PASAR modal belakangan ini mulai beringas. Bullish. Turunnya suku bunga deposito telah menggiring orang-orang berduit untuk segera membeli saham. Serta-merta indeks harga saham pekan lalu menderu naik ke angka 430. Tapi, bagaimana likuiditas bursa? Apakah masih cukup dananya, setelah Barito Pacific Timber menyedot Rp 612 miliar dari sana? Hal ini harus diperhitungkan juga, terutama karena dewasa ini ada belasan perusahaan yang ingin memperebutkan dana murah lewat penjualan saham dan obligasi. Pekan lalu, misalnya, ada empat perusahaan yang melakukan public expose, yakni PT Anwar Sierad, Bank Tiara, PT Indosepamas Anggun, dan PT Kedaung Indah Can. Sedangkan pekan ini, PT Andayani Megah, industri kain ban dari kelompok Gajah Tunggal Mulya, akan menjual 20 juta saham bernilai Rp 85 miliar. Lalu PT Concord Benefit Enterprises akan melepas saham senilai Rp 15,4 miliar. Tito Sulystio dari PT Penta Securitas memperkirakan saham- saham tersebut akan menyedot tak kurang dari Rp 400 miliar. Lalu, bulan Oktober, ada tiga perusahaan lagi yang siap menjual saham baru. Lippobank akan mengeluarkan 47,6 juta saham bernilai Rp 142,8 miliar, disusul PT Duta Anggada Realty, yang menjual 33 juta saham bernilai Rp 160 miliar. Lebih dahsyat lagi PT CP Prima, yang akan menjual 28,8 juta saham bernilai Rp 216 miliar. Total saham ketiganya mencapai Rp 500 miliar lebih. Sanggupkah pasar modal melayani segala pipa penyedot dana tadi? Jangan-jangan likuiditas bursa mandek lagi seperti tahun 1991, setelah disedot habis-habisan oleh Indocement dan PT Inco. Namun, beberapa pengamat di bursa berpendapat, hal itu tak akan terulang tahun ini. Alasannya, suasana sekarang lain. Tahun 1991, harga saham dijual rata-rata terlalu tinggi. Sedangkan sekarang Bapepam menganjurkan harga saham baru dibandingkan laba per saham (price earning ratio atau PER) sekitar 11 x saja. Minat orang untuk menanamkan modal di bursa juga sangat besar. Buktinya, pesanan saham Barito oleh investor lokal saja dikatakan 9 x lebih banyak, investor asing 35 x. Itu berarti ada dana triliunan rupiah. Bahwa saham-saham tadi akan habis terjual, sudah pasti. Sebab, para underwriter (perusahaan yang menjamin penjualan saham) kini mempunyai kiat berbau ''paksaan''. Jika pialang ingin mendapat jatah penjualan, mereka sudah harus meneken kesanggupan jauh sebelum public expose. Kalau pialang menunggu public expose, apalagi setelah keluar izin Bapepam, jangan harap dapat jatah. Kalau tidak ikut, jangan harap akan diajak lagi dalam kesempatan berikut. Otomatis, setiap pialang yang ingin bertahan harus bermodal kuat. Pekan lalu saja, usai public expose Anwar Sierad, Indosepamas, dan Kedaung, beberapa pialang khabarnya minta jatah penjualan tapi tak dikabulkan. Sementara itu, dua pekan lalu sejumlah pialang merasa dibohongi oleh PT Credit Lyonais Capital Indonesia, penjamin saham PT Andayani Megah. Saham industri kain ban ini, menurut beberapa pialang, semula dikatakan akan dijual dengan harga Rp 3.300 hingga Rp 3.500. Ternyata harganya Rp 4.250. Namun, Nyonya Mulyati Gozali, Direktur Keuangan PT Gajah Tunggal yang juga menjabat Komisaris PT Andayani Megah, membantah bahwa saham Andayani telah dinaikkan 40%. ''Bapepam tak menghendaki harga diumumkan waktu public expose,'' kata Mulyati. Ditambahkannya, untuk tahun 1993 PER Andayani adalah 11,4 x, sedangkan untuk tahun 1994 sekitar 10,7 x. Jika dibandingkan dengan perusahaan yang juga memproduksi kain ban, saham Andayani tampaknya wajar. Bandingkan dengan saham-saham kelompok Gajah Tunggal (Gajah Tunggal, Gajah Surya Multi Finance, BDNI, Kabel Metal) di bursa pekan lalu yang mencatat PER 11-22 x. Para pialang sekarang ini agaknya hanya bisa mengandalkan Bapepam. Toh penguasa bursa ini sudah menggariskan beberapa hal pokok, misalnya: rasio harga saham baru dengan perkiraan pendapatan per saham dianjurkan 11 x. Kalau ada cacat atau pertanyaan, Bapepam pasti akan memperhatikan. Yang pasti, otoritas bursa dewasa ini tak bisa diajak kompromi. Lihatlah, proses izin PT Andayani Megah makan waktu hampir dua bulan. Izin PT Barito Pacific Timber diproses Bapepam lebih dari sebulan. Rekor proses izin paling lama dipegang PT Tancho Indonesia yang baru dapat izin sesudah enam bulan. Kendati semua saham tadi pasti habis terjual, apakah investor benar-benar akan banjir uang, pasar bebaslah yang menentukan. Dan pada 1 Oktober Jumat pekan ini, keberuntungan investor dan kecanggihan saham Barito, sama-sama akan diuji. Max Wangkar dan Bambang Sudjatmoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini