Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Berpisah Kita Bisa

23 Maret 2009 | 00.00 WIB

Berpisah Kita Bisa
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

ISYARAT pecah kongsi itu bisa ditakwilkan lewat layar kaca. Dalam iklan kampanyenya terbaru di televisi, selain bicara tentang keberhasilan Partai Golkar, Muhammad Jusuf Kalla berakting setengah menantang. Ia membuka kancing lengan panjang kemeja kuningnya seraya berkata, dengan sorot mata tajam: ”Lebih cepat lebih baik.”

Pesannya jelas. Inilah gaya kepemim-pinan cekatan Kalla, sang Wakil Presiden. Perancang iklan itu, barangkali, mengkontraskan Kalla dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang kerap dicitrakan peragu dan lamban. Sebaliknya, iklan Partai Demokrat, yang juga ”tumpah ruah” di pelbagai radio dan televisi, hanya menonjolkan kisah sukses sang Presiden—dan menafikan peran Kalla.

Namanya juga iklan: tak ada kecap nomor dua. Tapi, sesungguhnya, jurnal perselisihan mereka tak susah didedah. Baru dua tahun berkuasa, muncul riak di kabinet. Jusuf Kalla mengaku terkejut, karena tak diajak berdialog, lalu dia pun menggugat ihwal pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi, yang dipimpin mantan Jaksa Agung Marsillam Simandjuntak.

Hubungan mereka kembali keruh dalam pengadaan helikopter untuk bencana alam. Kalla gusar akan sikap SBY yang tak memberikan dukungan, sehingga heli yang dipesan konco-konconya itu sempat disegel aparat bea dan cukai di Bandara Soekarno-Hatta. Buntutnya, JK melabrak atasannya itu di Istana, seraya mempertanyakan komitmen kontrak politik mereka berdua yang diteken SBY.

Benih keretakan menggumpal sampai ke Den Haag, Belanda. Kalla, yang sedang melawat ke sana, naik pitam mendengar Wakil Ketua Partai Demokrat, Achmad Mubarok, berani memprediksi bahwa Golkar hanya akan meraup 2,5 persen suara di pemilihan legislatif. Setelah ia balik ke Tanah Air, SBY juga tak segera memberinya waktu untuk melaporkan hasil lawatan.

Bara pertentangan makin besar di forum tertinggi kedua partai. Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat, awal Maret lalu, sama sekali tak menyebut Kalla sebagai pasangan SBY. Forum menunda penetapan pendamping sang Ketua Dewan Pembina hingga usai pemilihan legislatif. Keputusan ini dibaca para petinggi Golkar sebagai pengingkaran komitmen SBY untuk tetap berduet dengan JK.

Sebaliknya, para elite Golkar yang masih meradang terhadap ”pelecehan Mubarok” mendorong-dorong Kalla agar maju sebagai calon presiden. Saudagar Bugis itu menyatakan kesiapannya. Ini berarti, tak ada tempat lagi baginya untuk berduet sebagai wakil SBY. Apalagi partai pemenang Pemilihan Umum 2004 itu menegaskan bahwa pintu untuk berkoalisi dengan Demokrat sudah tertutup kedap.

Kiamat tak akan datang kalaulah duet ini benar-benar berakhir. Yang patut disesalkan justru cara keduanya memelihara persaingan terselubung. Terjadi dualisme kepemimpinan. Selain tak sehat, juga bisa membingungkan para menteri. Mereka dipaksa mengembangkan kepatuhan ganda ketika melayani kedua bos besarnya ini agar tak dicurigai lebih loyal hanya kepada salah satunya.

Dualisme ini tentu akan menyulitkan tata kerja kabinet yang tinggal menghitung bulan. Sebab itulah, kekompakan semu, tekad tetap berduet hingga akhir masa jabatan, harus segera diakhiri. Mereka tak boleh terus-menerus menebarkan nilai-nilai kenifakan: di luar tampak solid, tapi diam-diam saling menggunting dalam lipatan. Ibaratnya tidur bersama di balik selimut sembari menggenggam keris dan badik.

Rakyat harus diberi tahu selekas mungkin kalau memang keduanya tak bisa akur. SBY harus tegas berujar bahwa ia tak bisa berduet lagi dengan JK. Kalau memang sudah tak cocok, sebaiknya disudahi saja. Tak usah berbasa-basi. Toh, Partai Demokrat sudah percaya diri, dan ”menggantung” posisi Kalla sebagai kandidat wakil presiden.

Begitu juga Kalla. Kalau memang siap maju sebagai calon presiden, tak perlu tedeng aling-aling. Dia harus berani sesegera mungkin menyatakan non-aktif dalam pemerintahan. Dia tidak akan kehilangan hak-hak protokolernya, tapi tak boleh mengambil keputusan penting. Tak boleh lagi ada rapat bidang ekonomi di kantornya. Lupakan saja kalkulasi proyek raksasa dengan dalih apa pun. Serahkan saja semua urusan kepada Presiden.

Sebaiknya JK berkonsentrasi saja di Golkar, yang kini sangat membutuhkan kehadirannya. Fokuskan menjadi calon orang nomor wahid, walau hasil polling menampilkan angka keterpilihan yang kurang bagus. Kalau perolehan suara Beringin sesuai dengan target, siapa tahu, posisinya akan lebih elegan. Dan sejarah akan mencatat bahwa Kalla lebih mengedepankan kepentingan partainya—melebihi hasratnya mendampingi SBY—apa pun risikonya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus