Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tercekik Anggaran Minyak

Konsumsi BBM melebihi kuota. Setelah imbauan penghematan, pemerintah mungkin akan menaikkan harga.

11 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengisi bensin merupakan kegiatan yang paling menyita waktu di Kupang. Pukul 11 siang, Antonius Manaf, lelaki yang berprofesi sebagai sopir angkutan kota jurusan Kupang-Oepura, masih saja tertahan di stasiun bahan bakar Oebobo. Padahal sudah tujuh jam ia habiskan berbaris di antrean pom bensin itu, yang panjangnya hingga lima kilometer.

Antonius terlambat karena datang pada waktu subuh. Ratusan pesaingnya rela menghabiskan malam di jalan hanya untuk mendapat beberapa liter emas hitam tersebut. Di stasiun pengisian Oebufu, jumlah peminat BBM yang menginap mencapai ratusan orang. Untuk mengisi waktu, sebagian dari mereka bernyanyi dengan iringan gitar.

Kupang termasuk kota yang terparah mengalami kelangkaan BBM. Lima jam adalah waktu tercepat untuk mendapat kan bensin. Harga jualnya pun gila-gilaan, paling tidak lima kali lipat lebih tingg i dibandingkan harga normal. Jalan-jalan di Kupang pun berubah menjadi lengang. Lebih dari separuh jumlah pegawai memilih bolos karena kesulitan transportasi.

Direktur Utama Pertamina Widya Purnama menyebut Ampenan, Parigi, selain Kupang, yang masih demam akibat kelangkaan BBM. "Bengkulu sudah tidak lagi," kata Widya. Sementara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menyebut Kupang, Bengkulu, dan Sibolga sebagai daerah yang kekeringan BBM.

Kelangkaan BBM juga terjadi di sejumlah kota selain yang disebut Widya dan Purnomo. Di Gorontalo dan Manado, misalnya, bensin sempat diecer di atas Rp 10 ribu per liter. Di Jawa sekalipun, seperti di Solo, harga bensin sempat terbang tertiup kelangkaan hingga tiga kali harga normal. Bahkan di Jakarta virus kelangkaan mulai terlihat. Banyak pom bensin yang sudah tak menyediakan BBM, terutama jenis premium.

Sepanjang sejarah Indonesia, BBM merupakan komoditas supersensitif. Perubahan harga atau pasokan yang tak terkendali buntutnya bisa tak hanya berhenti pada masalah harga yang saling membalap, tapi melebar ke soal politik. Dengar saja lagu yang didendangkan oleh para pengantre BBM di Kupang. Sepenggal lirik Siapa Suruh Datang Jakarta mereka pelesetkan menjadi Siapa suruh pilih SBY-Kalla, sendiri suka sendiri rasa….

Lampu kuning kelangkaan bensin juga diendus oleh pemerintah. Wakil Presiden Jusuf Kalla pun membela diri atas kelangkaan BBM. "Saya minta maaf atas kesulitan BBM yang pada hari-hari ini menjadi pembicaraan umum. Kesalahan tersebut bukanlah kesalahan siapa-siapa di negeri ini, tetapi masalah dunia kita dewasa ini," ujar Kalla di Malang, Jawa Timur.

Permintaan atas minyak selama ini berlari lebih kencang daripada pasokan. Di luar negeri, permintaan yang berlebihan mendorong harga kontrak minyak di bursa komoditas untuk mendaki selama 18 bulan terakhir. "Ini merupakan periode kenaikan harga minyak terpanjang," ujar Martiono Hadianto, Komisaris Utama Pertamina.

Di dalam negeri, permintaan atas BBM juga terus tumbuh. "Rata-rata sekitar 5 persen setahun," ujar Kurtubi, ekonom energi. Pertumbuhan permintaan itu mudah diraba jika kita memelototi angka-angka penjualan kendaraan bermotor selama empat tahun terakhir. Tahun lalu, peningkatan penjualan mobil malah dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.

Tren seperti itu diabaikan oleh pejabat pemerintah, yang menyusun anggaran, dan juga anggota DPR, yang mengesahkan anggaran. Alasannya, untuk meringankan beban subsidi BBM yang harus ditanggung oleh anggaran. Jangan lupa, lebih dari separuh harga jual BBM di dalam negeri ditanggung oleh pemerintah. Jika penggunaan BBM tak dibatasi—biasa disebut kuota—tentu pemerintah tak bisa memperkecil subsidi. Angka konsumsi BBM yang disepakati sepanjang tahun ini dikurangi lima pesen menjadi 59,6 juta kiloliter.

Selama lima bulan pertama tahun ini, asumsi anggaran terbukti meleset untuk premium dan minyak tanah. Bensin yang telah tersedot oleh mobil yang lalu-lalang mencapai 7,96 juta kiloliter atau lebih dari separuh jatah anggaran. Total BBM yang telah dikonsumsi hingga akhir Mei mencapai 25,36 juta kiloliter atau 43 persen.

Untuk memenuhi permintaan yang telah melampaui kuota, Pertamina tak bisa seenaknya belanja. Ongkos membeli BBM luar biasa besarnya untuk kantong Pertamina yang sekarang ekstratipis. Delapan puluh persen pendapatan Pertamina saat ini datang dari bisnis pengadaan dan distribusi BBM di dalam negeri. "Marginnya cuma 8 per mil," ujar Martiono. Pada saat harga terus menanjak, uang di kantong Pertamina yang tandas.

Martiono memberikan contoh sederhana bagaimana Pertamina terengah-engah mengikuti kenaikan harga minyak di pasar dunia. Untuk memenuhi kebutuhan BBM di dalam negeri, Pertamina mengimpor minyak mentah, yang kemudian diolah di kilang dalam negeri dan produk jadi BBM, seperti bensin. Volume minyak mentah yang dapat diolah di kilang dalam negeri mencapai satu juta barel per hari. Sisa kebutuhan produk BBM ditutup dengan impor yang besarnya 350 ribu barel per hari.

Jika harga minyak mentah di kisaran US$ 55, harga produk minyak sepuluh dolar lebih tinggi. Itu artinya kebutuhan duit Pertamina setiap bulannya saja sekitar US$ 2,3 miliar. Andaikan saja itu belanja yang terjadi pada bulan pertama. Jumlah itu kemudian diganti oleh pemerintah pada akhir bulan pertama untuk modal belanja Pertamina bulan kedua.

Yang membuat pusing kepala para petinggi Pertamina adalah bila pada bulan kedua harga ternyata naik. Andaikan saja harga minyak mentah naik menjadi US$ 57, harga produk BBM menjadi US$ 67. Maka, ada kekurangan US$ 100 juta yang harus ditomboki oleh Pertamina.

Kurtubi menuding Undang-Undang Migas yang terbit empat tahun lalu sebagai biang kerok tertatih-tatihnya Pertamina dalam mengimpor minyak. Dalam UU Migas itu, posisi Pertamina tak lagi membawahkan kontraktor produksi bagi hasil (KPS), maka Pertamina kehilangan hak mengutip uang retensi pemasaran dari KPS yang beroperasi di Indonesia.

Nilai pungutan itu cukup besar, Rp 6 triliun hingga Rp 7 triliun per tahun. Kutipan retensi itu yang menjadi tenaga dalam Pertamina saat mengimpor BBM di masa silam. "Karena ada retensi, penggantian subsidi BBM pada akhir tahun pun menjadi tidak masalah," ujar Kurtubi. Setelah tak ada retensi, Pertamina mengandalkan pinjaman dari bank untuk membayar kekurangan penggantian pemerintah.

Ada sembilan bank, empat di antaranya bank asing, yang membuka fasilitas surat kredit bagi Pertamina untuk mengimpor minyak. Total plafon pinjaman surat kredit US$ 1,38 miliar atau Rp 12,97 triliun itu terlampaui pada triwulan pertama. Pada awal April silam, nilai fasilitas surat kredit yang digunakan Pertamina sebesar US$ 1,628 miliar atau Rp 15,31 triliun.

Awal bulan ini, kantong Pertamina untuk mengimpor BBM tak berubah banyak. Sumber Tempo di kalangan keuangan mengingat surat kredit Pertamina yang masih tertunggak sekitar US$ 150 juta. "Makanya kemarin ada keterlambatan pengiriman minyak," ujar sumber tersebut. Setelah fasilitas pinjaman dari bank melampaui plafon, praktis Pertamina harus mengandalkan uang dari pemerintah.

Di sini, kelangkaan mulai merebak. Situasi sempat keruh karena para pejabat di Departemen Keuangan yang berhak mencairkan uang anggaran saling lempar bola dengan para bos Pertamina. Di satu pihak, Pertamina menuding Departemen Keuangan lama mencairkan uang. Di pihak lain, Departemen Keuangan berkilah pencairan telah sesuai dengan proses.

Tanpa silang komentar pun, drama kelangkaan minyak di dalam negeri masih belum jelas kapan akan berakhir. Widya sudah berjanji berusaha mengalirkan minyak ke daerah-daerah yang mengalami kelangkaan. Akhir pekan kemarin, pemerintah menyatakan telah menyiapkan dana belanja Pertamina Rp 3 triliun. "Kalau tidak cair kemarin, ya paling tidak Senin ini (11 Juli)," ujar Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara, Mulia Nasution.

Namun sejauh mana pemerintah kuat membiayai subsidi? Sampai kini tak ada yang bisa menebak ke mana harga minyak internasional akan bergerak. "Yang pernah saya baca saja ada 30 ramalan yang berbeda," ujar Martiono. Pekan lalu, harga minyak jenis light sweet malah kembali menggila dan dua kali melampaui US$ 60 per barel. Badai di Teluk Meksiko, yang diperkirakan mengganggu produksi minyak di wilayah tersebut, menjadi penyebab utama.

Peluang harga kontrak minyak kembali melayang sangat besar, menjelang musim dingin di bumi belahan utara. Kurtubi memperkirakan kelebihan permintaan hingga akhir tahun masih sebesar 4 juta barel.

Jika harga internasional semakin tinggi, otomatis beban subsidi anggaran ikut melembung. Mulia mengaku subsidi yang telah terpakai sebesar Rp 42 triliun atau sekitar 55 persen dari total yang dianggarkan. Sulit membayangkan sisa anggaran itu cukup untuk sampai akhir tahun. Jika harga rata-rata minyak mentah US$ 60 per barel, Menteri Energi Purnomo Yusgiantoro menghitung subsidi meledak hingga Rp 138 triliun.

Itu dengan catatan konsumsi minyak tak bergeser dari anggaran semula. Namun, melihat borosnya orang Indonesia menggunakan BBM sepanjang tahun ini, sangat mungkin volume BBM yang terpakai meningkat. Pertamina pun sudah meminta DPR agar menambah kuota konsumsi BBM tahun ini. "Kita minta ditambah atau disamakan saja dengan kuota 2003 (untuk minyak tanah)," kata Wakil Direktur Utama Pertamina, Mustiko Saleh.

Dalam hitungan pemerintah, kenaikan harga yang dibarengi dengan kenaikan volume sebesar 10 persen dari tahun lalu akan melipatgandakan subsidi BBM hingga Rp 150 triliun. Dalam skenario ini, defisit anggaran menganga hingga Rp 38 triliun. "Ini berarti Indonesia menjadi negara sosialis terbesar di dunia," ujar Kalla.

Dalam jangka panjang, banyak langkah yang bisa diambil pemerintah untuk memberantas kelangkaan minyak. Menggenjot produksi minyak di dalam negeri adalah yang terutama. Ini bukan tugas yang sepele, mengingat sejak 1999 investasi di sektor eksploitasi melempem. "Ini pentingnya kita mencapai kesepakatan di Cepu kemarin," ujar Martiono. Seandainya kerja sama dengan ExxonMobil mulus, secepatnya dalam dua tahun mendatang Indonesia bisa mendapat tambahan produksi minyak paling tidak 150 ribu barel per hari.

Dalam jangka pendek, tak ada obat yang enak untuk mengatasi kelangkaan. Presiden, sejak dua pekan lalu, memang mengimbau para pejabat untuk memotori gerakan penghematan BBM. Pekan lalu, imbauan penghematan juga diembuskan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tapi langkah itu seperti tak disambut dengan hangat. Pada pekan pertama instruksi itu keluar, nyaris tak ada perubahan yang terlihat di kantor-kantor pemerintah (baca Tempo, 4 Juli 2005).

Andai penghematan tak mempan menahan nafsu menenggak BBM, besar kemungkinan pemerintah akan mengambil langkah yang lebih keras, yaitu menaikkan harga. Intro kebijakan itu sudah terdengar pekan lalu. Direktur Jenderal Minyak dan Gas, Iin Arifin Takhyan, menyatakan pemerintah akan merombak harga jual BBM untuk industri pertambangan, minyak, dan gas. Industri itu diharuskan membayar harga BBM sama dengan harga internasional. "Ini akan diberlakukan dalam waktu dekat," kata Iin.

Ini jelas kebijakan yang tak akan mudah diterima rakyat.

Thomas Hadiwinata, Jems Fortuna (Kupang), Tempo News Room

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus