Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah mengumumkan kebijakan tarif impor pada Rabu, 2 April 2025 waktu setempat. Ia menerapkan tarif minimal 10 persen terhadap semua produk yang masuk ke AS dari semua negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, Trump juga menerapkan tarif timbal balik atau reciprocal tariffs yang lebih tinggi sebagai respons balasan terhadap beberapa negara mitra dagang, termasuk Indonesia. Tarifnya bervariasi, misalnya Indonesia dengan besaran tarif yang diterapkan 32 persen, Cina sebesar 34 persen, dan Uni Eropa 20 persen.
Kebijakan tarif ini mendapat tanggapan dari sejumlah ekonom. Berikut ulasannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. Ekonom IPB
Guru Besar di Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University Didin S Damanhuri menilai kebijakan tarif Trump bakal menyebabkan rupiah makin terperosok. Nilai kurs Indonesia diprediksi bisa jeblok hingga 17.000 per dolar Amerika Serikat dalam waktu dekat.
Kebijakan tarif impor balasan atau resiprokal yang diumumkan Presiden AS, Donald Trump, menurut Didin, menimbulkan tekanan bagi perekonomian dunia atau global shock. Akibatnya, mata uang di sejumlah negara termasuk rupiah bakal tertekan.
Selain itu, kata dia, rupiah memang tengah melemah imbas sentimen domestik beberapa waktu belakangan. “Rupiah sudah bisa menyentuh 16.700 per dolar AS dengan sentimen negatif yang terjadi selama ini, seperti adanya Danantara dan langkah-langkah yang populis pemerintah. Sekarang sentimen negatifnya itu lebih mendalam lagi,” ucapnya kepada Tempo, Kamis, 3 April 2025.
2. Andry Satrio
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengungkapkan pangsa pasar ekspor Indonesia ke AS mencapai 10,3 persen secara tahunan. Pangsa tersebut merupakan yang terbesar kedua setelah ekspor Indonesia ke Cina.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi INDEF Andry Satrio Nugroho menyebut tarif impor baru yang dibuat Trump bisa mempengaruhi nasib jutaan tenaga kerja domestik. Pelaku ekspor komoditas unggulan—seperti tekstil, alas kaki, elektronik, furnitur, dan produk pertanian—akan terkena biaya yang tinggi. Padahal, sudah lebih dari 30 pabrik di sektor tekstil dan turunannya yang tutup selama tiga tahun terakhir.
“Jika pemerintah terus diam, kita bukan hanya kehilangan pasar utama, tapi juga akan muncul badai pemutusan hubungan kerja (PHK) lanjutan yang jauh lebih besar,” ujar Andry dalam keterangan tertulis, Kamis, 3 April 2025.
3. Dosen Universitas Andalas
Senada dengan Andry, Dosen Departemen Ekonomi Universitas Andalas (Unand) Syafruddin Karimi menyebut tarif 32 persen dari Trump bakal menurunkan daya saing ekspor secara drastis, terutama di sektor padat karya. Produk-produk seperti tekstil, furnitur, dan alas kaki sangat bergantung pada harga kompetitif di pasar AS.
“Tarif setinggi ini akan menaikkan harga jual, mendorong buyer berpaling ke negara lain, dan memicu risiko PHK massal di dalam negeri,” ujarnya.
Bila kebijakan Trump lamban direspons, kata dia, Indonesia berpotensi mengalami kontraksi ekspor yang berdampak langsung pada sektor rill. “Padahal sektor ekspor nonmigas adalah salah satu penopang utama pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja,” kata Syafruddin.
4. Ekonom Universitas Paramadina
Wijayanto Samirin, ekonom dari Universitas Paramadina, juga mengatakan regulasi tarif dagang Trump akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ia bahkan menyebut target pertumbuhan ekonomi tahun ini tak lagi realistis. Kondisinya bisa kritis setelah dihantam aturan baru AS.
“Mengingat ekspor kita ke AS didominasi oleh produk industri padat karya seperti sepatu, TPT (tekstil dan produk tekstil), produk karet, alat listrik dan elektronik),” ucap Wijayanto. “Tekanan PHK akan semakin kuat.”
5. Sofyan Djalil
CEO Indonesian Business Council Sofyan Djalil berpendapat pemerintah perlu melakukan negosiasi kembali dengan AS. “Kami meminta pemerintah untuk melakukan renegosiasi tarif serta memperluas perjanjian dagang atau Free Trade Agreement (FTA) dengan negara dan kawasan mitra baru,” kata dia lewat pernyataan resmi, Jumat, 4 April 2025.
IBC berharap dampak bagi perekonomian dapat dicegah. Pemerintah diminta mengkaji kembali kerangka perjanjian dagang antara kedua negara sebagai respons penerapan tarif tambahan tersebut. Sehingga ada penerapan tarif yang lebih adil dan berimbang.
Ilona Estherina dan Ervana Trikarinaputri turut berkontribusi pada penulisan artikel ini