Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yopie Hidayat
Kontributor Tempo
Memang bukan krisis yang akan meledak. Namun ada gelagat kuat ekonomi dunia pada 2019 mulai terseret ke dalam resesi. Salah satu parameter yang dapat menjadi petunjuk akan datangnya kelesuan pada masa depan itu adalah kurva imbal hasil alias yield curve. Patokan pasar global dalam hal ini tentu saja kurva imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat.
Yield curve seharusnya menanjak dan melengkung mulus dari kiri ke kanan, melukiskan keadaan ideal bahwa obligasi berjangka lebih panjang selayaknya memberikan imbal hasil lebih besar. Jika kurva itu tidak mulus, ada bagian yang mendatar atau malah melenggok ke bawah, sinyal datangnya resesi sudah menyala. Itulah yang kini tampak pada yield curve obligasi Amerika, seperti ditunjukkan pada grafik imbal hasil obligasi pemerintah Amerika.
Sekali lagi, hal ini tidak mencerminkan keadaan sekarang. Data terakhir ekonomi Amerika Serikat per kuartal III 2018 masih bagus. Kurva yang tak mulus menanjak ini menandakan kemungkinan resesi pada masa depan. Tentu saja, tak ada yang 100 persen pasti dalam prediksi ekonomi. Namun catatan sejarah menunjukkan, sejak Perang Dunia II, kurva imbal hasil yang tak mulus selalu mengawali munculnya resesi ekonomi di Amerika Serikat. Hanya terjadi sekali pada pertengahan 1960-an, resesi tidak muncul kendati yield curve sempat menyimpang.
Cuma, kali ini ada banyak alasan yang meyakinkan bahwa resesi benar-benar akan tiba. Efek insentif pemangkasan pajak oleh Presiden Donald Trump sudah habis khasiatnya tahun depan. Sebaliknya, malah ada perang dagang Amerika Serikat-Cina. Merosotnya perdagangan internasional akan menurunkan volume bisnis entah berapa ribu perusahaan raksasa. Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi di Amerika, dan pada gilirannya seluruh dunia, akan terpangkas.
Sinyal pelemahan ekonomi juga tampak dalam notula rapat The Federal Reserve terakhir yang baru dipublikasikan. Pimpinan The Fed menimbang laju inflasi Amerika Serikat yang masih di bawah target. The Fed kemungkinan besar akan tetap menaikkan suku bunga rujukannya dalam pertemuan 18-19 Desember ini. Dan pasar sudah lama mengantisipasi rencana kenaikan bunga ini sehingga sudah tecermin pada harga semua aset di pasar finansial. Tapi, untuk 2019, alih-alih ada tiga kali kenaikan bunga seperti perkiraan sebelumnya, para analis kini berani bertaruh bunga The Fed maksimal hanya akan naik sekali.
Kenaikan bunga yang tidak terlalu agresif tentu merupakan kabar baik bagi Indonesia. Ada harapan dana investasi portofolio akan kembali mengalir masuk, menjadi ganjal defisit transaksi berjalan yang masih menganga. Rupiah bisa mengambil napas, tidak terus tertekan kehilangan nilainya.
Masalahnya, kendati rupiah tak merosot, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap akan ikut melemah. Resesi akan membuat harga berbagai komoditas turun. Walhasil, penerimaan ekspor Indonesia pun turun. Tak bisa pula Indonesia berharap kepada Cina agar menjadi lokomotif ekonomi dunia seperti pada krisis 2008. Ketika itu, Cina masih mampu melakukan ekspansi besar-besaran saat ekonomi dunia sedang kolaps. Kini gerak ekonomi Cina sedang melambat dan bakal terkena pukulan langsung perang dagang dengan Amerika Serikat pula.
Untungnya, ketika lingkungan eksternal sedang bermasalah, tahun depan berlangsung pemilihan umum serentak. Dana politik dan biaya kampanye sudah mulai mengalir sejak September lalu. Menjelang hari pemungutan suara, tentu aliran dana kampanye itu akan makin deras. Dana kampanye punya daya dorong lumayan kuat dalam mendongkrak konsumsi. Kelesuan di luar sepertinya belum terlalu terasa di dalam negeri pada empat bulan pertama 2019.
Tantangan yang sebenarnya akan muncul seusai pemungutan suara. Siapa pun yang terpilih menjadi presiden langsung menghadapi persoalan berat: bagaimana menjaga ekonomi Indonesia agar tak ikut tercekik resesi yang bakal melanda dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo