JANJI untuk melindungi investor yang terjun ke industri hulu sudah lama bukan omong kosong. Kali ini, bulan ini juga, Departemen Perdagangan mengeluarkan ketetapan yang membatasi impor serat sutera sintetis (rayon viskosa). 'Kan? Menurut data departemen itu, sudah ada dua pabrik penghasil serat rayon viskosa yang dianggap mampu menutup kebutuhan. Ada PT Indo Bharat Rayon, yang menanamkan modal Rp 50 milyar, dan PT Pacific Viscose dengan investasi Rp 60 milyar. Kedua perusahaan modal asing itu mempunyai pabrik di Purwakarta, Jawa Barat. Kemampuan produksi mereka lebih dari 40.000 ton per tahun, sedangkan perkiraan kebutuhan sekitar 39.000 ton. Tapi Departemen Perdagangan melihat bahwa kedua produsen itu mengalami kesulitan pemasaran. Sejak 1982 hingga 1985 jumlah produksi mereka hanya 117.500 ton, atau cuma hampir 30.000 ton per tahun. Harga impor cenderung menurun, sehingga kemungkinan memasarkannya akan lebih seret. Karena itu, belum lama ini, keluar keputusan Menteri Perdagangan yang hanya menunjuk PT Cerat Bina Tekstil Indonesia (CBTI) sebagai pelaksana impor. CBTI perusahaan yang baru didirikan Februari lalu oleh perusahaan-perusahaan tekstil anggota API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia) -- juga pelaksana impor kapas, serat poliester, dan lain-lain serat kebutuhan industri tekstil Indonesia. CBTI, tampaknya, hanya boleh mengimpor viskosa jika pasokan Indo Bharat dan Pacific tidak mencukupi kebutuhan. Menurut Sekjen API, yang juga pelaksana CBTI, Fahmy Chatib, kebutuhan viskosa bisa mencapai 57.000 ton per tahun. Industri tekstil yang membutuhkan serat sintetis itu terutama PT Indorama, PT Industri Sandang I & II, dan PT Kassa Timbul. Mereka, menurut Fahmy, bisa menerima produk lokal, asalkan pemasokan lancar dan harga tidak ditentukan sesukanya. "Pernah produsen serat sintetis poliester memasang harga yang disetujui pemerintah, Rp 1.550 per kg, sedangkan harga impor hanya Rp 1.100 per kg. Ributlah," ujar Sekjen API itu. Namun, kini, diharapkan keributan itu tidak akan timbul, karena sudah ada organisasi musyawarah antara produsen dan konsumen serat poliester. Tetapi, terhadap produsen viskosa ada kecurigaan, karena Indo Bharat, misalnya, tak menjadi anggota API. Di antara konsumen viskosa, ada yang menduga bahwa keluarnya ketentuan Departemen Perdagangan itu atas desakan sepihak dari produsen viskosa. "Mereka memanipulasikan data produksi dan konsumsi, seakan-akan sudah seimbang. Padahal, kebutuhan masih lebih tinggi dari produksi lokal, sehingga mereka bisa menaikkan harga," kata seorang pimpinan sebuah perusahaan yang banyak membutuhkan viskosa. Kendati produsen viskosa belum menjadi anggota API, menurut presiden direkturnya Indo Bharat Rayon tidak seenaknya menentukan harga. "Kami menjual dengan harga lebih murah dari harga internasional," ujar Dirut Indo Bharat, K.K. Tulsian. Viskosa dari perusahaan India itu, pekan lalu, dijual Rp 1.550 per kg, sedangkan harga impor sekitar Rp 1.750 per kg. Namun, diakuinya, perusahaan biasa melakukan peninjauan harga setiap tiga bulan, seperti yang dilakukan untuk April mendatang. Tulsian membantah bahwa ketetapan Departemen Perdagangan, yang akan membatasi impor viskosa, itu seakan-akan memberikan monopoli pasar lokal kepada Indo Bharat dan Pacific. "Kalau kebutuhan kurang, bukankah ada izin impor pada CBTI ?" kilahnya. Tapi, secara umum, proteksi pemerintah terhadap industri-industri hulu dinilai seorang bankir terkemuka, Mochtar Riady, sebagai langkah yang salah di masa perlunya peningkatan ekspor dewasa ini. "Perlindungan pada pabrik serat poliester dan viskosa itu akan mengakibatkan meningkatnya biaya industri pemintalan, dan makin susah bagi produsen tekstil jadi untuk menjual produknya di luar negeri," kata Mochtar kepada TEMPO, dalam resepsi HUT TEMPO ke-15 di Hotel Hilton, Minggu malam lalu. M.W.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini