Gebrakan Tujuh Pemimpin Pasar Bunga kredit turun, tapi beberapa bank masih menawarkan berbunga tinggi. Sesama bank swasta, dilarang saling mengganggu. RUPA-RUPANYA tema "Follow Me", yang populer dalam pelajaran bahasa Inggris, dikumandangkan juga di sektor perbankan. Simaklah, sejak akhir tahun lalu, Gubernur BI Adrianus Mooy berkali-kali mengimbau agar kalangan bank segera menurunkan suku bunga. Cuma, hasilnya agak mengecewakan. Satu dua bank saja yang mengikuti imbauan ini. Itu pun, yang diturunkan cuma suku bunga deposito. Kini, Pemerintah bertindak lebih kongkret. Pekan lalu, tujuh bank Pemerintah serentak menurunkan suku bunga deposito, sekaligus tingkat bunga kredit yang mereka salurkan. Dua pekan sebelumnya, deposito yang tertinggi di bank-bank Pemerintah masih nyangkut pada angka 16,5%. Kini, sudah meluncur ke 15,5%. Kemudian, secara bersama-sama pula ketujuh bank Pemerintah itu menurunkan suku bunga pinjaman, dari rata-rata 19% menjadi 16%. Menurut sebuah sumber di bank Pemerintah, hal itu dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan Bank Indonesia. "Sebagai market leader, kami memberikan contoh agar diikuti oleh bank-bank swasta," kata seorang bankir. Di samping memberi contoh, ternyata ada faktor-faktor lainnya. Direktur BNI Widigdo Sukarman menyatakan, kepercayaan masyarakat yang meningkat pada rupiah, seperti yang terjadi saat ini, juga merupakan momen yang tepat untuk menurunkan tingkat suku bunga. Diakui oleh Widigdo, tindakan ini sedikit banyak akan memangkas keuntungan bank yang dikelolanya. Yaah, apa boleh buat. Selain mengemban misi sebagai agent of development, tampaknya bank Pemerintah juga mengalami kelebihan likuiditas. Selama setahun setelah turunnya Pakto 1988, BNI saja mampu menaikkan pengumpulan dana sebesar tak kurang dari Rp 900 milyar (dari Rp 4,5 trilyun menjadi Rp 5,4 trilyun) dari masyarakat. Jangan kaget, kalau ditotal, mobilisasi dana yang dapat dihimpun oleh bank selama 14 bulan terakhir -- hingga akhir Desember -- mencapai Rp 51,8 trilyun. Naik sekitar 40,4% dari angka akhir Oktober 1988 yang Rp 36,9 trilyun. Ledakan semacam itu berpangkal pada ekspansi berbagai bank, baik dengan pembukaan sejumlah cabang baru atau melalui penawaran produk baru (Tahapan, Kesra, Taplus, SiAga dan sebagainya). Sebelum Pakto, hanya ada 108 bank dengan 1.896 kantor. Kini, tercatat 147 bank dengan 3.293 kantor. Belum dimasukkan kantor BRI, yang seluruhnya berjumlah 2.800, plus 7.555 kantor bank perkreditan rakyat. Melihat kenyataan itu, tanpa aba-aba "Follow Me", sebenarnya bunga deposito maupun kredit sudah harus turun dengan sendirinya. Ternyata tidak begitu. Dalam hal suku bunga deposito, bank-bank swasta masih tetap memasang antara 15,5% (untuk yang tiga bulan) dan 18,5% (12 bulan). Bahkan, masih ada beberapa bank yang memberikan bunga hingga 20,5%, untuk deposito berjangka setahun. "Lho, itu kan wajar. Sebab, setiap bank kemampuannya berbeda-beda," kata Abdullah Ali, Presdir BCA. Perbedaan itu tampak pula dalam menghargakan kredit. BCA dan beberapa bank swasta nasional sudah menurunkan suku bunga pinjamannya. Tapi, BII masih memasang bunga kredit 20%. Menurut Hidajat Tjandra Djaja, Direktur BII, ini tidak berarti banknya tidak mampu menurunkan suku bunga. "Kami masih sanggup memberikan bunga kredit hingga 17%," ujarnya. Dari tingkat bunga sebesar itu, konon, BII masih bisa meraih margin 2%. Lantas, kenapa tidak dilakukan? "Kami menunggu trend pasar," kilahnya. Memang, kalau bank Pemerintah menurunkan suku bunga, maka mereka perlu aba-aba. Tapi bank swasta, hampir tanpa gembar-gembor. "Kalau turun, ya, turun tanpa harus diumumkan segala," kata Abdullah Ali. Taktik mengubah diam-diam itu memang dengan sadar dilakukan, karena antarbank swasta tidak mau mengganggu sesamanya. Soalnya, kalau sebuah bank mengumumkan penurunan bunga kredit, maka kemungkinan besar nasabah di bank lainnya akan menuntut hal yang sama. "Jadi, sekalipun bank lainnya turun, itu karena terpaksa," kata Abdullah. Budi Kusumah, Bambang Aji, dan Budiono Darsono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini