Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Nilai Rupiah Anjlok, Peneliti UII Bandingkan dengan Kondisi Krisis Moneter 1998

Nilai rupiah hari ini mencapai Rp 16.950, bahkan sempat Rp 17.200, angka tersebut hampir melampaui puncak krisis moneter 1998.

7 April 2025 | 14.56 WIB

Petugas menghitung uang pecahan rupiah di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Selasa 22 Oktober 2024. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada hari ini, Selasa (22/10/2024) diprediksi fluktuatif namun akan ditutup melemah di rentang Rp15.490-Rp15.580 usai presiden Prabowo Subianto melantik jajaran menteri kabinet Merah Putih periode 2024-2029. TEMPO/Tony Hartawan
Perbesar
Petugas menghitung uang pecahan rupiah di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Selasa 22 Oktober 2024. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada hari ini, Selasa (22/10/2024) diprediksi fluktuatif namun akan ditutup melemah di rentang Rp15.490-Rp15.580 usai presiden Prabowo Subianto melantik jajaran menteri kabinet Merah Putih periode 2024-2029. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Dosen dan Peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Listya Endang Artiani membandingkan kondisi nilai rupiah saat ini dengan krisis moneter pada 1998. Ia mengatakan konteks e-Rate yang mencapai Rp 16.950 hampir melampaui puncak krisis moneter secara nominal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Pada puncak krisis moneter 1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar pernah menyentuh angka Rp 16.800 hingga Rp 17.000 per USD di pasar spot. Dalam konteks e-Rate hari ini yang mencapai Rp 16.950 (kurs jual), angka ini secara nominal sudah sangat dekat bahkan sedikit melampaui puncak krismon (krisis moneter) secara nominal,” kata Listya Endang kepada Tempo.co, pada Senin, 7 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Namun, kata dia, perlu dicatat bahwa secara riil, daya beli dan struktur ekonomi Indonesia saat ini jauh berbeda. Menurutnya, cadangan devisa lebih kuat, sistem perbankan lebih sehat, dan instrumen stabilisasi nilai tukar lebih modern.

“Jadi meskipun angka nominal mirip, situasi fundamental ekonomi kita tidak seburuk 1998,” kata Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII itu.

Listya menyebut bahwa nilai rupiah hari ini tertinggi sejak krisis moneter 1998. Dalam catatan e-Rate BCA yang diolahnya pada 28 Maret hingga 7 April 2025, kurs jual dolar AS pada 7 April 2025 mencetak rekor baru sebesar Rp 16.950, yang kemungkinan besar menjadi titik tertinggi sejak krisis 1998.

“Bahkan, jika dibandingkan dengan periode pandemi Covid-19 (2020), nilai ini lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa tekanan terhadap rupiah bukan ilusi, melainkan nyata dan patut diwaspadai,” kata Listya.

Listya menyebut bahwa rupiah bukan sekadar simbol moneter, tetapi cermin dari kepercayaan pasar terhadap ekonomi. Menjaga stabilitas nilai tukar bukan hanya tugas Bank Indonesia, melainkan memerlukan koordinasi lintas sektor seperti fiskal, moneter, hingga diplomasi ekonomi. 

“Fluktuasi boleh terjadi, tetapi membiarkannya berubah jadi krisis adalah pilihan yang bisa  dan harus  dicegah,” kata Listya.

Dalam teori ekonomi moneter, kata dia, nilai tukar merefleksikan interaksi antara penawaran dan permintaan valas. Teori Purchasing Power Parity (PPP) menyatakan bahwa dalam jangka panjang, nilai tukar akan bergerak untuk menyamakan daya beli antar negara. Namun dalam jangka pendek, nilai tukar sangat dipengaruhi oleh persepsi, ekspektasi, dan arus modal.

Listya Endang menjelaskan fenomena depresiasi rupiah yang tajam dalam beberapa hari terakhir dapat dijelaskan melalui teori Interest Rate Parity (IRP), yang menyatakan bahwa perbedaan tingkat suku bunga antara dua negara akan menentukan arus modal. Ketika suku bunga The Fed naik sementara suku bunga domestik tetap, maka investor akan menarik modalnya keluar dari pasar domestik untuk mendapatkan imbal hasil yang lebih tinggi, memicu permintaan dolar dan menekan rupiah.

Sementara itu dari perspektif ekonomi politik, volatilitas nilai tukar mencerminkan ketegangan antara stabilitas makroekonomi dan kepentingan politik jangka pendek.

Listya mengatakan pemerintah mungkin enggan menaikkan suku bunga karena khawatir menekan konsumsi dan investasi domestik, namun sikap ini dapat menyebabkan kehilangan kredibilitas pasar, yang lebih mahal dampaknya. “Di sini terlihat bahwa kebijakan moneter tidak pernah netral secara politik,” kata dia.

Selain itu, ia juga menguraikan pendekatan teori kebijakan publik yang mengajarkan pentingnya koordinasi kebijakan antara bank sentral dan otoritas fiskal. Dalam situasi tekanan eksternal, ketidakterpaduan kebijakan bisa memperparah sentimen negatif. Tanpa komunikasi strategis yang jelas, kata Listya, pasar akan bertindak berdasarkan asumsi terburuk, bukan pada data.

“Dengan memahami interaksi antara faktor-faktor moneter, ekspektasi politik, dan respons kebijakan, kita dapat melihat bahwa krisis nilai tukar bukan semata-mata fenomena angka, melainkan produk dari struktur dan tindakan kebijakan yang kompleks,” kata Listya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus