Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

MOMEN

23 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTAMINA
Kembali ke Petral

PT Pertamina (Persero) merestrukturisasi Integrated Supply Chain pekan lalu. Lembaga yang dibentuk pada September 2008 ini bertugas merencanakan serta merealisasikan pengadaan minyak mentah dan bahan bakar minyak. Ke depan, Integrated Supply Chain akan didapuk sebagai penyusun strategi alias think tank. ”Integrated Supply Chain akan menjadi pengarah Direktorat Marketing dan Pemasaran,” kata Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan di Jakarta, Kamis pekan lalu. Selanjutnya, pengadaan bensin dan minyak mentah akan dilakukan Petral.

Menurut Komisaris Pertamina Maizar Rahman, pada prinsipnya adalah pemisahan fungsi perencanaan dan pelaksanaan agar sesuai dengan tata kelola good corporate governance. Namun, kata anggota Komisi Energi dan Sumber Daya Mineral Dewan Perwakilan Rakyat, Tjatur Sapto Edy, ini menandakan Pertamina tidak memiliki cetak biru untuk peningkatan efisiensi pengelolaan hilir migas. Sehingga, semua bergantung pada direktur utama. ”Ini tidak sehat untuk Pertamina,” kata Tjatur kepada Tempo pekan lalu.

Mengembalikan pengadaan bensin dan crude kepada Petral, kata pengamat perminyakan Kurtubi, juga tidak tepat. Ada banyak pengalaman buruk dengan Petral, mulai harga yang tidak reasonable hingga menjadikan anak perusahaan Pertamina yang berbasis di Singapura ini sebagai tempat mengumpulkan pundi. Mestinya, menurut Kurtubi, Pertamina melakukan kontrak pengadaan langsung dengan produsen untuk mendapatkan harga termurah. ”Bukan melalui para trader,” ujarnya.

UTANG
Jatuh Tempo US$ 22,6 Miliar

UTANG luar negeri perusahaan swasta di Indonesia yang jatuh tempo pada 2009 mencapai US$ 22,6 miliar (Rp 271 triliun). Rinciannya, utang jangka pendek US$ 17,4 miliar—termasuk bunga US$ 2 miliar dan utang yang berasal dari trade financing US$ 5,2 miliar. ”Sebagian memerlukan perpanjangan di tengah sulitnya likuiditas saat ini,” kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi A. Sarwono, Kamis pekan lalu.

Hartadi menjelaskan, 31 persen dari US$ 17,4 miliar merupakan pinjaman dari perusahaan induk atau afiliasi. Artinya, peluang untuk mendapatkan restrukturisasi besar. Sedangkan 57 persen adalah utang perusahaan asing atau joint venture yang sudah memiliki sumber pembiayaan.

Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan pengaturan dan pengawasan utang swasta harus diperketat agar cadangan devisa tak terancam tergerus banyak seperti sekarang. Selama ini, swasta bebas mendapatkan kredit valuta asing, meski berpotensi mengganggu perekonomian negara. ”Misalnya, bunga kredit Grup Bakrie bisa lebih dari 20 persen, itu kan gila,” tuturnya.

Untuk membayar utang, perusahaan swasta akan membeli dolar Amerika. Otomatis, cadangan devisa negara akan berkurang, sehingga nilai rupiah pun bakal terseret turun. Di Malaysia, ia membandingkan, utang jangka pendek swasta hanya 15 persen dari cadangan devisa. Tidak seperti Indonesia yang mencapai 88 persen.

PERTUMBUHAN EKONOMI
Kurang dari 4 Persen

BANK sentral memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia kemungkinan akan di bawah 4 persen karena anjloknya pertumbuhan ekspor dunia. Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional yang terus merevisi pertumbuhan dunia setiap bulannya menjadi terus turun juga sebagai faktor penentu.

Oktober tahun lalu, pertumbuhan ekonomi global tahun ini diproyeksi 3 persen, tapi bulan berikutnya direvisi menjadi 2,2 persen. Terakhir, pada Februari lalu, direvisi lagi menjadi minus 0,5-1,5 persen. ”Tapi BI masih menggunakan angka 4 persen karena terlalu dini untuk merevisi,” kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi A. Sarwono, Kamis pekan lalu.

Minusnya pertumbuhan ekonomi ini berakibat pada penurunan volume perdagangan dunia sebesar minus 2 persen yang selanjutnya memicu pertumbuhan ekspor negatif, termasuk Indonesia. Bank Indonesia memperkirakan ekspor Indonesia tahun ini akan turun lebih dalam menjadi minus 25-28 persen dan impor minus 24-27 persen. Sebelumnya, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu juga memastikan pertumbuhan ekspor akan minus.

Ekonom Adrian Panggabean menilai selama ini pemerintah salah menganalisis situasi sehingga prediksinya terlalu optimistis. Padahal longsornya pertumbuhan nilai perdagangan dunia hingga 60 persen sudah terdata sejak Oktober tahun lalu. ”Tapi pemerintah masih punya kesempatan mengoptimalkan stimulus fiskal,” tuturnya.

Badan Pusat Statistik melansir nilai ekspor pada Januari lalu anjlok 36 persen dari tahun sebelumnya menjadi hanya sekitar US$ 7 miliar. Ini penurunan terbesar dalam 23 tahun terakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus