangan biaya itu perlu dilakukan melalui perbaikan struktur organisasi dan prosedur operasionalnya," tulis Bank Dunia. Bukan hanya restrukturisasi organisasi yang dilakukan, tapi juga usaha menilai kembali jenis jasa, dan cabang mana yang dianggap tidak menguntungkan. Tentu, dengan perbaikan itu, BNI 1946 berharap laba perusahaan, yang turun dari Rp 92 milyar di 1984 iadi Rp 36 milyar di 1985, bisa membaik kembali tahun ini. Memang, dalam soal perbandingan antara laba dan kekayaan (return to assets), sekalipun kekayaan BNI 1946 terbesar di antara lima bank pemerintah, bank ini hanya no. 4: sekitar 1,4% enam tahun terakhir. Tapi soal besar kecilnya laba, jika dikehendaki, sebetulnya bisa diatur oleh bank masing-masing. Faktor yang menentukan di situ, berapa dana pensiun harus disisihkan, dan berapa besar dana dianggarkan untuk menghapus piutang macet. Jadi, kalau sebuah bank ingin merendah, bisa saja labanya dibuat kecil. Namun, kalau ingin kelihatan mencorong, "Laba bisa dibikin besar," kata seorang bankir pemerintah. Rapi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini