Mencari Akses, Menghitung Bunga YANG agaknya terkejut karena ditiadakannya Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) adalah para pengusaha lemah. Mereka kehilangan akses untuk mendapatkan modal kerja yang murah. Bila sebelumnya mereka dilayani lewat jalur KIK dan KMKP, maka sejak 1 Februari 1990, mereka harus memperjuangkan kredit umum yang bunganya rata-rata 16%. Memang, paket baru yang kini banyak disebut Pakjan (Paket Januari) itu, menetapkan bahwa 20% dari seluruh kredit bank yang disalurkan itu wajib diberikan kepada pengusaha kecil. Tapi, di situ ditetapkan juga, bahwa yang dimaksud usaha lemah adalah usaha dengan aset maksimum Rp 600 juta, di luar rumah dan tanah yang ditempati. Ketetapan semacam ini bisa sangat mempersempit peluang bagi usaha yang asetnya Rp 50-100 juta. Apalagi pengusaha kecil, menurut Departemen Perdagangan, ada yang beraset Rp 25 juta. Tak dapat tidak, tentu, bank-bank cenderung menyalurkan kreditnya pada usaha dengan aset Rp 600 juta ketimbang usaha yang pas-pasan. Lalu, ke mana pengusaha kecil dengan aset Rp 25 juta harus berpaling? Dulu, mereka bisa mengandalkan KIK dan KMKP. Sekarang, kedua jenis kredit lunak itu sudah dikelompokkan dalam kredit umum yang bunganya 16% setahun. Ada yang berpendapat bahwa penghapusan KIK dan KMKP itu tepat, karena pengusaha harus berlatih untuk tidak manja. Tapi ada yang khawatir, jangan-jangan karena posisinya begitu lemah -- antara lain karena tidak punya agunan -- maka pengusaha kecil akhirnya bergantung pada pengusaha yang lebih kuat. Kalau begitu, bagaimana mereka bisa mengembangkan usaha. Jawabannya sudah disediakan Pemerintah. Para pengusaha lemah bisa mengusahakan kredit melalui BPR (Bank Perkreditan Rakyat) seperti yang dianjurkan Gubernur Bank Sentral Dr. Adrianus Mooy atau melalui koperasi -- tentu dengan lebih dulu menjadi anggota koperasi -- yang memperoleh dananya dari Bank Indonesia sebanyak 75% atau barangkali dengan melibatkan perusahaan besar, misalnya BUMN (Badan Usaha Milik Negara), yang diharapkan berfungsi sebagai bapak angkat. Namun, lewat tiga jalur itu pun, pengusaha kecil tetap tidak mungkin lagi mendapatkan kredit dengan bunga 12% setahun, karena kebijaksanaan dana murah memang sudah dihapuskan. Gagasan melibatkan BPR -- dengan merentang mata rantai yang bermula pada bank umum lalu ke BPR dan akhirnya ke pengusaha kecil -- juga tampaknya sinkron dengan imbauan Mooy terdahulu. Tapi sejauh ini, yang lebih banyak menarik perhatian adalah bunga kredit 16% -- bukan peluang untuk mendapatkannya. Buat petani di Karawang, Ja-Bar, bunga 16% itu masih dalam jangkauan mereka, kendati diakui memang agak tinggi. Drs. S. Soetarno, manajer Puskud Mina Lestari -- koperasi nelayan yang sukses di Ja-Tim -- terus terang mengatakan kepada Kompas bahwa bunga 16% terlalu berat. Lain halnya KUD Mardi Rahayu -- KUD terbaik se-Jawa Tengah tahun 1986 -- di Klaten. Sesudah melunasi KUT (Kredit Usaha Tani) tahun lalu, kini anggotanya sepakat untuk tidak mengambil kredit lagi. "Para anggota kami sudah mampu mengolah sawahnya secara swadana," ungkap Sandi W.S., Ketua KUD Mardi Rahayu. Agak istimewa adalah KUD Bhakti, Delanggu, Jawa Tengah. "Kami takut untuk mengambil kredit," kata Reso Soekarto, seorang pengurus KUD Bhakti. KUD Sinar Jaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, justru menyambut gembira Pakjan berikut segala konsekuensinya. Buat Ading Rastaman, Ketua KUD Sinar Jaya, bukan bunga yang jadi masalah. "Waktu bunga kredit 18% saja, kami mampu membayar lunas. Apalagi 16%. Yang kami resahkan ialah kesiapan kami untuk menyelenggarakan kredit," begitu Ading mengakui. Ternyata banyak juga KUD yang tidak keberatan terhadap bunga 16%. Dan untuk ini ada dua alasan. Pertama, usaha mereka sudah melaba. Kedua, mereka terbiasa dengan bunga setinggi itu, kendati di atas kertas, bunga KIK dan KMKP hanya 12%. Jadi, tak kaget lagi. Yang akan merasa berat karena beleid ini adalah pengusaha yang baru mulai. Agaknya, untuk mereka ini, koperasi, BPR, dan program bapak angkat kelak bisa berperan banyak. IS, Bambang Aji, Hasan Syukur (Bandung), Kastoyo Ramelan (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini