Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perkampungan nelayan di sepanjang pesisir pantai Cirebon, Jawa Barat, Jumat pekan lalu tampak ngungun, meski hari belum juga sore. Di bibir pantai itu, puluhan perahu bergelimpangan dalam posisi terbalik, sebagai ungkapan protes atas langkanya bahan bakar dan harga yang kian membubung. "Percuma melihat perahu tegak tapi tak bisa melaut," ujar Suwarta kepada Tempo.
Nelayan berusia 43 tahun ini memiliki dua kapal. Namun, keduanya terpaksa "digulingkan" karena Suwarta tak mampu membeli bahan bakar minyaktermasuk minyak tanah.
Nasib sama dialami pula oleh Dullapi. Bapak 10 anak ini melupakan beberapa kapalnya, dan akhirnya menggantungkan mata pencaharian pada perahu seorang juragan. Naiknya harga bahan bakar, tanpa perbaikan harga ikan, akhirnya benar-benar menggerus isi kantongnya sehingga ia tak mampu lagi membeli solar maupun minyak tanah.
Saban melaut, tutur Dullapi, satu kapal membutuhkan solar 200 liter. Ketika harganya masih Rp 1.300 per liter, biaya bahan bakar plus upah melaut seorang nelayan sebesar Rp 5.000 bisa ditutup dari penghasilan menjual ikan. Sebab, ikan dihargai Rp 1.500 per kilogram. Tapi, sejak solar naik menjadi Rp 2.100 per liter pada Maret lalu, penjualan ikan dirasa justru seret. Harganya pun turun menjadi Rp 900 per kilogram. "Kami merugi," katanya.
Suwarta dan Dullapi bisa jadi merupakan detail dari potret suram nelayan di Indonesia kini. Sejak kenaikan harga bahan bakar minyakterutama solar, penggerak utama motor perahumereka jungkir balik meski hanya untuk sekadar mempertahankan hidup. Berbagai jalan agar biaya bahan bakar lebih murah telah mereka coba, misalnya mencampur solar dan minyak tanah, dengan komposisi 50:50 atau 75:25. Karena harga ikan dan udang terus meluncur turun, lama-kelamaan mereka pun sepenuhnya menggunakan minyak. Namun, akibatnya, minyak tanah kian sulit diperoleh alias langka.
Menurut Dullapi, setiap nelayan paling hanya mendapat 5 liter di tiap pangkalan. Makanya, mereka harus mencari dari pangkalan ke pangkalan agar bisa terkumpul 200 liter. Ketika duit di kocek habis, ya, mereka pun menyerah. "Sekarang saya sudah tidak punya uang lagi," katanya. "Bahkan, semua anak saya saat ini juga tak lagi bisa bersekolah."
Agaknya nasib kembang-kempis karena BBM tak hanya dialami para nelayan. Nasib serupa juga menimpa para pengusaha penggilingan padi. Bedanya, mereka menghindari bahan bakar oplosan karena khawatir mesin rusak. Konsekuensinya, mereka harus rela antre di stasiun bensin biasa. Tapi, toh, kelangkaan BBM yang terjadi akhir-akhir ini membuat usaha mereka macet.
Di Kediri, Jawa Timur, misalnya, penggiling padi keliling (huller) terpaksa menunda kerja gara-gara antre berjam-jam di pom bensin. "Waktu keburu sore. Tak mungkin keliling di malam hari," kata Kaniran, seorang pemilik huller keliling, kepada Dwidjo U. Maksum dari Tempo, Kamis pekan lalu.
Huller adalah alat penggiling rakitan yang bentuknya mirip kerangka mobil yang telah dipreteli bagian mesin dan body-nya, dan dimodifikasi menjadi alat penggiling padi. Mesinnya digerakkan oleh diesel. Sayang, pemilik huller kerap kucing-kucingan dengan polisiyang ngotot menilang karena menganggap kendaraan itu sebagai alat transportasi ilegal. Agar mesin giling tetap berputar, biasanya aparat meminta uang "damai" dari para pengusaha. Tentu saja hal ini ikut menambah beban yang harus ditanggungnya.
Kenaikan harga bahan bakar minyak, yang gagasan mulianya demi membela masyarakat bawah, pada kenyataannya di lapangan tak demikian. Menurut Ketua Umum Kadin UKM, Elias L. Tobing, sektor usaha ini sangat bergantung pada BBM. "Akibat kelangkaan, sekitar 5-10 persen usaha kecil sudah di ambang kebangkrutan," katanya kepada Mawar Kusuma dari Tempo.
Usaha di bidang kelautan merupakan sektor yang paling terpukul, terutama sejak harga solar melonjak hingga Rp 3.000-4.000 per liter ketika kelangkaan terjadi. Akibatnya, sekitar 30-40 persen nelayan sudah tidak melaut. Padahal sulit bagi mereka untuk beralih profesi, sehingga tak jarang terjerat utang dengan rentenir.
Dari pemantauan Tempo, menganggurnya para nelayan terlihat di sepanjang pesisir dari Tangerang dan Cirebon (Jawa Barat), Banyuwangi, Jember, Situbondo (Jawa Timur), hingga Mataram (Nusa Tenggara Barat). Di Mataram, sebagian nelayan terpaksa bekerja serabutan, misalnya menjadi tukang parkir, buruh di pasar, ataupun kuli bangunan.
Menurut Sekretaris Jenderal Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Ady Surya, nelayan sulit memperoleh harga sesuai dengan patokan pemerintah karena minimnya stasiun pengisian bahan bakar di perkampungan nelayan. Ketika harga solar masih Rp 1.650 per liter pun, nelayan sudah membeli pada kisaran Rp 2.100 per liter.
Sejak 2003 lalu, kata Ady, Departemen Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan Pertamina berupaya membangun stasiun pengisian bagi nelayan. Namun, hingga kini baru sekitar 200 stasiun yang beroperasi. Alasannya, biaya yang tak murah untuk membangun stasiun tersebut. Setidaknya dibutuhkan dana sekitar Rp 300 juta hingga Rp 750 juta.
Lalu, apakah pemerintah menyadari adanya kelompok masyarakat yang terancam penghidupannya itu? Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Tjatur Sapto Eddy, meragukannya.
Apalagi, dalam penentuan kuota konsumsi bahan bakar bersama DPR, pemerintah tak pernah menunjukkan data resmi kebutuhan bahan bakar di setiap daerah, atau jumlah kebutuhan setiap kelompok masyarakat. "Yang ada hanya realisasi penjualan yang dilaporkan setiap tahun dari Pertamina," katanya.
Padahal angkanya kemungkinan tak mencerminkan kebutuhan sebenarnya. "Realisasi bisa di-mark-up hingga seberapa pun juga." Sebagai tambahan, pemerintah biasanya menyertakan data survei Sucofindo 2002 lalu, tentang tingkat konsumsi bahan bakar per kapita. Tapi data ini dinilai sudah bapuk. "Data itu digunakan untuk menetapkan kuota 2003, 2004, bahkan 2005. Seharusnya ada data baru karena pola konsumsi sudah jauh berubah." ujar Tjatur
Sedangkan Pertamina memperkirakan kuota konsumsi berdasarkan rasio pertumbuhan ekonomi, seperti ditargetkan anggaran pendapatan dan belanja negara. "Jika pertumbuhannya 6 persen, ya, kemungkinan konsumsi juga meningkat sebesar itu," kata juru bicara Pertamina, Abadi Poernomo.
Direktur Pengolahan dan Niaga Minyak dan Gas Bumi, Erie Soedarmo, mengatakan pemerintah tengah menggodok rencana memperbanyak stasiun pengisian bahan bakar yang khusus diperuntukkan bagi segmen tertentu. Misalnya, stasiun khusus bagi angkutan umum atau nelayan. "Supaya bisa diperoleh data yang valid mengenai pengguna berbagai jenis bahan bakar," katanya.
Terlambat, memang, tapi merupakan kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak hidup masyarakat kecil. Jangan sampai nelayan akhirnya lebih suka hijrah ke negeri jiran. Menurut pantauan HNSI, sekitar 60 kapal tuna berbobot di atas 100 ton dari Muara Baru, Penjaringan, menjual ikan hasil tangkapannya ke luar negeri sejak 2003 lalu.
Mereka menangkap ikan di wilayah Samudra Hindia untuk kemudian dijual di Thailand. "Harga ikannya lebih tinggi, dan harga solar di sana lebih murah," kata Ketua DPD HNSI DKI Jakarta, Yan M. Winata Sasmita. Para nelayan diiming-imingi murahnya solar kuning di sana, asal ikan tangkapannya dijual di Thailand.
Keuntungannya, kata Yan, lebih besar 70 persen daripada membeli solar dan menjual ikan di Indonesia. Apalagi, nelayan pun memperoleh perlakuan istimewa. Misalnya, "Kapal mereka dijemput, dikasih rokok dan minum," ia menjelaskan.
Di perkampungan nelayan sepanjang pesisir pantai Cirebon, Jawa Barat, dari 200 nelayan di sana, kini tinggal 20 nelayan yang bertahan hidup. "Itu pun tinggal menunggu waktu untuk mati saja," kata Suwarta, lungkrah.
Dara M.U., Ewo Raswa, Joniansyah, Mahbub Djunaidy, Deden A. Aziz, Bambang Soedjiartono, dan Hambali Batubara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo