Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Nggak Ada Pun, Nggak Apa-Apa

Mulai 1 april 90 subsidi bunga kredit ekspor dicabut.Untuk meningkatkan daya saing ekspor secara murni.Para eksportir merasa keberatan thd pencabutan tsb. Dianjurkan terjun ke future trading.

10 Februari 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nggak Ada pun, Nggak Apa-Apa Mulai 1 April, subsidi bunga kredit ekspor dicabut. Kata pengusaha, ini memberatkan. Kata Mooy? KALI ini Pemerintah tak bermaksud mengulur janjinya. Fasilitas subsidi bunga atas kredit modal kerja bagi para eksportir -- lebih kondang disebut kredit ekspor (KE) -- terhitung mulai 1 April depan, akan enyah dari pos kredit likuiditas Bank Indonesia. Menurut Gubernur Bank Sentral Adrianus Mooy, penghapusan KE sesuai dengan kebijaksanaan BI mengurangi kredit likuiditas. Dan kebetulan sekali, berlakunya ketetapan baru itu bersamaan dengan batas akhir pemberian subsidi KE, seperti yang tertuang dalam kesepakatan Pemerintah RI dan AS pada perjanjian Code on Subsidies and Countervailing Duties GATT, 1985. Perjanjian itu -- yang dulu diteken Menteri Perdagangan Rachmat Saleh atas desakan AS -- menekankan bahwa Indonesia setuju untuk secara bertahap menghapuskan segala macam subsidi yang diberikan kepada barang-barang ekspornya. Kalau tidak, negeri pengimpor berhak mengenakan bea masuk tambahan (countervailing duties) atas barang yang masuk ke negeri mereka. AS, misalnya, pernah mengancam akan mengenakan bea masuk tambahan sekitar 20% hingga 27%. Menurut Mooy, meskipun Indonesia sudah mengurangi subsidi KE, gerak Indonesia masih lambat. "Untung, kita tidak dikenai penalti oleh AS," ungkapnya, ketika menjelaskan perihal kebijaksanan perbankan, akhir Januari lalu. Sudah sejak tahun lalu Mooy bicara tentang maksud Pemerintah, untuk meningkatkan daya saing "murni" para eksportir. Mooy beranggapan bahwa dengan subsidi KE, eksportir Indonesia hanya memiliki daya saing semu ketika berhadapan dengan jago-jago ekspor mancanegara. Karena itu, sejak Mei tahun silam, Pemerintah menaikkan bunga KE dari 9% dan 11,5% menjadi 14% (untuk komiditi primer, seperti kopi dan karet) dan 14,5% (komoditi nonprimer alias barang-barang manufaktur). Lazimnya, KE senantiasa dikaitkan dengan deposito tiga bulanan karena hasil ekspor baru bisa diterima setelah 3 bulan. Ini memudahkan penghitungan biaya dana. Dengan bunga KE 14% dan 14,5%, dan bunga deposito 3 bulan 15%, maka subsidi bunga KE sudah menciut menjadi antara 1% dan 0,5%. Karena subsidinya hanya setipis itu, maka penghapusan KE tidaklah terasa berat. "Nggak ada subsidi bunga pun, sebenarnya tak apa-apa," tutur Dahlan Sutalaksana, Kepala Urusan Valuta Asing dan Giralisasi Bank Indonesia. Diakuinya, kredit likuiditas yang disuntikkan BI bisa mempunyai dampak inflatoir. "Tapi kan tidak semua kredit ekspor dibiayai dengan kredit likuiditas," ujar Dahlan. KE yang disuntikkan BI terus menanjak dari tahun ke tahun. Sampai Oktober tahun lalu saja, tak kurang dari 2,9 trilyun dana yang disuntikkan BI untul KE. Ini sudah berlipat 30 kali dibandingkan dengan suntikan pertama kali -- sebanyak Rp 92 milyar -- pada 1981. Kalau KE tak ada, eksportir bisa meminjam dana dari luar negeri. Melalui fasilitas offshore loan, dengan perantaraan bank di sini, eksportir bisa meminjam valuta asing dari bank di luar negeri. Kalau saat ini bunga pinjaman prime rate di Singapura 6,13%, maka biaya bunga yang dibayar eksportir (dalam dolar Singapura) sekitar 8%. Kabarnya, pinjaman luar negeri dalam mata uang Yen, Dolar Hong Kong, dan Dolar Malaysia sekitar (prime rate) 3,38%, 6,75%, dan 11,5%. Bagaimana tanggapan kaum eksportir kita? "Menjadi kendala utama sih tidak, tapi cukup memberatkan," jawab Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Daryono Kertosastro kepada TEMPO. Daryono menyarankan agar para ekportir mulai bermain di future trading luar negeri. Sebab, harga pembelian di dalam negeri lebih mahal dibandingkan dengan di luar negeri. "Kalau kita main di Terminal London, kita bisa menutup kerugian yang dialami di sini. Tapi, itu tidak mudah," pesan eksportir kopi dari Malang itu. Bachtiar Abdullah dan Bambang Aji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus