Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Naresh C. Singh: Subsidi Hanya Bantuan Darurat

25 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BILA dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu, angka kemiskinan di Indonesia seperti tak pernah susut. Tengok saja jumlah penduduk miskin yang mencapai 17,70 persen dari total penduduk pada 1996. Sedangkan hasil survei teranyar BPS-yang sempat menjadi polemik di berbagai media, awal September lalu-menyebutkan jumlah penduduk miskin hingga Maret 2006 menembus 39,05 juta orang, atau 17,75 persen dari total penduduk.

Berbagai upaya, seperti pemberian beras kepada penduduk miskin hingga subsidi langsung tunai sebagai kompensasi atas kenaikan harga bahan bakar minyak, Oktober lalu, telah ditempuh pemerintah. Namun, di mata Naresh C. Singh, Direktur Eksekutif Komisi Pemberdayaan Hukum untuk Orang Miskin-lembaga yang bermitra dengan UNDP, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Afrika-langkah itu belum tentu menyelesaikan akar kemiskinan. "Malah bisa menimbulkan ketergantungan," kata pria India warga negara Kanada itu, Selasa pekan lalu.

Naresh, yang pernah bekerja di 40 negara, berkunjung ke Indonesia untuk menawarkan berbagai program pengentasan masyarakat miskin, yang dilakoni lembaganya, yang diketuai ekonom Peru, Hernando de Soto, dan mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Madeleine K. Albright. Di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta, Naresh berbincang dengan Heri Susanto, Kurie Suditomo, Philipus Parera, Yandhrie Arvian, dan fotografer Arif Fadillah dari Tempo.

Apa program yang Anda tawarkan?

Intinya pemberdayaan hukum. Penduduk kaya di negara maju, yang bekerja di sektor formal, bisa makmur dan sejahtera karena memiliki akses hukum. Bandingkan dengan negara miskin. Hanya 10-15 persen yang memiliki akses hukum, dan 70 persen penduduk bekerja di sektor nonformal. Di Indonesia, saya kira, sekitar 80 persen penduduk bekerja di sektor nonformal.

Apa masalah yang kerap timbul di sektor nonformal?

Setelah diteliti, sebagian besar dari mereka justru pengusaha kecil. Karena tak punya akses hukum, mereka membutuhkan waktu cukup lama untuk mendapatkan sertifikat atau hak atas tanah yang mereka tempati. Padahal, bila tidak punya sertifikat, tidak bisa pergi ke bank untuk mendapat pinjaman.

Tapi, di Indonesia, orang tak biasa menggunakan lahan untuk meminta jaminan ke bank.

Benar. Tidak semua orang menggunakan lahan sebagai jaminan mendapat kredit bank. Namun, kepemilikan lahan secara resmi tidak hanya terkait dengan pinjaman bank. Juga untuk memberikan rasa aman jangka panjan

Lantas, apa yang akan Anda lakukan?

Sumber masalahnya adalah hak atas properti. Bagaimana memberikan sertifikat atas properti kepada orang miskin, kemudian hak atas pekerjaan dan kesempatan untuk berbisnis.

Bagaimana dengan akses terhadap keadilan?

Akses terhadap keadilan sangat penting. Tak sedikit yang tidak percaya pada sistem peradilan. Karena itulah kami akan membantu pemberdayaan hukum. Kami ingin fokus pada implementasinya.

Apa yang akan Anda kerjakan di Indonesia?

Pada tahap pertama, kami akan melakukan identifikasi. Bekerja sama dengan LSM untuk mengkaji persoalan hak atas tanah, pekerjaan, akses terhadap hukum. Namun, akhirnya solusi itu akan sangat bergantung pada politisi yang menentukan perubahan kebijakan.

Itu sebabnya Anda bertemu dengan Joyo Winoto, Kepala BPN, untuk membicarakan soal ini?

Ya. Kami membicarakan soal hubungan kepemilikan lahan dan permasalahannya. Kami juga akan bertemu dengan Menteri Keuangan, Menteri Perekonomian, Menteri Dalam Negeri, untuk menyampaikan usulan ini. Juga kepada DPR, karena mereka ikut menentukan kebijakan.

Tapi tidak semua tanah di Indonesia produktif dan bernilai ekonomis.

Masalahnya bukan pada tanahnya, melainkan bagaimana kemampuan mengelola. Boleh jadi timbul kegagalan karena belum menemukan cara terbaik memanfaatkan tanah. Di beberapa negara, bahkan di daerah yang sangat kering atau sering dilanda banjir, tanah bisa dimanfaatkan dan produktif.

Bagaimana dengan pemberian subsidi tunai untuk orang miskin yang dijalankan pemerintah Indonesia?

Saya kira subsidi bisa diberikan oleh pemerintah Indonesia untuk menghindari shock akibat kenaikan harga BBM yang terlalu tinggi. Namun, itu tidak bisa dijalankan terus-menerus. Perlu ada program yang tepat untuk menciptakan sustainable livelihood. Subsidi hanya bantuan darurat yang secara perlahan harus dikurangi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus