BALI telah berubah menjadi neraka di tangan awak televisi saluran 9 Australia. Dirjen Pariwisata Joop Ave dan Dirjen RTF Subrata telah membuktikannya sendiri. Kedua peiabat itu, baru-baru ini, terperangah seusal menonton film dokumenter A Hell of Holiday, hasil garapan tv Australia itu. "Entah bagaimana angle yang dipilih, ternyata, yang disiarkan tida sesuai dengan tujuan pembuatannya, yakni untuk menggambarkan kepariwisataan di Bali," tutur Subrata. Penyimpangan ini juga telah membuat Joop Ave gemas, hingga film yang sama sengaja diputarkannya di depan rapat Kanwil Pariwisata di Jakarta. Setelah bicara tentang hikmah negatif dan positif, dalam nada arif ia mengisyaratkan, rneski "keadaan sebenarnya bukan demikian," haruslah diingat bahwa "tidak ada kepentingan kita memusuhi Australia. " Alasannya, Australia merupakan pasaran penting bagi pariwisata. Menurut Joop, penyimpangan film itu harus ditinjau dari wartawannya, saluran tv yang menyiarkannya, dan oknumnya sendiri. Dia tidak bicara tentang "sanksi" yang bisa dikenakan pada pihak pelanggar "janji", juga tidak menyebut-nyebut kerugian bidang pariwisata yang akan kita alami. Tak lama seusai A Hell of Holiday diputar di saluran 9, pihak biro perjalanan di negeri kanguru itu segera protes. "Bali tidak sejelek itu," tulis mereka pada pengelola saluran 9. Salah satu salinan protes mereka kirimkan pada Susilo, manajer biro perjalanan Pacto di Denpasar. Kendati demikian, Susilo tetap mengeluh. "Kalau film itu diputar terus-menerus, waduh berabe, deh...," katanya. Mengapa? Sepanjang masa putarnya yang 17 menit, film itu bukan menggambarkan dunia pariwisata Bali, tapi pelayanan kesehatan yang buruk di pulau itu dan RSUP Sanglah yang reputasinya jelek. Tak cuma itu. Lewat pemotretan yang tidak filmis, wawancara yang meloncat-loncat dan komentar yang berat sebelah, Bali, khususnya pantai Kuta dilaporkan sebagai sarang penyakit. Mulai dari malaria, disentri tifus, rabies (penyakit anjing gila), sampai kepada polio. Ian Craig Leslie, komentator film, dalam sikap serius bicara tentang RSUP Sanglah, tempat seorang gadis kecil Kelly meninggal dunia dan dua pasien Australia lainnya dirawat tanpa dapat disembuhkan. Mengerikan? Begitulah. Penonton di Australia yang "sadar kebersihan" pasti membayangkan Bali sebagai neraka - persis seperti judul film. Mengingat film adalah media massa yang paling besar pengaruhnya, maka dalam waktu singkat gambaran neraka itu bisa menyesatkan. Tak dapat tidak A Hell of Holiday merupakan propaganda paling buruk tentang Indonesia (khususnya Bali) dan pembuatannya justru secara resmi diizinkan oleh pemerintah Indonesia. "Apa yang disiarkan memang di luar dugaan," ucap Subrata yang untuk pembuatan film Australia itu mengeluarkan izin no. 06/SK/Dirjen RTF/V/1984. Mengapa Indonesia kecolongan? Wartawan TEMPO di Bali, I Nengah Weja, melaporkan bahwa tim Australia, yang disertai tim pendamping Indonesia, melancarkan shooting tiga hari penuh. Pemotretan meliputi suasana di Kota Denpasar, perkampungan turis di Kuta, Pasar Mambal, berlanjut ke perkampungan kera di Sangeh, kemudian ke Gianyar, akhirnya wawancara dengan gubernur Bali dan Kepala RSUP Sanglah. Dikabarkan, semua pemotretan sesuai dengan jadwal, hingga tidak ada yang curiga. Barulah ketika hasil akhir diputar, orang terperanjat. Sebab, yang terlihat tidak sesuai dengan yang dipotret. Ini, antara lain dimungkinkan karena hasii pemotretan di Bali kemudian diramu dengan pemotretan di Australia yang sama sekali tidak diketahui petugas kita. Dengan demikian, film ini merupakan hasil editing berat, dengan skenario yang sama sekali gelap untuk Indonesia. Mengapa prosedur yang diberlakukan ada produser asing itu tidak ketat? Apakah karena kita ingin tampak ramah? Yang jelas, kita harus siap tidak "tercengang" bila ternyata pikiran bangsa asing tidak sejalan dengan kita. Hell adalah buktinya. Pemotretan kawasan turis di Bali telah dengan sengaja mereka potong-potong, disambung dengan gambar-gambar bersuasana tragis yang menampilkan "malapetaka" atas diri tiga orang Australia. Sebetulnya, kebenaran kasus tiga penderita Australia itu masih diragukan. Si gadis kecil Kelly, misalnya, menurut keteranan dr. Made Sudhiana, Kepala RSUP Sanglah, baru dibawa sesudah kondisinya telanjur parah. Tapi lewat film Hell, keluarganya mengatakan, "petugas RS Sanglah tidak berbuat apa-apa dalam tempo 30 menit, sebelum anak itu meninggal. Dua pasien lain, Calvin dan Brown, tidak mati Tapi juga dianggap tidak tertolong. Calvin kabarnya gegar otak dalam kecelakaan lalu lintas di Bali hingga kendati dirawat terus di Australia, pemuda itu belum juga waras. Sedangkan Brown, yang lengannya dijahit di RS Sanglah, tidak diberi suntikan antibiotik hingga lengan itu kendati dirawat lebih lanjut, tetap tidak berfungsi. Mengapa ketiga kasus ini, sebelum diteliti lebih mendalam, oleh tim tv Australia saluran 9 itu langsung dijadikan bukti untuk menghukum pelayanan kesehatan di Bali. Cuma mereka yang tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini