Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semakin langka BBM, Sahala Lumbangaol makin pelit bicara. Mulutnya tertutup rapat ketika ditanya soal seretnya pencairan dana untuk pembelian bahan bakar minyak, Jumat sore pekan lalu. Padahal Direktur Penerimaan Minyak dan Bukan Pajak di Departemen Keuangan ini adalah orang yang paling mengerti hilir-mudik triliunan rupiah duit di departemen itu.
Apalagi jabatan itu tidak satu-dua tahun ia pegang. Lebih dari dua periode Sahala dipercaya mengelola gunungan duit hasil minyak yang dieksplorasi dari perut bumi. Ketika didesak, dia meminta agar alat perekam dimatikan. Setelah itu, dia berucap, "Saya tidak mau ngomong apa-apa," katanya sambil mengatakan masalahnya krusial.
Krisis bahan bakar minyak, yang sudah terasa sejak awal tahun, memang perkara krusial. Pertamina menuding penyebabnya adalah subsidi yang sering telat turun. Masuk bulan Maret, menurut Pertamina, keadaan kian parah. Badan usaha yang dipercaya negara untuk mengamankan pasokan BBM ini sudah tak bisa lagi membuka letter of credit. Sementara itu, harga minyak dunia terus melambung, dolar menguat, dan produksi minyak dalam negeri turun.
Buntutnya, daerah yang mengalami kelangkaan minyak meluas. Antrean mengular, bahkan makin lebar. Tudingan tajam melayang ke direksi Pertamina dan Departemen Keuangan. Dua lembaga ini dinilai tak sensitif dan hanya bisa saling tuduh. Departemen Keuangan mengaku telah mencairkan dana Pertamina tepat waktu, tapi Pertamina menyalahkan Departemen Keuangan yang dinyatakan selalu telat mencairkan subsidi.
Direktur Keuangan Pertamina, Alfred Rohimone, pernah mengutarakan unek-uneknya kepada Dara Meutia Uning dari Tempo, Maret lalu. Katanya, dari Rp 21,5 triliun dana subsidi yang diajukan periode Januari-Maret 2005, sesuai dengan peraturan, Pertamina hanya berhak mendapat 95 persen atau Rp 20,4 triliun. Setelah dikurangi utang Pertamina kepada pemerintah, yang sampai ke tangan perusahaan minyak itu pada April 2004 hanya Rp 4,1 triliun. Belum lagi soal tagihan yang baru cair tiga bulan kemudian.
Departemen Keuangan membela diri. Kelangkaan minyak tak ada urusan dengan pencairan dana yang lambat. Apalagi kondisi keuangan negara masih sehat. Dirjen Perbendaharaan Negara, Mulia Nasution, mengatakan hingga akhir Juni 2005 kas negara masih surplus.
Kas masih gembung dengan pendapatan dan hibah Rp 191,2 triliun dengan belanja hanya Rp 172,3 triliun. Ada surplus Rp 18,9 triliun. Total dana pemerintah di rekening Bank Indonesia sebesar Rp 68,8 triliun. Menteri Keuangan Jusuf Anwar malah balik menuduh justru Pertamina yang tak pandai mengelola stok.
Juru bicara Pertamina, Abadi Poernomo, segera menyanggahnya. "Ini murni soal audit," katanya. Dia menyadari peraturan mengharuskan adanya verifikasi. Tapi, audit bulanan itu lebih sering merepotkan karena Pertamina mempunyai 2.600 SPBU di seluruh Indonesia.
Selama ini, katanya, kucuran dana yang telat bisa ditalangi dari kantong sendiri. Pertamina tak kuat lagi setelah harga minyak melompat tinggi dan terpaksa menadahkan tangan kepada pemerintah. "Kita balapan dengan harga minyak," katanya sembari menyangkal salah kelola stok.
Anggota Komisi Keuangan dan Perdagangan DPR, Dradjad Wibowo, mengatakan kericuhan ini meledak karena pengelolaan uang minyak dan gas seperti rimba belantara. "Pengelolaannya disengaja tidak transparan. Ini hanya mulai terkuak ketika kebutuhan dana naik," katanya.
Dia menunjuk contoh audit BPK tentang hasil pemeriksaan atas perhitungan anggaran negara tahun 2003. Ada penerimaan negara bukan pajak dari minyak bumi yang tidak seluruhnya disetor ke rekening kas negara pada tahun itu. Dana ternyata ditampung dalam tiga rekening Menteri Keuangan yang jumlahnya super-akbar, US$ 582,3 juta atau setara dengan Rp 5 triliun.
Per 31 Desember 2003, duit itu ada di rekening No. 600.000.411 atas nama Departemen Keuangan. Uang itu hasil penjualan minyak dari karya production sharing. BPK menyebutkan dana itu tidak dipertanggungjawabkan pada APBN 2003. "Itu baru satu contoh. Di Depkeu, ada setumpuk rekening hasil migas yang dipecah-pecah," kata Dradjad.
Duit dari migas memang langsung masuk ke Departemen Keuangan. Di departemen itu, duit lalu dipecah ke dalam beberapa rekening. Tak jelas betul alasan pemecahan itu. Yang pasti, total jumlahnya menjadi tidak jelas. Dradjad menyarankan pemerintah mengkonsolidasi dulu duit yang berserakan itu sebelum mengambil kebijakan lain, seperti menaikkan harga minyak.
Bila pengelolaannya lebih transparan, menurut Dradjad, ulah "mafia" dana di Lapangan Banteng dan Pertamina bisa dipangkas. "Rekening itu gurih, dari dulu," katanya, hanya baru ketahuan sekarang. "Kalau produksi minyak tidak turun, borok aliran dana ini mungkin tidak akan terbuka," kata Dradjad.
Dirjen Anggaran dan Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan, Achmad Rochjadi, menampik tuduhan itu. Ia bersikeras mengatakan seretnya pasokan minyak semata-mata karena melambungnya harga minyak. Ketika harga minyak dunia masih sekitar US$ 20 per barel, tidak ada masalah. Harga yang terus melangit membuat Pertamina harus menyediakan lebih banyak uang. Akibatnya, Pertamina kesulitan cash flow. "Itu saja," katanya. Diakuinya, Departemen Keuangan memperketat sikap dalam menghadapi setiap permintaan pencairan dana dari Pertamina. Setiap tagihan diverifikasi untuk mendapatkan subsidi yang layak dibayar. Departemen Keuangan juga langsung memotong utang Pertamina dari dana subsidi itu.
Departemen Keuangan, katanya, tak bisa menjamin kecepatan pencairan dana sendirian. Cepat-lambatnya verifikasi tergantung data yang diberikan kepada mereka. Jika lengkap, prosesnya akan lebih cepat. Soal lain yang harus dipenuhi sebelum pembayaran dilakukan adalah uangnya tersedia di APBN dan sudah dialokasikan sesuai dengan persetujuan DPR.
Mantan Kelompok Kerja untuk Komisaris Pertamina, Elan Dewatono, mengatakan kelangkaan tidak perlu terjadi kalau Dewan Komisaris Pertamina pintar membaca sinyal. Mereka mestinya bisa memprediksi dari laporan keuangan perusahaan minyak itu dan segera mengamankan. "Nggak mungkin terjadi mendadak," katanya.
Dia juga tak setuju dengan tudingan Jusuf Anwar yang mengatakan Pertamina salah kelola stok. "Gombal itu Menteri Keuangan. Suruh mereka transparan soal penerimaan non-pajak yang berasal dari kontraktor asing," katanya. Dia mengatakan direktorat yang menangani pencairan dana pembelian minyak adalah orang lama yang tidak bergeser hampir tiga periode. Orang tersebut, katanya, seharusnya sangat menguasai seluk-beluk pengucuran dana sehingga seharusnya tak muncul masalah seperti sekarang ini. Sungguh sayang, orang yang dimaksudkannya itu ternyata juga pelit dalam memberi keterangan.
Leanika Tanjung, Taufik Kamil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo