DULU mereka bekerja di pabrik pulp milik Eka Tjipta Widjaya. Kini di sebuah anjungan minyak lepas pantai milik PT Komaritim. Karena mereka itu buruh warga negara Cina, Komaritim diprotes. Perusahaan ini mengontrak 72 buruh Cina untuk waktu tiga bulan. Mendengar perihal tenaga kerja RRC, Wakil Ketua Komisi IV DPR, Budi Hardjono, terperangah. Menurut ketentuan, proyek ajungan lepas pantai hanya boleh dikerjakan kontraktor lokal. ''Oleh karena itu harus segera ditindak,'' kata Budi. Sumber lain mengatakan, impor buruh RRC itu bermula ketika Atlantic Ritchield Company (Arco) membangun tiga anjungan di Laut Jawa. Tender proyek senilai US$ 21 juta (Rp 41 miliar) ini dimenangkan PT Adhiguna Shipbuilding & Engineering, milik keluarga Ibnu Sutowo. Adapun pemasangan lepas pantai, dengan biaya US$ 6,5 juta lebih, dipercayakan kepada PT Satmarindo. Tapi, karena PT Satmarindo menjual sebuah tongkangnya, PT Adhiguna lalu menunjuk Komaritim. Memang penawaran yang diajukan Komaritim lebih murah sekitar US$ 1 juta dari PT Satmarindo. Entah mengapa, Komaritim lalu menggunakan tongkang Bin Hay 109 dari RRC, berikut 72 tenaga kerjanya. Inilah yang diprotes oleh anggota DPR dan kontraktor minyak lokal. Apalagi, menurut seorang kontraktor lokal, kualitas tongkang RRC itu tidak sebaik tongkang yang dimiliki kontraktor Indonesia. ''Peralatan yang mereka gunakan tidak memadai sehingga ongkosnya murah,'' kata sumber itu. Pemakaian kapal dan tenaga kerja asal RRC, menurut seorang direktur PT Adhiguna, telah disetujui oleh Departemen Pertambangan dan Energi dan Pertamina. Departemen Tenaga Kerja juga telah memberikan izin kepada tenaga kerja RRC itu untuk tiga bulan. ''Proses masuknya Bin Hay 109 sesuai dengan prosedur keimigrasian dan ketenagakerjaan. Jadi, tidak ada masalah,'' kata seorang direktur PT Adhiguna. Humas Pertamina, Erwin Kasim, berpendapat, pemakaian tenaga kerja asing di perminyakan adalah hal biasa. Untuk pembangunan kilang Train F Bontang, misalnya, dipakai tenaga dari Chiyoda Jepang. Masalahnya di sini, barangkali, kalau hanya buruh kasar yang dipakai, sepantasnya, ya, tidak diberi izin. Bukankah tenaga kerja Indonesia melimpah di mana-mana?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini