Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dalam Cengkeraman Baja Induksi

Baja tulangan relokasi dari Cina makin merajalela. Baja tidak ramah lingkungan dan ringkih itu menguasai pasar baja konstruksi.

15 Desember 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Proyek pembangunan jalan tol Jakarta-Cikampek II di kawasan Cibitung, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari masih pagi. Truk-truk kontainer sudah antre di depan pintu gerbang PT Lautan Steel Indonesia, Kawasan Industri Balaraja, Tangerang, Banten. Pada Kamis pekan lalu, dari gerbang selebar 10 meter, truk-truk itu melesap di balik pintu besi berkelir hijau setinggi 3 meter.

Di pintu samping selebar 1 meter, sejumlah karyawan bersiap memulai pekerjaan rutinnya. Sebelum masuk, mereka mengisi daftar presensi di pos satuan pengamanan. “Pabrik normal beroperasi. Cuma, staf kantor mulai bekerja pukul 9 pagi,” kata Suwardi, petugas sekuriti pabrik.

Sepuluh meter dari pabrik, disekat oleh tembok beton, Muhammad Subandi bermukim. Ketua RT 01 RW 02 Desa Talagasari itu mengingat, ada yang berubah dari pabrik peleburan baja tersebut. Sudah beberapa bulan asap pekat pabrik berkurang. Dalam hitungan sepekan, paling-paling dua cerobong asap setinggi 15 meter di pabrik itu hanya mengepul dari pukul 4 sore sampai 8 malam. “Dulu hampir setiap hari,” ujar Subandi saat ditemui di rumahnya.

Lautan Steel beroperasi mulai 2007. Sejak itu, Subandi menambahkan, warga dipaksa berkawan dengan asap peleburan baja salah satu produsen baja tulangan berbasis tungku induksi (induction furnace) terbesar di Indonesia tersebut. Kapasitas produksi pabrik ini mencapai 550 ribu ton per tahun.

Warga bolak-balik memprotes. Perusahaan memberikan kompensasi sebesar Rp 10 juta per tahun untuk RT 01 yang dibagi rata buat semua warga. Selain menggelontorkan duit, perusahaan yang investor utamanya berasal dari Cina itu menjatah warga kental manis kalengan saban bulan. “Satu orang satu kaleng,” ucap Subandi. Akhirnya, setelah warga mengancam akan menutup pabrik, perusahaan berbenah. Kini volume asap berkurang, hanya sebarannya mengikuti arah angin.

Direktur Operasi Lautan Steel Indonesia Andi Sucipto membantah anggapan bahwa perusahaannya menimbulkan polusi berat. Menurut Andi, perusahaannya sudah menerapkan metode yang bisa meminimalkan asap. “Polusi itu cerita dulu,” katanya, Jumat pekan lalu. “Kalau tidak, kami bisa didemo terus oleh masyarakat.”

NAMA Lautan Steel Indonesia, juga pemain peleburan baja berbasis tungku induksi lain, menghangat dalam beberapa bulan terakhir. Para pelaku industri baja sempat heboh karena baja Lautan Steel ditengarai masuk proyek jalan tol layang Jakarta-Cikampek, yang sebagian digarap PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Volumenya mencapai 3.000 ton dengan diameter 10-13 milimeter. “Untuk ring, bukan kolom. Tapi tetap berbahaya,” ujar seseorang yang mengetahui masuknya baja Lautan Steel ke proyek jalan tol Jakarta-Cikampek II.

Baja-baja tulangan dari proses tungku induksi dikenal ringkih. Dibuat menggunakan proses konvensional, kualitas baja jenis ini dinilai para pelaku industri baja tidak konsisten. Berbeda dengan baja tulangan yang memakai metode electric arc furnace, baja dari tungku induksi tidak direkomendasikan untuk konstruksi, apalagi konstruksi besar. 

Direktur Utama PT Krakatau Wajatama Osaka Steel Marketing Yudhi Arnawa termasuk yang mendengar ihwal masuknya baja Lautan Steel ke proyek jalan tol Jakarta-Cikampek II. “Saya dengar begitu,” kata Arnawa, Kamis pekan lalu. “Tapi, kalau untuk kolom, sepertinya tidak berani.” Dalam proyek tersebut, Krakatau Wajatama kebagian menyuplai 5.000 ton baja berukuran 10-50 milimeter dalam tiga bulan.

Masuknya baja Lautan Steel juga menjadi perbincangan di Asosiasi Industri Besi dan Baja (IISIA). “Saya dengar di dalam agak kisruh,” tutur Ismail Mandry, Vice Chairman IISIA, Kamis pekan lalu.

Seorang pengusaha baja mengungkapkan, penggunaan baja tungku induksi oleh Waskita bukanlah barang baru. Selain memakai baja Lautan Steel, Waskita kerap menggunakan produk PT Citra Baru Steel, perusahaan baja induksi yang beroperasi di Kawasan Industri Modern Cikande, Serang, Banten.

Hubungan Waskita dan Citra Baru terekam dalam laporan keuangan perusahaan konstruksi milik negara tersebut. Dalam laporan keuangan 2017, Waskita tercatat berutang Rp 36,8 miliar pada 2016 untuk pembelian baja dari Citra Baru Steel. Utang itu melompat menjadi Rp 119,8 miliar pada 2017. 

Manajer Proyek Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Elevated PT Waskita Karya Fatkhur Rozaq membantah kabar bahwa perusahaannya menggunakan baja tungku induksi, termasuk dari Lautan Steel Indonesia. Dalam proyek ini, Waskita kebagian menggarap ruas Cikunir-Cikarang Utama sepanjang 19 kilometer. “Kami hanya menggunakan baja dari Master Steel, Krakatau Steel, dan Toyogiri,” katanya, Kamis pekan lalu. Tiga perusahaan baja tersebut adalah produsen baja dengan metode electric arc furnace.

Menurut Rozaq, baja-baja yang digunakan Waskita harus lolos uji kekuatan dan kelenturan. Material proyek juga harus mendapat persetujuan pemilik proyek, yaitu PT Jasa Marga (Persero) Tbk.

Adapun terkait dengan keberadaan Citra Baru Steel sebagai pemasok baja Waskita, Rozaq mengaku tidak tahu. “Proyek Waskita itu banyak,” ujarnya. Bisa jadi, dia menambahkan, baja Citra Baru digunakan untuk keperluan non-konstruksi, seperti pagar pembatas jalan atau bangunan semipermanen, selama proyek berlangsung.

Selain menggarap proyek Jakarta-Cikampek II, Waskita tercatat mengerjakan proyek jalan tol Bogor-Ciawi-Sukabumi, Pasuruan-Probolinggo, Pemalang-Batang, Depok-Antasari, dan Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu). Sejumlah kecelakaan pernah terjadi dalam pengerjaan proyek tersebut, antara lain ambruknya bekisting pier head Becakayu dan jatuhnya konstruksi girder jalan tol Pemalang-Batang.

MASIFNYA peredaran baja tungku induksi bermula saat banyak pabrik peleburan baja dari Cina ramai-ramai masuk ke Indonesia. Sejak 2002, pemerintah Cina mulai menyisir industri baja yang menggunakan teknologi tungku induksi. Pada Juni 2017, Cina melikuidasi semua pelaku industri baja tungku induksi yang polutif.

Tapi gelombang relokasi, termasuk ke Indonesia, sudah berlangsung sejak 2005. “Paling banyak merelokasi ke Surabaya,” kata Vice Chairman IISIA Ismail Mandry. “Yang kecil-kecil di Surabaya. Kalau yang besar-besar di Tangerang.” Itu sebabnya, peredaran baja tulangan tungku induksi sudah lama meresahkan produsen baja konstruksi.

Penolakan tidak hanya datang dari -IISIA, tapi juga dari Dewan Besi dan Baja Asia Tenggara (ASEAN Iron dan Steel Council). Selain menyasar Indonesia, industri peleburan baja tungku induksi dari Cina merelokasi diri ke Malaysia, Thailand, dan Filipina. Dalam dokumen kesepakatan bersama Dewan pada 26 Januari 2018, yang salinannya diperoleh Tempo, Dewan meminta pemerintah ASEAN bersikap tegas. Pemerintah antara lain diminta melarang impor tungku induksi dari Cina untuk tujuan produksi baja karbon.

Di dalam negeri, penolakan terhadap baja tungku induksi tak pernah surut. Yang terbaru, Direktur Utama PT Krakatau Steel Silmy Karim menyurati Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian. Silmy, dalam suratnya, menyatakan banyak pabrik baja induksi memasok proyek-proyek infrastruktur pemerintah lewat kementerian terkait.

Menurut Silmy, untuk baja konstruksi, perlu diperhatikan betul bahan baku serta kualitas bajanya. Dalam surat itu, Silmy mengusulkan “penertiban kepada pabrik-pabrik yang menggunakan teknologi induction furnace”. Silmy membenarkan ketika dimintai konfirmasi tentang laporannya tersebut. “Saya hanya meneruskan keresahan Asosiasi,” ujar Silmy, yang juga menjabat Ketua Umum IISIA.

  Suasana pabrik Lautan Steel Indonesia di Kawasan Industri Bajamas, Desa Talagasari, Balaraja, Tangerang, Kamis pekan lalu.

Harga baja induksi memang lebih murah. Selisihnya bisa mencapai 20 persen dibanding baja dari metode electric arc furnace. Peleburan baja tungku induksi hanya mengolah bahan baku dari besi bekas (scrap) dan balok baja (billet) langsung menjadi besi cair. Adonan kemudian dicetak dan digiling menjadi besi tulangan.

Metode tungku induksi juga tak melalui tahap pemurnian (refinement). Padahal proses itu penting untuk menyisihkan sampah kimia. Teknologi ini pun tidak melalui tahap homogenisasi. Dalam tahap tersebut, alloy dan material lain tercampur rata menjadi satu sehingga kadar di sepanjang baja tulangan komposisinya sama. Maka baja tulangan kokoh dan tidak mudah patah. Tahap itu dijalankan dalam teknologi peleburan baja blast furnace dan electric arc furnace.

Melihat masalah baja tungku induksi yang menahun, pada Oktober lalu Kementerian Perindustrian mengundang semua pelaku industri baja dari hulu sampai hilir, termasuk dari kalangan induction furnace. Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Harjanto memimpin pertemuan tersebut. “Saya bilang, mulai sekarang kita terapkan full law enforcement terhadap penerap-an baja SNI,” kata Harjanto di kantornya, Kamis pekan lalu.

Pada 28 Mei lalu, terbit Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Baja Tulangan Beton Secara Wajib. Menurut Harjanto, peraturan itu, yang mengacu pada Standar Nasional Indonesia 2052:2017 baja tulangan beton terbaru, ditujukan untuk meredam masuknya baja tungku induksi ke proyek konstruksi. SNI baru itu akan efektif berlaku mulai Juni tahun depan.

Menurut Harjanto, baja tungku induksi tidak akan mampu memenuhi SNI terbaru. Terutama untuk baja tulangan beton berkualitas tinggi yang biasanya digunakan pada gedung bertingkat, tiang struktur jembatan, jalan, dan kereta layang. “Intinya, baja-baja nonstandar akan ditindak kalau tidak penuhi standar,” dia menerangkan. 

Kementerian Perindustrian akan menggandeng Kementerian Perdagangan dalam menangani baja yang tidak memenuhi SNI terbaru. Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Veri Anggriono Sutiarto mengungkapkan, baja tidak standar sudah kadung dipakai untuk aneka konstruksi, dari rumah hingga perkantoran. Yang terbaru, kata Veri, baja itu digunakan untuk bangunan-bangunan yang luluh-lantak dihantam gempa Palu dan Lombok. “Kalau digunakan untuk bangunan tinggi, sedikit saja gempa, bisa roboh,” tuturnya, Jumat pekan lalu. 

Direktur Operasi Lautan Steel Indonesia Andi Sucipto mengaku sudah tahu akan ada SNI baru baja tulangan. Menurut dia, saat ini baja tulangan perusahaannya, dengan merek dagang LS, masih menggunakan SNI lama. “Baja kami sudah sesuai dengan standar SNI,” ucapnya. “Yang bilang baja kami tidak standar itu karena kalah bersaing saja.” 

Saat ditanyai tentang SNI yang dikantongi Lautan Steel, Andi mengaku lupa. “Harus lihat sertifikatnya,” katanya. Di situs resmi perusahaan, Lautan Steel masih menerapkan SNI 2052:2002. Itu adalah SNI yang kebanyakan dipakai oleh industri baja tungku induksi. Padahal SNI untuk baja tulangan telah direvisi empat tahun lalu menggunakan SNI 2052:2014.   

KHAIRUL ANAM, JONIANSYAH HARDJONO (TANGERANG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus