KAWAT baja (carbon steel wire rod) buatan Indonesia mulai menggulung Amerika. Ekspornya baru dirintis tahun silam oleh PT Krakatau Steel, PT Maxifero, PT Ispat Indo, dan PT Gunung Gahapi Steel. Kementerian Perdagangan AS mencatat bahwa tahun silam kawat baja impor dari Indonesia baru berjumlah 6.283 ton. Tapi tahun ini meningkat pesat: pada semester I 1986 saja tercatat sudah 18.716 ton dengan nilai hampir 8 milyar rupiah. Perkembangan yang dilihat cukup fantastis itu, ternyata, membuat pabrik-pabrik baja di AS merasa tersaingi. September lalu, Atlantic Steel Co., Georgetown Steel Corp., dan Raritas Steel Co. di AS, yang merasa mendapatkan saingan tak sehat, melontarkan petisi. Mereka meminta International Trade Administration AS untuk memantau dan mengusut kemungkinan Indonesia melakukan dumping. Bila terbukti Indonesia melakukan penjualan dengan sistem banting harga yang tak wajar, menurut peraturan di AS, haruslah dikenai denda minimal sebesar selisih harga jual barang itu di pasar dalam negeri eksportir dengan harga jual di AS. Menurut catatan mereka, harga kawat baja di pasar Indonesia hanya US$ 360-US$ 348 per ton (berdasarkan harga Rp 430-Rp 445 per kg dengan kurs sebelum devaluasi 12 September 1986) tetapi dijual di AS dengan harga rata-rata hanya US$ 263 per ton. Apakah karena ekspor itu dilakukan dengan fasilitas SE (Sertifikat Ekspor)? Jawaban pemerintah RI sederhana: selisih harga terjadi karena rupiah overvalued sebelum devaluasi. Buktinya, 'kan rupiah sudah didevaluasi 12 September lalu? Direktur Utama PT Krakatau Steel, T. Ariwibowo, mengakui bahwa importir Continho Caro di New York membeli dengan harga US$ 258 per ton prangko kapal. Meskipun produk Krakatau Steel dikenai bea masuk 5%, ternyata, masih jauh lebih bersaing dibanding dengan produk pabrik-pabrik di AS. "Harga jual mereka semakin mahal karena adanya beberapa kali pemogokan buruh baja," ujar Ariwibowo. Hal itu, rupanya, telah dimanfaatkan pula oleh Krakatau dengan menaikkan harga produknya. "Tahun lalu harga ekspor masih US$ 230 per metrik ton," kata Ariwibowo. Namun, Dirut Krakatau Steel itu enggan untuk mengatakan berapa sebenarnya harga penjualan kawat baja di pasar dalam negeri. Sebuah sumber lain di Krakatau Steel mengatakan bahwa harga pasar lokal masih sekitar Rp 360 per kg (belum termasuk PPN). Itu harga yang belum disesuaikan dengan devaluasi. Menurut sumber TEMPO bila pemerintah mengeluarkan harga baru, pembeli diharuskan menambah pembayaran selisihnya. Harga dasar dalam negeri mau tak mau harus dinaikkan, karena masih sekitar 65% komponen produksi Krakatau Steel, termasuk tenaga kerja ahli asing, menelan biaya dalam dolar. Ariwibowo, yang merasa perusahaannya tidak melakukan dumping, optimistis bahwa pasar ekspornya di AS itu akan berkembang. PT Ispat Indo pun berpendapat demikian. Nyonya Nurbambang, sekretaris direksi PT Ispat Indo, menyatakan bahwa pasar di Amerika lebih menguntungkan. Sebelum ke AS, Ispat Indo pernah mengekspor ke RRC tapi kalah bersaing dengan baja Korea dan Jepang. Kendati produksi Indonesia sudah dianggap murah oleh AS, menurut Nyonya Nurbambang, produk Jepang dan Korea masih lebih murah. "Tapi, setelah devaluasi bulan lalu, kesempatan kami lebih terbuka," katanya. Max Wangkar, Laporan Bambang Harymurti (AS) & Budi Kusumah (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini