TIDAK semua pengusaha memandang bisnis pengeboran lembek di saat harga minyak kini sedang berada di dasar sumur. Setidaknya Summa Prakarsa Corp. (Supraco) masih melihat ada celah bagus di situ, hingga perusahaan lokal ini mau bekerja sama dengan Sante Fe, mendirikan patungan Sante Fe Supraco Indonesia (SFSI). Sebuah jamuan makan malam, pekan lalu, diselenggarakan untuk menandai secara simbolis usaha patungan itu. Soerachim Prawirasutisna, Direktur Utama SFSI, mengakui usaha mendirikan jasa pengeboran itu akan mahal jatuhnya kalau semuanya dilakukan sendiri, misalnya membeli barang modal jack up rig. Tiga tahun lalu, ketika Supraco mencoba terjun ke bisnis itu, Sante Fe sudah menjajakan sebuah rig-nya dengan harga US$ 21 juta. "Tapi setelah kami lihat gelagat harga minyak bakal turun, maksud membeli rig itu dibatalkan," kata Soerachim, yang juga Direktur Pelaksana Supraco. "Kendati harga rig kini tinggal sekitar US$ 4 juta-US$ 5 juta, kami tetap mikir-mikir untuk membelinya." Supraco akhirnya menjatuhkan pilihan: mengajak kawin Sante Fe. Tapi, supaya risikonya tidak terlalu berat, SFSI tidak ingin memiliki rig sendiri. Sebaliknya, usaha patungan ini lebih suka bertindak sebagai operator rig milik Sante Fe, yang berkantor pusat di Alhambra, California. Karena itu, modal disetor dari usaha patungan ini tidak terlalu besar: hanya US$ 1 juta - US$ 800 ribu disetor Sante Fe dan US$ 200 ribu disetor Supraco. Pilihan itu memang tidak keliru. Sebab, Sante Fe, yang sudah memulai usahanya di sini hampir 15 tahun, termasuk perusahaan laris mengoperasikan tiga rig miliknya. Bidang usaha jasa pengeboran SFSI ini berada di lepas pantai. Umumnya para kontraktor minyak asing sekarang hanya berani menyewa rig untuk mendapatkan sumur produksi dengan harga US$ 13.000-US$ 14.800 per hari. Dua tahun lalu, Sante Fe masih bisa mendapatkan sewa US$ 17.000 dari Atlantic Richfield Indonesia Inc. "Tapi, kalau sekarang pasang tarif US$ 17.000, sudah tidak bakal dilihat lagi," kata Arif Jos Maguna, Direktur SFSI. YANG kini tersuruk di lumpur adalah usaha penyewaan rig untuk pengeboran sumur minyak di daratan. Mungkin karena di wilayah ini sudah terlalu banyak yang beroperasi, mengingat teknologinya lebih sederhana dibandingkan yang di lepas pantai, sewanya sekarang jatuh tinggal US$ 7 ribu per jam. Dua tahun sebelumnya sewanya masih US$ 10 ribu sampai US$ 11 ribu. Karena tidak tahan menghadapi kejatuhan sewa itu, Asia Kussaku (Asia Drilling Co.), PMA patungan dari Jepang, Juli lalu angkat kaki dari sini setelah terpukul kerugian 800 juta yen atau Rp 6 milyar ketika itu. Tapi tetap saja masih ada pengusaha lain yang melihat peluang usaha itu di Indonesia. Buktinya, di tahun ini sampai bulan lalu, BKPM kemasukan dua permohonan dari dua perusahaan, Hitek Nusantara dan Penta Wood Offshore Drilling, yang masing-masing akan beroperasi dengan modal US$ 2 juta. Kedua perusahaan yang akan mengoperasikan masing-masing dua rig itu, tampaknya, masih melihat lahan menjual jasa di lepas pantai tetap terbuka lebar. Menurut Oetojo Boenjamin, Direktur Direktorat Pembinaan Pengusahaan Migas, usaha pengeboran mencari sumur produksi itu hakikatnya tak pernah berhenti dilakukan untuk memenuhi cadangan minyak, yang harus dipertahankan untuk menggantikan yang sudah berproduksi. "Temuan minyak dari hasil pengeboran itu 'kan bisa ditutup sementara jika belum diperlukan," katanya. "Bila dua atau tiga tahun mendatang harga minyak benar membaik, maka sumur itu bisa dibuka kembali hingga cadangan yang ada bisa dimanfaatkan." Karena itu, tak heran, bila usaha jasa pengeboran ini masih ramai, terutama untuk wilayah lepas pantai. Hanya saja, dari 42 perusahaan pengeboran yang tercatat di Pertamina, yang aktif tinggal 21 saja. Jumlah rig yang dioperasikan pun tinggal separuh dari posisi 1975. Kalau harga minyak bergerak naik, perusahaan yang tinggal papan nama itu jelas akan bergerak kembali. Tapi siapa, sih, yang berani membayangkan harga minyak bakal kuat dalam jangka pendek ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini